Love Is Him

SavieL
Chapter #22

.: Bukan Permainan :.

Pesta Rara adalah kali terakhir aku menghabiskan waktu berdua dengan Ivan.

Setelah itu dia mulai sibuk dengan persiapan ujian dan pelajaran tambahan bersama murid-muridnya. Tidak ada waktu untuk bersantai, babak final sudah di depan mata. Aku pun mulai disibukkan dengan single baruku, yang membuatku tidak bisa lagi menghabiskan waktu di kelas Ivan.

Kesibukan kami, membuat kami semakin jarang bertemu. Meski tiap malam kami masih berkomunikasi, saling menanyakan perkembangan kegiatan masing-masing, tapi akhirnya semua hanya sekedar berbagi informasi, tidak lebih dari itu. Anehnya, akhir-akhir ini justru Romi yang selalu ada dan menemaniku.

Pria itu telah banyak berubah. Sekarang dia lebih perhatian, lebih peduli, dan tidak kekanak-kanakan lagi. Dia memberi bantuan yang sangat besar padaku beberapa hari terakhir ini. Dengan setia dia menemaniku ke studio, mengantar jemput aku dari rumah, dia bahkan bersedia menungguku saat aku menjalani syuting off air. Aku tidak tau apa jadinya aku, jika tidak ada Romi.

Belakangan, Romi sering membuat kejutan romantis di sela-sela kesibukanku. Terkadang dia mengatur jamuan makan malam istimewa di studio, ketika aku sedang lembur. Lalu di lain waktu, dia membawakan bunga untukku di sela-sela syuting. Saat ada dia, aku merasa nyaman. Dia selalu membuatku tertawa, dan melupakan rasa lelah yang kurasakan. Perlahan, aku mulai terbiasa dengan keberadaannya disampingku.

Romi sangat berbeda dari Ivan.

Ivan adalah pria yang kaku, cuek, dan sangat menyebalkan. Dia memang pria yang dewasa dan berwawasan luas. Tapi terkadang tidak hanya itu yang dibutuhkan oleh seorang wanita. Sayangnya, ia tidak mengerti hal itu. Kebanyakan wanita akan jatuh cinta pada pria seperti Romi. Namun hanya wanita tertentu yang bisa jatuh cinta pada Ivan. Wanita sepertiku...

Ivan. Dimana pria itu sekarang? Pikirku lesu. Apa yang sedang ia lakukan? Apakah dia merindukanku? Sudah beberapa hari aku tidak bertemu dengannya, dan kini aku ingin sekali melihat wajahnya. Aku menghembuskan napas. Hingga hari ini aku masih terus bertanya, apa yang membuatku sangat tertarik padanya?

“Ehm...” Romi berdeham.

Aku tersadar dari lamunanku.

Malam ini Romi mengajakku keluar makan malam—berdua dengannya. Restaurant yang ia pilih sangat nyaman, sangat indah, sangat romantis. Kebanyakan meja diisi oleh pasangan kekasih yang sedang dirundung bahagia. Tidak jauh dari mejaku, seorang pria sedang berlutut melamar kekasihnya. Atmosfer di tempat ini memang sangat mendukung moment penting semacam itu.

Aku tersenyum pada Romi. “Jadi, dalam rangka apa acara makan malam hari ini?” Tanyaku.

“Selamat datang di bumi.” Godanya.

Aku tertawa, merasa malu bercampur tidak enak karena telah mendiamkannya—larut dalam pikiranku sendiri, sejak tadi.

Lihat selengkapnya