Seperti janjinya, malam ini kami pergi makan malam—berdua.
Ya, murid-muridnya berhasil lolos ke babak final, dan mereka akan bersaing dengan 3 tim lainnya. Tuhan mendengar doaku.
Aku memutar kembali ingatan ke saat-saat pertandingan itu. Di wajahnya aku melihat semangat dan kepercayaan diri yang sangat tinggi. Dia benar-benar mempercayai kemampuan murid-muridnya, lebih dari siapapun. Aku rasa kepercayaan itulah yang kemudian memberi keberanian pada mereka.
Dalam keadaan itu, dia seolah membuktikan pada semua orang termasuk pada dirinya sendiri, betapa besar kesabaran yang ia miliki, dalam menghadapi situasi di sekitarnya. Sejak awal, dia tau mendaftarkan muridnya dalam perlombaan itu adalah ide yang tidak main-main. Sekolah ini diisi oleh ratusan anak yang istimewa, sementara dia hanya punya adikku, dan 19 murid yang terlihat seperti tidak punya masa depan yang baik.
Namun itu tidak menggoyahkan keyakinannya. Dia menunjukkan kepercayaan yang besar terhadap anak-anak itu dan potensi yang mereka miliki. Dia membangun sebuah tangga untuk menjembatani antara anak-anak itu dengan masa depan yang lebih baik, melalui keyakinannya.
Darinya aku belajar banyak hal tentang kesabaran. Aku tau lebih dari siapapun bahkan lebih dari murid-muridnya, bahwa sebenarnya dia sangat tertekan, sangat gugup. Namun pada akhirnya dia dapat mengatasinya. Kesabaran yang dia miliki tidak ditentukan oleh seberapa kuat dia menahan tekanan dari luar dirinya, namun seberapa kuat dia menahan tekanan dari dalam dirinya sendiri—dari hatinya.
Aku teringat pernah mendengar seorang bijak berkata, ‘Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan.. Orang yang menguasai dirinya, melebihi orang yang merebut kota..’
Ya,,, itulah dia. Ivan. Kesabarannya yang misterius, tidak hanya merebut hati setiap orang, namun juga telah merebut hatiku dengan cara yang tidak biasa.
“Kamu mengajak saya makan malam, hanya untuk melihat kamu melamun?” Suara Ivan memasuki pikiranku, dan menyadarkanku.
Ternyata dia memperhatikanku sejak tadi. Aku menatapnya, dia langsung membuang muka.
Aku tersenyum. “Jadi kamu sekarang mulai perhatian sama aku?” Aku balik bertanya.
Ivan menghembuskan napas. “Lupakan ucapan saya tadi.” Keluhnya.
Wajahnya terlihat sangat menggemaskan jika sedang bertingkah marah seperti itu. Aku senang melihatnya seperti itu. Rasanya aku ingin terus mengganggunya. Lagi-lagi aku tersenyum.
“Suatu hari aku sedang duduk, lalu entah darimana asalnya angin berhembus di sekelilingku. Aku bertanya padanya, seperti seseorang yang mengharapkan jawaban dari seorang sahabat.” Aku terdiam sejenak. “Aku bertanya pada angin, apa yang salah denganku? Kenapa Ivan tidak pernah mau menatapku, atau tersenyum padaku, atau bersikap ramah padaku? Padahal dia melakukan semua itu untuk orang lain. Lalu tiba-tiba, angin menjawab semua pertanyaanku itu. Ia membisikkan sebuah rahasia tentang kamu.”
Ivan hanya diam. Mungkin dia sedang memikirkan apa maksud ucapanku.
“Aku boleh tanya sesuatu?” Tanyaku.
“Apa.” Jawabnya.
“Tapi kamu tidak boleh marah. Janji?” Pintaku.
Ia hanya diam.
Sekali lagi aku menatapnya, lalu membulatkan tekad. “Apa benar kamu itu seorang fans yang sangat mengidolakan aku?” Tanyaku, ingin tau.