Aku memandang pantulan wajahku di cermin. Ingatanku kembali ke hari sebelumnya. Aku tersenyum.
Ivan tiba di rumahku pukul 11 siang, sambil memasang wajah tidak senang. Bagiku itu bukan masalah, yang penting dia tetap bersedia menemaniku mencari kado untuk Rara. Di matanya aku melihat kemarahan sekaligus kegelisahan, yang tidak ingin dibaginya denganku. Bagusnya, dia sudah tidak sekaku kemarin, meski beberapa kali dia dengan sengaja menghindar dari tatapanku.
Aku masih berusaha mengenalnya—memang tidak mudah, namun aku tidak akan menyerah. Terkadang, pria itu bisa berubah menjadi makhluk yang sangat sulit dipahami. Seandainya aku memiliki kekuatan membaca pikiran, mungkin akan lebih mudah bagiku untuk memahaminya.
Di mall terakhir yang kami datangi, kami menemukan sebuah toko yang menjual kotak musik. Benda itulah yang kami hadiahkan untuk Rara. Kotak musik itu mengeluarkan 3 jenis musik, Fur Elise, Turkish March, dan Symphony No 5 [C Minor] Op67. Di tengah kotak musik itu, ada sepasang penari yang berdansa mengikuti irama lagu. Bagiku, sepasang penari itu mewakili aku dan Ivan, yang akan selalu ada untuk menghibur Rara. Jadi, hadiah itu merupakan pilihan yang tepat menurutku. Ivan menyetujuinya.
Setelah menemukan kado untuk Rara, aku mengajak Ivan membeli sebuah kemeja—untuknya. Awalnya dia menolak ide itu. Namun, aku memaksanya. Aku menjelaskan bahwa kami semua akan mengenakan pakaian dengan warna yang sama saat acara nanti, dan kami memilih warna merah untuk acara Rara. Aku akan mengenakan gaun dengan motif yang sama seperti motif gaun Rara.
“Aku punya kemeja warna merah, kita tidak perlu membelinya.” Ucapnya, masih menolak ideku saat itu.
“Sekali-kali tidak ada salahnya menuruti keinginanku.” Kataku, keras kepala.
“Tapi menurutku, hal itu tidak perlu dilakukan.” Sahutnya.
Aku memutar bola mataku, lalu menariknya masuk ke dalam toko pakaian. Percuma meminta persetujuan darinya. Semua selalu terlihat salah dimatanya, terutama saat dia sedang kesal seperti sekarang ini. Kami menghabiskan waktu kurang lebih 15 menit, mencari kemeja untuknya. Ia terus menunjukkan sikap keberatan, hingga kemeja itu kubayar—menyisakan dirinya tanpa pilihan lain, selain pasrah.
Aku mengenyahkan ingatan akan hari itu. Aku penasaran, apakah hari ini dia akan memakai kemeja itu atau tidak. Aku mulai membenahi diriku sendiri, sambil memikirkan pria menyebalkan itu. Aku memilih make-up minimalis untuk menyempurnakan penampilanku hari ini. Ferdi pernah memberitahuku bahwa Ivan lebih menyukai penampilanku yang sederhana—tidak berlebihan. Jadi kuputuskan hari ini aku harus terlihat cantik di matanya. Aku ingin pria keras kepala itu menyukaiku malam ini. Aku harus membuatnya terkesan.
Tepat pukul 5 sore, aku menggandeng tangan Rara memasuki ruang pesta. Ruangan ini telah dikerjakan sejak tadi malam. Papa yang membuat konsep desain untuk acara ini. Ada banyak ornamen-ornamen yang berhubungan dengan putri raja dan kerajaan. Aku sampai tidak mengenali ruangan ini, sebagai ruang tamu keluarga kami. Ruangan ini lebih menyerupai ruang pesta kerajaan yang biasa muncul dalam kartun-kartun Walt Disney.
Ketika aku dan Rara tiba, ruangan ini sudah dipenuhi oleh tamu undangan. Kebanyakan tamu yang datang berasal dari kalangan keluarga dan selebritis. Teman-teman sekelas Rara pun sudah mulai terlihat. Mereka mengenakan baju yang kubelikan untuk acara makan-makan waktu itu.
Rara melepaskan genggamanku, berlari menghampiri teman-temannya. Dia mengajak teman-temannya berkeliling, sambil sesekali mengenalkan mereka pada beberapa anggota keluarga kami. Wajah kecil itu terlihat sangat bahagia. Hatiku terasa ringan saat melihat senyuman malaikat kecilku itu.
Beberapa tamu menghampiri Rara untuk memberi ucapan selamat. Aku mengedarkan pandangan, mencari Ivan. Tidak ada tanda-tanda keberadaannya. Jangan-jangan, pria itu tidak datang? Tapi itu tidak mungkin, Rara pasti kecewa bila dia tidak datang. Karena tidak bisa menemukannya dimanapun, kuambil ponsel, lalu mengirim pesan untuknya.
'Kamu dimana?'
Aku menunggu balasan pesan itu. Waktu berlalu, tetap tidak ada balasan. Aku mengedarkan pandangan sekali lagi. Bukannya menemukan Ivan, aku malah bertemu pandang dengan Romi. Pria itu mengenakan kaos berkerah tinggi yang ia padukan dengan jas yang membuat dirinya terlihat semi-formal namun tetap keren. Ia membawa seikat bunga mawar, dan sedang berjalan tepat ke arahku.
“Kamu cantik sekali hari ini.” Pujinya saat sudah didekatku, lalu ia memberikan bunga itu padaku.
Aku tersenyum. “Apa ini? Bukan aku yang berulang tahun.” Ucapku, mengabaikan pujiannya.
“Bunga ini, untuk kamu. Sengaja kubawa untuk kuberikan pada wanita paling cantik dalam ruangan ini.” Lagi-lagi pujian itu ia lontarkan, sambil tersenyum.
“Terima kasih.” Jawabku, tidak tau harus berkata apa.
“Kalau begitu, aku tinggal dulu. Aku ingin menyapa Rara. Aku akan segera kembali.” Romi pergi dan menghampiri Rara.
Aku terpaku di tempatku. Kutatap bunga pemberian Romi, lalu menghembuskan napas dalam-dalam. Kenapa bukan Ivan yang memberikan bunga ini? Kenapa Romi? Kenapa pria menyebalkan itu tidak bisa bersikap sedikit romantis padaku, seperti pria-pria lain?
Mata adikku melebar senang saat melihat Romi. Mereka berbincang untuk beberapa saat, lalu setelahnya Rara kembali larut dalam keceriaan pesta, bersama teman-temannya. Romi sendiri terpaksa meladeni beberapa teman selebritis yang kebetulan hadir di acara ini.
Kuputuskan untuk menghampiri mama, demi menjauhkan diri dari Romi. Saat itulah kulihat papa berjalan masuk, dengan Ivan yang mengekorinya dari belakang. Pria itu mengenakan kemeja yang kupilihkan untuknya, dan kemeja itu membungkus tubuhnya dengan sempurna. Dia memadukannya dengan celana berwarna hitam. Dia terlihat sangat tampan.
“Kalian darimana?” Tanyaku, saat papa dan Ivan sudah berada di sampingku.
“Biasa,,, urusan laki-laki.” Jawab Papa, tertawa.
Papa tidak berdiri terlalu lama bersama kami. Karena begitu melihat papa, mama langsung memanggilnya, untuk menemani mama menyapa para tamu.
“Kenapa tidak membalas pesanku?” Aku bertanya, saat papa pergi.
“Harus ya?” Ivan balik bertanya.