Murid-murid Ivan terlihat tidak percaya, ketika aku dan Rara menyerahkan baju baru untuk mereka.
“Ini untuk kami?” Tanya Rian, mewakili teman-temannya.
“Iya. Ayo cepat ganti bajunya.” Ucapku, penuh semangat.
Aku melirik Ivan yang sejak tadi bersandar di sudut ruangan. Dia tersenyum.
“Horeee...” Anak-anak itu bersorak kegirangan.
Tidak sabar, satu per satu dari mereka mulai mengganti pakaiannya di kamar mandi yang terletak di samping bangunan kelas. Rona merah tergambar di wajah mereka, saat mereka keluar dengan pakaian barunya. Sederhana sekali arti bahagia bagi anak-anak sekecil itu.
Ukurannya pas, seperti yang Ivan katakan. Ternyata pria itu sangat pandai memperkirakan sesuatu. Helm yang dibelikan olehnya pun terasa cocok di kepalaku. Aneh, sejak kapan dia tau ukuran kepalaku?
Aku menggeleng, mengusir pertanyaan itu jauh-jauh, dan kembali fokus pada anak-anak di hadapanku. Kebahagiaan mereka, memenuhi atmosfer kelas. Menyenangkan melihat betapa lugunya mereka. Seperti inilah seharusnya, batinku. Anak-anak sekecil ini, harusnya merasa senang ketika mendapat baju baru. Harusnya menghabiskan waktu dengan bermain dan tertawa bersama teman-temannya. Belajar dan mengerjakan tugas dengan sungguh-sungguh. Sesederhana itu, tanpa perlu memikirkan berapa banyak uang yang telah dikumpulkan hari ini dari hasil mengemis dan mengamen. Mereka masih terlalu kecil untuk memikul beban seberat itu. Kini aku mengerti apa yang Ivan lihat dalam diri mereka.
Sekali lagi aku melirik pria itu. Matanya berkaca-kaca. Apa yang sedang ia pikirkan saat ini? Apakah tawa di wajah-wajah kecil itu telah menyentuh hati terdalamnya? Hati yang selama ini memiliki keyakinan besar terhadap mereka.
Ivan membiarkan murid-muridnya larut dalam kebahagiaan untuk sesaat. Lalu ia berkata, “kalau semua sudah siap, lebih baik kita berangkat sekarang.” Ucapnya dengan senyum merekah.
Anak-anak itu pun bersorak—bahagia.
Ivan menuntun mereka ke parkiran sekolah. Disana, sebuah bus pariwisata telah menanti kami. Ivan memberi isyarat agar semua naik ke dalam bus. Aku turut mengatur anak-anak itu, agar mereka tidak berebutan masuk. Setelah semua naik, Ivan melangkah mendahuluiku memasuki bus.
Astaga, dia bahkan tidak berprinsip ‘Ladies First’! Pikirku jengkel.
Aku mengikuti pria menyebalkan itu masuk ke dalam bus. Pintu bus langsung menutup otomatis di belakangku. Aku duduk di sampingnya.
“Masih banyak bangku kosong.” Komentarnya.
“Setiap bangku diisi dua orang. Kenapa kita harus sendiri-sendiri? Itu namanya ketidak-adilan sosial bagi seluruh penumpang bus.” Elakku.
“Terserah.” Ia menyerah.
“Sekali-kali mengalah pada wanita, tidak sulit kan?” Aku memamerkan senyum terbaikku. Dia pastilah merasa kesal, biarlah!
Kami duduk dalam diam. Sangat kontras dengan anak-anak yang terus tertawa, bercerita satu sama lain, dan perlahan mulai bernyanyi bersama. Sayang sekali keceriaan mereka tidak mampu menjangkau aku dan Ivan.
Aku memalingkan wajah padanya. Pria itu sedang menatap keluar melalui jendela. Apa yang sedang ia pikirkan? Seandainya dia mau menceritakan semua yang ia rasakan. Seandainya dia mau membagi kegelisahan hatinya denganku... Astaga, ada apa dengan diriku ini?
“Mereka terlihat bahagia. Sejak tadi mereka hanya tertawa, dan bicara tanpa henti. Mereka,,, sangat berbeda.” Ucapku.
“Ya,,, dan mereka berhak untuk itu.” Ia menjawabku.
“Tadi, ketika aku melihat rona di wajah mereka saat memakai baju barunya, aku jadi bertanya kapan terakhir kali mereka dibelikan baju baru oleh orang tuanya.” Aku mengutarakan pikiranku. "Satu bulan yang lalu? Satu tahun? Dua tahun?"
Pria itu memotong dugaanku. “Selama ini mereka selalu mendapatkan pakaian bekas dari orang tuanya. Mungkin,,, itu adalah baju baru pertama yang mereka miliki.”
Jawaban itu mengejutkanku.
"Uang yang mereka kumpulkan, terlalu berharga bila harus digunakan untuk membeli baju baru. Bagi mereka, bisa makan 2 kali dalam sehari pun sudah cukup membahagiakan." Ivan menambahkan.
Sungguh menyedihkan mendengarnya. Tidakkah anak-anak itu masih terlalu kecil untuk merasakan semua itu? Hari ini, mereka menunjukkan padaku sisi lain dari kehidupan. Sisi yang sangat sulit untuk dipahami, sisi yang tidak pernah terpikirkan olehku.
Di sisa perjalanan, aku tenggelam dalam lamunan tentang kehidupan yang dijalani oleh setiap anak jalanan asuhan Ivan. Teringat bagaimana dulu Siti dan Rama diperlakukan oleh satpam restaurant dengan tidak ramah. Betapa kejam kehidupan terhadap anak-anak itu, belum lagi pandangan tidak baik yang harus mereka terima dari masyarakat. Aku menghembuskan napas berat, rasa sesak menghimpit hatiku. Di sampingku, Ivan termangu menatap keluar jendela.
Satu jam berlalu dalam bus. Anak-anak itu tetap ceria dan penuh semangat—seolah mereka tidak akan kehabisan energi di sepanjang hari ini. Begitu bus tiba di tempat tujuan, kami berjalan beriringan memasuki restaurant. Dan seperti yang Ivan katakan kemarin, kami mendatangi restaurant all you can eat hari ini.