Love Is Him

SavieL
Chapter #14

.: Sahabat Kecilku :.

Hari ini sekolah libur, namun Rara tetap berangkat ke sekolah. Ada pelajaran tambahan yang harus ia, Siti, dan Beni ikuti. Ivan bertekad mempersiapkan mereka semaksimal mungkin untuk mengikuti seleksi tingkat sekolah—yang semakin dekat.

Pelajaran tambahan berlangsung selama 4 jam, dan Ivan menutupnya dengan memberitahu bahwa, dua hari lagi dia akan mengadakan ujian untuk melihat sejauh mana ketiga anak itu telah memahami apa yang ia ajarkan.

Kupikir, anak-anak itu akan memasang tampang cemberut, karena waktu libur mereka harus diisi dengan pelajaran tambahan dan berakhir dengan pemberitahuan tentang ujian. Namun sepertinya, anggapanku salah. Mereka justru terlihat antusias dan tidak sabar mengikuti ujian itu.

Ngomong-ngomong, hari ini si menyebalkan itu datang ke sekolah dengan tampilan yang sangat berbeda. Ia mengenakan kaos lengan panjang hitam, jeans putih dan dipadukan dengan sepatu hitam. Sangat serasi dengan warna mata dan rambutnya.

Bukan hanya itu yang menarik perhatianku. Toh selama ini apapun yang ia pakai memang selalu terlihat menarik. Yang berbeda adalah, hari ini dia tidak menyisir rapi rambutnya seperti biasa. Dia membiarkan rambutnya berantakan dan turun menutupi keningnya. Sekarang dia semakin terlihat bagaikan seorang model. Dengan tampilan seperti itu, tidak akan ada yang percaya kalau ia seorang guru.

Ketika pelajaran usai, Ivan mengantar kami, hingga ke depan gerbang sekolah. Satu per satu dari ketiga anak itu mulai berpamitan pada Ivan. Siti dan Beni berlari ceria meninggalkan area sekolah, sedangkan Rara segera masuk ke dalam mobil. Sepertinya adikku itu sudah tidak sabar, ingin cepat-cepat pulang dan mencicipi kue buatan mama.

Hari ini mama memanggang kue, dan meminta Ivan untuk mampir. Ivan sendiri tidak memberi kepastian apakah ia akan datang atau tidak. Ia hanya mengatakan bahwa, dia akan mampir satu atau dua hari ini. Entah kapan tepatnya. Aku berharap dia bisa mampir setiap hari, seperti dulu. Karena sejak Rara bergabung dengan kelasnya, Ivan semakin jarang berkunjung. Dan jujur saja, aku merasa seperti ada yang hilang.

“Kamu jadi mampir ke rumah hari ini?” Aku bertanya.

“Tidak.” Sahutnya.

"Hari ini mama membuat kue. Dia pasti kecewa bila kamu tidak datang."—begitu pula denganku.

"Saya akan menghubungi beliau." Ucapnya, datar.

"Kamu terlihat berbeda hari ini, kamu mau kemana?" Aku kembali bertanya.

"Bukan urusan kamu." Jawabnya, semakin datar.

“Apa yang akan kamu lakukan malam ini?” Aku tetap bertanya, mengabaikan sikapnya.

“Bukan urusan kamu!”

“Kamu mau bertemu pacar kamu ya?” Aku terus mendesaknya. Aku ingin tau. Aku harus tau! Meski dalam hati, ada sedikit kekhawatiran terhadap jawaban yang akan dia berikan. Bagaimana kalau ternyata dia sudah punya kekasih? Ya ampun, mengapa hal itu tidak pernah terpikir olehku.

“Kapan kamu akan menyerah dan berhenti mengganggu saya.” Tanyanya, dengan nada tidak mengharapkan jawaban.

“Tidak akan!” Ucapku, tidak mau kalah.

Ivan menarik napas dalam-dalam. “Saya punya janji dengan sahabat-sahabat saya.” Jawabnya—mengalah, meski ia terdengar kesal.

Aku tersenyum. “Aku boleh ikut?” Tanyaku, mencari cela agar bisa masuk dan mengenal dunianya.

“Tidak!”

☆☆☆

“Memangnya, dia punya masalah apa denganku?”

Aku dan teman-temanku memutuskan untuk bertemu di sebuah kafe—di mall. Thasya, Ical, dan Aldi mendengarkan kisahku yang menggebu-gebu, dengan sabar.

“Apa susahnya memberiku kesempatan, agar bisa sedikit lebih dekat dengannya. Sedikit saja,,,” Omelku.

“Sabar, sabar. Terkadang pria memang seperti itu. Diamkan saja. Lagipula, masih banyak pria di luar sana yang lebih baik dari dia—yang menyukaimu. Untuk apa terus mengharapkan pria seperti itu?" Ucap Thasya, enteng.

“Andai bisa semudah itu. Tapi, aku bisa apa? Dia selalu muncul dalam pikiranku.” Aku pasti terdengar bodoh.

Ical bersiul pelan—menggoda, sama sekali tidak memahami apa yang sedang kurasakan.

“Atau,,, bisa jadi dia tidak menyukai wanita. Makanya dia tidak suka bila kamu mendekatinya.” Aldi memberi pendapat.

Aku memutar kedua bola mataku. “Semoga bukan itu alasannya.” Aku menolak ide itu jauh-jauh.

“Mungkin dia sudah punya pacar, dan dia sangat menyayangi wanita itu. Karena itulah dia tidak mau memberi kesempatan pada wanita lain.” Thasya mengutarakan pendapatnya.

“Tidak, tidak mungkin. Dia tidak pernah membahas apapun tentang itu.” Bantahku, mencari pembelaan.

Lihat selengkapnya