Love Is Him

SavieL
Chapter #20

.: Rangkaian Kata :.

Hubunganku dengan Ivan jadi semakin dekat sejak percakapan terakhir kami di kafe.

Kini aku bisa melihat siapa dirinya yang sebenarnya. Dia tidak lagi takut untuk menunjukkan sisi rapuh dan lemahnya. Hilang sudah Ivan yang kaku dan berhati dingin. Sekarang hanya ada Ivan yang lembut, dan selalu tersenyum. Boleh jadi kehidupan terasa lebih mudah untuk dijalani karena dia memutuskan untuk selalu tersenyum, apapun keadaannya. Sepahit apapun, dia selalu membiarkan senyuman itu mengatasinya.

Ivan baru tiba di kelas dan hendak memulai pelajaran, ketika kami mendengar sebuah ketukan. Semua mata memandang ke arah pintu. Disana, Siti berdiri sambil memamerkan senyum di wajahnya. Ivan tersenyum dengan mata berkaca-kaca, ia menyambut Siti.

“Orang tua kamu sudah mengijinkan kamu bersekolah lagi?” Tanya Ivan, menatap gadis kecil itu.

Siti mengangkat bahunya. “Aku juga tidak tau, kak. Tapi mereka tidak melarang, saat aku bilang aku ingin kembali ke sekolah.” Senyuman masih merekah di wajah kecilnya.

Ivan memeluk Siti. Murid-murid yang lain ikut menghampiri mereka. Semua menyambut kedatangan Siti dengan penuh kebahagiaan, dan Siti pun terlihat sangat gembira karena bisa kembali ke kelas dan bertemu dengan teman-temannya.

Ivan membiarkan penyambutan itu berlangsung sejenak, lalu saat semuanya sudah kembali tenang, Ivan memulai penjelasannya. Ia memberitahu mereka bahwa beberapa minggu ke depan, dia akan memulai rangkaian tes harian untuk mempersiapkan mereka menghadapi ujian sekolah. Artinya, mereka harus sungguh-sungguh belajar, agar mendapatkan hasil yang memuaskan.

Untuk Rara, Siti dan Beni, kerja keras dan semangat sangat dibutuhkan, karena selain harus belajar untuk persiapan ujian, mereka juga harus mempersiapkan diri dengan baik, karena babak final sudah semakin dekat. Mereka hanya punya waktu satu minggu untuk mempersiapkan diri. Ivan akan menyiapkan soal-soal yang sulit untuk mereka, dan soal itu akan ia bacakan. Mereka harus menjawabnya dengan cepat dan tepat. Ivan mengubah sistem belajar mereka, agar mereka terbiasa dengan sistem yang digunakan dalam lomba.

Ivan akan membagi mereka menjadi 3 tim. Setiap tim terdiri dari satu orang, dan mereka harus adu cepat dalam menjawab pertanyaan yang diberikan. Menurutku itu ide yang bagus, karena di babak penyisihan yang lalu, ketiga anak itu terlalu lambat dalam menjawab. Mungkin dengan latihan seperti ini, mereka akan terbiasa untuk menjawab dengan cepat dan benar. Ada ketegangan dalam atmosfer kelas, namun ketegangan ini penuh dengan semangat untuk menerima tantangan baru. Mereka semua memiliki tekad dan kesungguhan. Mereka tidak takut pada tantangan apapun. Bahkan adik kecilku terlihat tidak sabar menghadapi tantangan itu.

Di akhir pelajaran, Rara mengundang teman-temannya untuk menghadiri acara ulang tahunnya. Kami akan mengadakan acara kecil-kecilan untuk Rara. Acara itu akan berlangsung 3 hari lagi, di rumah. Murid-murid Ivan terlihat bersemangat menyambut undangan Rara, namun ada keraguan di mata mereka.

“Kamu yakin mau mengundang kami?” Tanya Rama.

“Iya, dan kalian harus datang.” Pinta Rara, penuh harap.

“Tapi akan ada banyak tamu yang datang di acara itu. Kamu tidak malu? Kami kan gelandangan.” Beni menjelaskan kekhawatiran mereka.

“Bukan. Kalian itu teman-temanku. Kalian teman-teman yang baik, dan aku menyukai kalian. Pokoknya kalian harus datang.” Rara memberi penekanan pada perkataannya.

“Kami tidak bisa memberi kado untuk kamu. Kami...”

“Aku tidak butuh kado.” Rara memotong perkataan temannya. “Aku hanya ingin kalian datang. Kita main sama-sama, kita makan sama-sama. Kalian tidak perlu membawa apapun. Bagiku kedatangan kalian sudah cukup.” Adikku terlihat tidak akan menyerah dengan mudah. Ciri khas murid Ivan.

Rara berusaha meyakinkan teman-temannya agar mau datang di acaranya—tanpa perlu mengkhawatirkan apapun.. Mendengar adikku bicara seperti itu, membuatku merasa bangga padanya. Untuk usia yang masih sekecil itu, dia telah menunjukkan betapa dewasa hatinya.

Ivan menghampiriku, berdiri disampingku. Kami menatap Rara dan teman-temannya.

“Adik kamu, anak yang istimewa.” Komentarnya.

“Iya, kamu benar. Dia adalah cahaya terindah bagi rumah kami.” Aku membenarkan.

Ivan terdiam sesaat. “Aku penasaran, apakah kakaknya seistimewa itu?”

Aku menoleh, menatapnya. Pria itu tersenyum jahil. Aku mencubit lengannya. Dia hanya tertawa.

Dasar menyebalkan!” Ucapku, tersipu malu.

☆☆☆

Sejak ia mengatakan hal semacam itu, aku jadi berharap semoga aku menjadi yang teristimewa untuknya. Bisakah hal itu terwujud? Ataukah aku harus puas hanya dengan menjadi temannya saja? Aku tidak pernah tau seperti apa aku di matanya. Namun bagiku, dia adalah pelangi yang indah. Dia membawa banyak warna melalui kehadirannya.

Bicara soal istimewa, hari ini aku mengajak Ivan ke mall untuk membeli kado. Aku ingin Rara menerima kado spesial dari kami. Sekarang aku sudah terbiasa berjalan di sampingnya. Aku sudah terbiasa diantar olehnya, dan aku pun sudah terbiasa bepergian dengan motornya.

Aku ingin menghadiahkan boneka untuk Rara. Namun, Ivan menentangnya dengan alasan Rara sudah memiliki banyak koleksi boneka. Pendapatnya itu ada benarnya juga. Lalu aku berpikir untuk memberinya jaket atau pakaian. Namun Ivan kembali menolak ide itu. Menurutnya benda semacam itu terlalu biasa untuk dijadikan hadiah, apalagi untuk orang yang sangat istimewa.

“Kita harus memberinya sesuatu yang spesial, yang mampu mewakili dirinya, yang bisa menghiburnya, yang bisa membuatnya senang. Kurang lebih, seperti itulah hadiah yang tepat.” Jelas Ivan.

Aku tidak terlalu berharap bahwa benda semacam itu nyata. Namun Ivan sepertinya cukup yakin dengan angannya itu. Kurasa, dia tidak akan menyerah sebelum mencarinya terlebih dahulu. Maka, hal itulah yang kami lakukan hari ini. Mengelilingi mall—hanya berdua dengannya. Aku tidak keberatan bila harus mencari kado Rara seharian, asalkan dia ada di sampingku.

Kami keluar masuk dari satu toko ke toko lain. Memeriksa setiap sudut toko untuk mencari sebuah benda—entah apa. Yang pasti sesuatu yang bisa membuat Rara senang. Kami berpindah mall, saat mall yang kami datangi telah selesai kami jelajahi. Jujur saja, sejak awal aku sudah meragukan keberadaan benda yang Ivan inginkan sebagai hadiah untuk Rara. Sepertinya, tidak ada benda seperti itu. Tidak pernah ada yang membuatnya.

☆☆☆

Luna...?

Seseorang memanggilku, saat aku dan Ivan baru keluar dari toko pernak pernik. Kami memutuskan untuk makan siang terlebih dahulu, sebelum melanjutkan pencarian kami. Aku menoleh, mencari si pemilik suara. Ivan pasti telah melihat orang itu lebih dulu dariku. Karena wajahnya kini sedang mengarah tepat kepadanya.

Seorang pria tampan, dengan gaya trendi dan potongan rambut yang sangat rapi, tengah berdiri sambil menyunggingkan senyumnya yang khas—menatap lurus ke arahku. Tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Dia selalu tau bagaimana harus bersikap agar tetap terlihat keren—dalam segala situasi dan kondisi.

Romi.

Siapa yang tidak kenal Romi? Seorang pemain sinetron muda dengan jutaan penggemar wanita, yang selalu berteriak histeris saat dia lewat. Seorang pria yang juga pernah mengisi lembar-lembar kehidupanku.

Lihat selengkapnya