Love Is Him

SavieL
Chapter #19

.: Yang Terbaik Bagimu :.

Ini...”

Ivan menyerahkan secangkir hot chocolate padaku. Kami singgah di sebuah kafe—dia membelikanku minuman. Aku menerima cangkir itu darinya.

“Kata orang, coklat dapat memperbaiki mood.” Ia duduk di sampingku, lalu meminum minumannya.

“Ternyata di jaman seperti ini, masih ada orang tua seperti orang tua Siti. Orang tua yang menganggap anak perempuan tidak butuh pendidikan.” Aku mengutarakan apa yang mengganggu pikiranku sejak tadi.

Ivan mengangkat bahunya. “Mereka hanya merasa kecewa pada kehidupan, karena itulah mereka berhenti mempercayainya.”

“Aku mungkin tidak tau bagaimana rasanya menjalani kehidupan yang seperti itu. Aku juga tidak bisa membayangkan rasa sakit yang mereka alami dalam tahun-tahun kehidupan mereka. Tapi hatiku sedih saat mendengar perkataan itu. Kemiskinan tidak seharusnya menjadi alasan untuk menyerah.” Ucapku.

“Kamu benar, tapi mereka pun tidak bisa disalahkan. Kehidupan telah mencambuk hari-hari mereka, tanpa belas kasihan. Mematikan harapan, yang cahayanya memang sudah redup sejak awal.” Dia menjawabku. “Bagiku, salah dan benar hanyalah bentuk dari sebuah kesepakatan. Tergantung dari sudut mana kamu melihatnya.”

Aku memikirkan ucapan Ivan. Kami terdiam, larut dalam pikiran masing-masing.

“Apa Siti akan baik-baik saja?” Tanyaku, lebih pada diri sendiri.

“Dia akan baik-baik saja. Dia anak yang pandai, dan tidak mudah menyerah. Lagipula, mereka adalah orang tuanya. Meski mereka terlihat tidak peduli dan kasar, mereka tetaplah memiliki hati seorang ayah dan seorang ibu." Ivan menarik napas dalam-dalam. "Siti harus bisa mengatasinya. Karena hanya dengan doa dan restu dari orang tuanya, ia akan mampu meraih masa depan yang lebih baik.” Ivan tersenyum. “Aku sudah mengatakan semua yang harus kukatakan. Sekarang semua tergantung pada Siti.”

“Tapi,,, bagaimana kalau Siti tidak bisa meyakinkan kedua orang tuanya?” Tanyaku, khawatir.

Ivan menggeleng, membantah pikiran itu. “Dia akan berusaha sekuat yang ia bisa.”

“Kamu tau dari mana?” Tanyaku, ragu.

Ia tersenyum. “Tadi Siti berbisik padaku. Dia bilang, ‘Aku akan memenangkan pertarungan ini, kak. Aku janji...’ dan aku percaya dia akan menepati janjinya itu.”

Aku tersenyum. Sungguh, aku mengagumi pria ini. Ketenangannya, kelembutannya, cara pandangnya yang selalu positif. Aku mengagumi semua yang ada di dirinya. Aku mengagumi dia apa adanya.

“Oh ya, kudengar kepala sekolah pernah menawarkan posisi guru tetap di kelas utama. Kenapa kamu menolaknya?” Tanyaku, teringat akan hal itu.

Ivan tertawa pelan. “Ternyata rasa ingin tau kamu terhadapku sangat besar, hingga hal semacam itu pun tidak luput dari pengetahuan kamu.”

“Aku hanya kebetulan dengar.” Bantahku, membela diri.

Ivan tertawa pelan. “Iya,,, aku pernah diminta untuk mengajar kelas utama. Tapi ada syarat yang harus kupenuhi. Bila aku menerima kelas itu, aku harus melepas kelas khusus yang selama ini kuajari. Aku tidak bisa menerima syarat itu. Murid-muridku membutuhkanku. Jika aku melepas mereka pada guru lain, mereka akan merasa diabaikan. Karena itulah aku menolak tawaran itu, dan memilih bertahan dengan kelasku. Aku melihat harapan akan masa depan di mata mereka ketika itu, dan sekarang aku semakin yakin kalau keputusanku sudah tepat.” Ivan menjelaskan.

“Kenapa begitu membela mereka? Mereka nakal, dan kudengar tidak ada guru yang sanggup mengajari mereka.” Tanyaku pula.

Ivan mengangkat bahu. “Mereka hanya anak-anak, dan setiap anak memiliki kenakalannya masing-masing. Selama mereka tidak berusaha untuk membunuhku, maka kenakalan semacam itu masih bisa kuterima.” Katanya, ringan.

Apa yang ia katakan ada benarnya. “Kalau boleh tau, apa yang kamu lakukan sehingga mereka mau menerima dan menyayangi kamu seperti sekarang?” Siti dan Rama mungkin sudah menceritakan sedikit tentang hal itu. Namun aku tetap ingin mendengar langsung darinya.

“Seperti yang aku katakan, mereka hanya anak-anak. Aku mendekati mereka dengan cara yang disukai oleh setiap anak. Setiap hari aku membelikan mereka coklat dan permen, hingga mereka mau menerimaku. Semua hanya masalah waktu dan kesabaran.” Jawab Ivan, tersenyum.

Lihat selengkapnya