Love Is Him

SavieL
Chapter #18

.: Memang Kenapa Bila Aku Perempuan :.

Rara mau makan apa?

Ivan menggendong Rara di punggungnya, sementara kami berjalan mengitari taman sekaligus tempat makan yang letaknya tidak jauh dari rumahku.

Inilah Ivanku.

Dia menepati janjinya. Dia mengijinkanku masuk dan mengenal dunianya. Dunia yang selama ini ia tempati seorang diri.

Ice cream...” Teriak Rara, penuh semangat.

“Oke,,, penjual ice cream di sebelah mana ya?” Ivan memalingkan wajah ke kiri dan kanan.

Rara mengikutinya.

“Tidak boleh!” Omelku. “Kamu belum makan, jadi tidak boleh makan ice cream.”

“Oh ya. Kita makan dulu, baru beli ice cream, oke?” Ivan meminta persetujuan.

“Oke...” Jawab Rara, dengan wajah cemberut.

Ivan sekarang lebih sering tersenyum dan tertawa. Dan kini, hampir setiap saat dia menatapku.

Kami memasuki sebuah pondokan yang menjual mie ayam, dan duduk di salah satu meja. Rara turun dari punggung Ivan, duduk di sampingku, sedangkan Ivan duduk di bangku yang berhadapan dengan kami.

“Kamu mau makan apa?” Tanya Ivan pada Rara.

“Apa aja.” Celoteh Rara.

Aku dan Ivan tersenyum. Malaikat kecil itu, menyukai hampir semua jenis makanan. Berbeda sekali dengan Ivan. Sejak mengenalnya sedekat ini, aku menemukan banyak hal yang tidak dia sukai. Dia tidak suka makanan manis, dia tidak suka kacang, dia tidak suka bawang goreng, dan puluhan ketidak-sukaan lainnya.

“Pintar. Harusnya seperti itu. Tidak baik pilih-pilih makanan, seperti seseorang saja.” Aku menyindir.

“Seperti kak Ivan ya, kak?” Rara dengan polosnya bertanya.

Ivan memutar bola matanya. “Maksudnya apa menyindir seperti itu?” Ivan menatapku, lalu mencubit lembut pipi Rara. “Ini juga, malah diperjelas.” Dia tertawa.

Rara menjulurkan lidah. Ivan hendak mencubit pipi Rara lagi, namun adikku mengelak dengan gesit. Aku tertawa melihat mereka. Angin berhembus, mengibaskan rambutku. Aku tertegun, menyadari bahwa inilah kehidupan yang aku harapkan. Inilah akhir yang aku inginkan.

Mie ayam pesanan kami datang tidak lama kemudian.

“Kak Ivan, Siti bagaimana kabarnya?” Tanya Rara, teringat pada temannya.

Ivan mengangkat bahu. “Kakak belum dapat kabar apa-apa. Tapi sore ini, kakak mau ke rumah Siti untuk menengok keadaannya.” Ivan menjelaskan.

Rara mengangguk, lalu mulai memakan makanannya.

“Memangnya Siti kenapa?” Aku bertanya, tidak mengetahui apapun.

“Sudah 3 hari dia tidak masuk. Kamu belum tau?” Ia bertanya.

Aku menggeleng. “Sudah beberapa hari ini aku sibuk di studio. Belum sempat bertanya tentang sekolah pada Rara.”

“Oh...” Ivan mengangguk.

“Terus, bagaimana dengan babak final? Siti kan harus belajar seperti Rara dan Beni. Kamu punya solusi apa?” Tanyaku.

Ivan menggeleng lemah. “Entahlah, aku masih belum tau harus bagaimana. Tapi sore ini rencananya aku mau berkunjung ke rumah Siti.” Jawabnya, setengah merenung. “Kemungkinan besar, Siti dilarang sekolah oleh orang tuanya. Menyedihkan, bukan? Di luar sana, ada orang tua yang rela melakukan apa saja agar anaknya mau bersekolah dengan sungguh-sungguh. Namun untuk anak-anak seperti Siti, justru sebaliknya. Demi dapat bersekolah dengan layak, mereka harus menghadapi bermacam rintangan dan tekanan.” Renungnya. “Sayangnya, rintangan dan tekanan terberat, justru datang dari orang tua mereka sendiri. Padahal yang mereka lakukan bukanlah sebuah kejahatan. Mereka hanya ingin belajar. Mereka hanya ingin mengubah masa depannya. Namun hidup membuat jalan menuju impian itu terasa sulit untuk ditempuh.”

Aku menangkap kesedihan di wajah Ivan saat ia berbicara. Aku bahkan dapat merasakan kesedihan itu menyentuh hatiku.

“Aku ikut ya.” Kataku.

Dia menggeleng. “Luna... Siti dan keluarganya tinggal di pinggiran kali dekat penampungan sampah, di antara puluhan keluarga miskin lainnya, di wilayah pemukiman kumuh.” Dia menjelaskan.

“Tidak masalah. Aku tidak keberatan.” Kataku—dan sungguh, aku tidak mempermasalahkan hal itu.

“Masalahnya,,, kamu itu penyanyi terkenal. Semua orang tau tentang kamu. Aku tidak bisa menjaga kamu, kalau tiba-tiba orang satu kampung datang menghampiri. Pergi dengan pengawal pribadi pun, bukan ide yang tepat. Lebih baik kamu di rumah, biar aku yang pergi.” Ivan menjelaskan kekhawatirannya.

“Kalo masalah itu, kamu tenang saja. Aku punya ide bagus.” Kataku, sambil tersenyum. “Aku akan menyamar hingga tidak ada yang bisa mengenali aku. Boleh ya? Please...” Aku memohon, setengah merengek.

Lihat selengkapnya