‘Aku mencintaimu...’
Kalimat yang Ivan ucapkan tadi siang terus menggema dalam kepalaku. Meski di tengah gemuruh suara, aku yakin itulah yang ia katakan.
“Jangan melihatku terus, nanti matanya jatuh.” Suara Ivan memecah keheningan.
Pria itu berbaring di atas rumput di taman belakang rumahku, menatap langit. Aku duduk di sampingnya, dan memang sejak tadi aku tidak berhenti menatapnya.
“Katakan itu sekali lagi.” Pintaku.
Ivan memutar bola matanya. “Aku sudah bilang, bukan? Aku tidak akan mengulanginya, jadi kamu harus mendengarkan dengan baik.”
“Aula sangat ramai. Aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas.” Ucapku, pura-pura. “Memangnya kenapa kalau diulang? Tidak ada salahnya bukan?”
Ivan menghembuskan napas. “Kamu harusnya tau, aku ini sangatlah payah dalam urusan semacam itu. Memangnya sahabat-sahabatku tidak bilang?” Ivan mengganti posisinya. Dia duduk disampingku. “Saat penyisihan babak pertama, kamu mengajakku makan malam denganmu. Ingat?” Dia menatapku.
Aku mengangguk, sambil menebak arah pembicaraannya.
“Saat itu, ingin rasanya aku menjawab, ‘Tentu saja. Ayo pergi makan malam, berdua.’ Tapi aku tidak bisa mengatakan hal semacam itu. Jadi aku mencari cara untuk menerima ajakanmu, tanpa terlihat bahwa aku pun menginginkannya. Karena itulah aku menggunakan murid-muridku sebagai alasan.” Ucapnya dengan wajah polos.
Aku memukul lengannya, pelan. “Bagaimana kalau hari itu mereka tidak lolos?” Omelku, merasa dipermainkan.
Ivan tertawa. “Aku yakin mereka mampu memenangkan babak itu. Karena itulah aku berani bertaruh seperti itu. Seandainya mereka gagal, aku akan tetap mencari alasan untuk makan malam denganmu.” Jawabnya ringan.
Aku melipat tangan di depan dada, memasang tampang sebal. “Kenapa seperti itu? Sesulit itukah, untuk bilang iya? Sesulit itukah, untuk mengajakku pergi?” Aku merasa jengkel sendiri.
“Aku minta maaf, karena tidak bisa menjadi pria romantis seperti yang kamu harapkan.” Ia tersenyum. “Kau tau? Kamu adalah kelemahan terbesarku. Aku telah jatuh cinta padamu, jauh sebelum kita bertemu. Setiap ada kamu, jantungku berdetak lebih cepat dan aku tidak bisa berpikir dengan benar.” Dia membalikkan badannya, menatap langsung padaku. “Saat kamu menyapaku, muncul warna baru dalam duniaku yang selama ini hanya mengenal hitam dan putih. Hatiku tidak pernah sebahagia itu. Aku ingin menatapmu, aku ingin membalas sapaanmu. Namun, tembok yang memisahkan kita terlalu tinggi. Masa lalu menghantuiku, membuatku mengingat betapa terbatasnya diriku. Kamu adalah matahari, tidak sepantasnya aku berharap untuk memilikimu. Aku hanya akan terbakar habis hingga tidak ada lagi yang tersisa dariku. Aku tau sikapku sangatlah buruk terhadapmu. Namun, terluka di awal jauh lebih baik daripada harus menanggung luka yang lebih besar di kemudian hari.” Matanya menatapku, penuh penyesalan. “Aku membiarkan hati ini membakarku dengan perasaan cinta yang ingin kusangkal. Meski aku tau, bahwa nyala cinta layaknya nyala api abadi. Tidak ada yang dapat memadamkannya.”
Tidak kusangka kalau ternyata dia menghadapi pergulatan yang sangat besar di dalam dirinya. Aku selalu berpikir bahwa akulah yang selama ini menderita. Akulah yang selama ini berjuang. Sementara dia,,, dia hanyalah pria tanpa perasaan yang sangat menyebalkan. Ternyata, aku selalu salah menilainya.
“Lalu kamu pergi ke Birmingham.” Ia melanjutkan. “Kupikir semua akan baik-baik saja, tanpa kehadiranmu. Semua akan kembali seperti semula. Ternyata aku salah. Aku justru merasa seperti dilempar masuk ke dalam black hole. Rasanya lebih sunyi dari sebelumnya. Rasanya seperti ada bagian diriku yang hilang entah kemana. Dan hampir setiap saat aku merasa akan gila karena tidak bisa melihat ataupun mendengar tentangmu. Berbulan-bulan aku mencoba untuk bertahan. Aku mencoba menenangkan hatiku dengan mengatakan bahwa kamu pasti kembali, dan aku dapat melihat senyum itu lagi. Lalu saat kamu kembali ke Jakarta, dengan sisa dirimu yang terluka karena perbuatan Oscar,,,”
Dia terdiam begitu melihat reaksi di wajahku. Darimana dia tau tentang Oscar?
Ivan tersenyum. “Aku tau.” Jawabnya seolah dapat membaca pikiranku. “Aku tidak sengaja mendengar percakapanmu dan orang tuamu. Saat mendengarnya, aku merasa sangat marah. Tidak bisa menolongmu saat itu, membuatku merasa kesal dan payah.”
Aku menggenggam tangannya, lalu menggeleng pelan. “Jangan seperti itu. Kamu tidak boleh seperti itu. Sebenarnya, ada yang tidak aku ceritakan pada papa dan mama waktu itu. Aku merasa malu bila harus menceritakannya pada mereka.”
Ivan menatapku bingung.