“Jadi, kalian sahabat-sahabatnya Ivan?” Tanyaku, ketika kami sudah duduk di salah satu meja di kafe.
Tempat ini cukup ramai menjelang weekend. Beberapa mata terlihat mencuri pandang ke arah meja kami dengan rasa ingin tau. Aku pura-pura tidak menyadarinya.
Kedua pria itu mengangguk.
“Kalian sudah lama bersahabat?” Aku memulai pertanyaanku.
“3 tahun. Bagi kami, itu waktu yang cukup untuk saling mengenal satu sama lain.” Tambah Niel.
“Dulunya kami bekerja di tempat yang sama, hingga akhirnya Ivan memutuskan untuk berhenti dan menjadi pengajar. Kami sering menghabiskan waktu bersama. Duduk-duduk di suatu tempat, membicarakan banyak hal.” Cerita Ferdi. “Menertawakan orang-orang, membicarakan bos kami yang terkadang menyebalkan, menggoda gadis-gadis yang lewat, bahkan berbagi rahasia hati kami.” Ferdi meminum kopinya.
Aku menyimak cerita mereka dengan seksama. Inilah satu-satunya kesempatan yang kupunya. Aku tidak boleh menyia-nyiakannya.
“Terkadang kami bertengkar, lalu di lain waktu kami akan saling mengejek. Namun seperti yang selalu dikatakan orang, ketika kita saling mengejek dan membicarakan berbagai hal dengan orang lain, maka di saat yang sama kita justru semakin dekat dan mengenal orang itu.” Niel, melanjutkan cerita Ferdi. “Berbulan-bulan setelah perkenalan kami, kami mulai belajar tentang apa yang disukai dan apa yang tidak disukai oleh sahabat kami. Mulai dari jenis musik, makanan, film, hingga sosok yang kami idolakan. Secara garis besar, kami memiliki selera yang berbeda. Namun kami saling mengerti dan menerima. Mungkin itulah yang kemudian menjadi perekat di antara kami.”
“Artinya, di antara kalian tidak pernah ada rahasia?” Tanyaku.
Niel menggeleng sambil tersenyum. “Tentu saja. Kami mengenal sahabat kami sebaik kami mengenal diri kami sendiri. Waktu, mengajarkan kami untuk saling berbagi, termasuk membagi luka yang tersimpan rapat dalam hati kami. Tentang masa lalu, keluarga, dan semua kisah yang tadinya ingin kami simpan seorang diri. Sejak persahabatan itu terbentuk, kami seperti memiliki dunia baru, keluarga baru.” Tutup Niel.
“Ya,,, seperti itulah persahabatan kami.” Tegas Ferdi.
Aku tersenyum. Aku dapat merasakan ikatan di antara ketiga pria itu, dan aku yakin Ivan menemukan bagian dari keluarganya dalam diri kedua pria ini. Aku yakin.
“Jadi, apa yang membuat seorang Luna, tiba-tiba ingin tau tentang Ivan?” Tanya Niel.
Ditanya seperti itu malah membuatku jadi salah tingkah. Namun di hadapanku ini duduk sahabat-sahabat Ivan. Keluarganya. Haruskah aku jujur pada mereka?
“Aku ingin mengenal Ivan. Aku ingin tau tentang dunianya. Dan bagiku, kalian adalah bagian dari dunia itu.” Aku memutuskan untuk jujur pada mereka.
Wajah kedua pria itu merekah. Senyuman mereka mengisyaratkan sesuatu, namun aku tidak berani menanyakannya. Aku tidak mau membuat mereka merasa tidak nyaman dengan pertanyaanku yang bertubi-tubi. Aku harus mengendalikan rasa ingin tauku.
Ferdi tertawa. “Ternyata ada juga wanita yang tertarik pada si keras kepala itu.” Ucap Ferdi, lebih kepada Niel.
“Dan wanita itu, wanita yang sangat istimewa.” Tambah Niel, dengan nada yang menyiratkan sesuatu.
Keduanya mengangguk, lalu tertawa.
“Apakah Ivan sudah memiliki pacar?” Tanyaku, ragu.
Ferdi menggeleng. “Si bodoh itu tidak pernah tertarik untuk memiliki hubungan spesial dengan seseorang.” Kata Ferdi.
“Dia takut jatuh cinta. Dia takut tidak bisa menjaga dan mempertahankan orang itu di sisinya. Bodoh memang.” Tambah Niel.
Jadi dia tidak mau terlibat hubungan serius dengan seseorang. Apa karena itu dia bersikap dingin padaku? Namun dia hanya seperti itu padaku. Aku pernah melihatnya bicara dengan beberapa wanita yang mengantar adik mereka ke sekolah. Dia terlihat biasa-biasa saja. Dia bahkan tersenyum ramah dan menatap mereka. Dia bersikap dingin hanya padaku.
Kenapa?