Ada lift khusus yang langsung menuju ke Penthouse Dee. Penthouse Dee berada di level paling atas dari bangunan ini. Bahkan lebih tinggi dari resto rooftop. Konon, nggak hanya artis-artis tenar yang tinggal disini. Ada banyak pejabat dan konglomerat ternama, punya unit apartement dan penthouse disini.
Setiap penthouse dilengkapi dengan akses lift khusus, sehingga privacy mereka akan sangat terjaga. Bisa dibilang sangat sulit untuk berpapasan dengan orang lain. Selain private lift, mereka juga punya akses jalur umum, dimana bagian security, cleaning service atau delivery bisa masuk. Tapi sekali lagi melalui prosedural yang rumit.
Karena gue sekarang adalah manager Dee, gue punya akses private lift. Akhirnya gue sampai ke penthouse Dee. Begitu pintu lift terbuka, langsung mengarah pada sebuah lorong tempat menaruh sepatu tamu-tamu yang berkunjung. Melewati lorong itu, masih ada lorong dapur kotor, kamar mandi kecil, gudang alat – alat kebersihan, serta satu kamar dengan ukuran kecil untuk Asisten rumah tangga. Diujung lorong ada sebuah pintu besar. Gue coba ketuk pintunya. Nggak ada jawaban. Gue coba ketuk lagi, tetep gak ada jawaban. Ya udah gue buka pintunya dan memang nggak dikunci.
Gue buka pintu itu. WOOOOWW.. Gue melongo. Memang tempat tinggal artis ngetop mah beda. Ketika pintu dibuka, langsung terbentang ruang tamu yang sangat luas dan rapih banget. Lantainya marmer putih, kinclong banget. Ini kayaknya 30 orang juga muat. Ada 1 buah TV super gede beserta stereo sound systemnya, 2 buah sofa besar, 1 barcalounger, meja besar dan mini bar. Dibelakang mini bar ada foto Dee guedeee banget. Semua di dominasi warna hitam putih dan kayu.
Ruang tamunya doang udah segede lantai satu rumah gue. Ruang tamu itu dikelilingi oleh jendela-jendela kaca yang mengarah ke taman yang cukup besar dan private swimming pool. Enak banget, matahari pagi bisa masuk dengan bebasnya. Pasti pemandangan cahaya lampu dan bulan dimalam hari juga nggak kalah hebatnya. Aaahh, rasanya bakalan betah banget tinggal ditempat kayak gini.
Dibelakang sofa ruang tamu, ada meja makan besar dan dapur dengan semua peralatan masak yang canggih. Lebih ke dalem lagi, gue lihat ada ruangan kerja yang pemandangannya langsung ke jembatan sungai bantari. Ruangan yang didominasi warna coklat, dan didalamnya ada piano, gitar, computer dan sofa panjang.
Disebelah kamar kerja itu ada 2 kamar kosong, mungkin buat tamu atau keluarganya yang mau nginep. Satu kamar bisa dibilang seperti gudang yang berisi hadiah-hadiah dan surat-surat dari fans. Woww banyak banget! Sampe ada yang udah usang, saking kelamaan dijadiin pajangan doang. Nah kamar Dee dimana? Ternyata ini penthouse 2 lantai. WADIDAW! Lantai satunya aja bikin gue super nganga, apalagi lantai 2.
Saking asiknya gue masuk ke ruangan yang sangat surgawi ini, gue sampe lupa tujuan gue datang kesini. Gue nyari-nyari Dee yang dari tadi kok nggak kelihatan. Gue panggil-panggil pun nggak ada jawaban. Somehow, gue agak takut mau naik ke lantai 2, karena auranya seperti kelam dan gelap. Koin mana koin. Triiiingggg.. oke, coin says gue harus naik.
Akhirnya gue memberanikan diri naik ke lantai 2. Gue shock saat ngeliat lantai 2 ini sangat bertolak belakang sama lantai 1 yang super surgawi. Di lantai 2, bener-bener kaya tong sampah! Baju berserakan dimana-mana, sampah-sampah bekas makanan, kertas-kertas, tissue dan botol-botol minuman. What happen here? Abis armagedon gitu?
Jadi ruangan dilantai 2 ini, cuma 1 ruang besar berdinding putih tanpa pintu. Hanya ada 1 ranjang besar, lemari pakaian yang sangat bersar, cermin, meja kecil, TV dan 1 kamar mandi. Ya, ini adalah kamar Dee. Di ranjang besar itu, gue ngeliat Dee lagi tidur dengan lelapnya. Gue berdiri diujung tangga, tanpa berani melangkah lebih dekat sambil mendekap berkas-berkas ditangan gue. Gue mencoba berdehem agak keras untuk ngebangunin si Dee. Kalo gue nggak ngeliat dada Dee kembang kempis, pasti gue sangka dia udah mati. Tidurnya kayak orang mati, tidak bergeming.
“ Dee.. “ gue mencoba memanggil dan no respon.
Akhirnya gue memberanikan diri buat ngedeketin ranjang Dee dan melewati semua tumpukan sampah itu. Gue perhatikan Dee, kok mukanya merah banget, ditambah lagi nafasnya kayak berat banget. Gue coba pegang keningnya. Ya ampun! Panas banget! Gue yakin ini panasnya ada kali 40 derajat celcius.
“ Dee.. lu kenapa?” gue mencoba membangunkan Dee, perasaan khawatir mulai naik ke dada gue.
Mendadak ada perasaan sedih menyelimuti hati gue. Di tempat sebagus dan sebesar ini, nggak ada yang tahu Dee sakit. Apakah selama ini dia selalu sendirian seperti ini? Nggak ada yang ngurus? Dimana orang tuanya? Keluarganya? Gue sekali lagi nyoba bangunin si Dee, gue guncangin badannya dengan lebih keras. Berhasil. Dee pelan-pelan buka matanya.
“ Dee.. lu demam tinggi, kita ke rumah sakit ya?” tanya gue dengan lembut.
Gue dengan reflex langsung duduk diranjang Dee. Dee hanya ngeliatin gue, matanya berkaca-kaca kemudian tersenyum. Terharu gitu ya, ada orang yang ngunjungin dia? Gue bingung, Dee masih ngeliatin gue. Tiba-tiba, dengan sangat cepat Dee duduk, narik tangan gue terus meluk gue dengan sangat erat, seakan takut kehilangan gue. Gue tercekat, kaget, blank. What? What happen?!
Gue berusaha melepaskan pelukan Dee. Dee malah makin erat peluk gue, dan dia menangis, bener-bener menangis seperti anak kecil. I really don’t know what to do. Setelah beberapa detik, akhirnya gue putuskan buat Dee meluapkan tangisannya dipelukan gue. Gue tepuk-tepuk punggungnya pelan. Bukannya gue kegatelan ya, tapi gue nggak pernah liat ada cowok nangis sampe segininya.
Apalagi seorang Dee, yang kalo dimedia selalu kelihatan cool. Gue cuma liat dia nangis di film-film atau serial-serialnya, yang gue tau dia lagi acting. Memang kita nggak bisa judge kehidupan seseorang. Untuk saat ini, gue ngerasa dia lagi bener-bener down banget. EHHH, tau nggak apa yang bikin gue heran? Gerd gue nggak kumat! Gue nggak batuk – batuk. Segininya dipeluk sama seorang Dean Ivander! Ketika gue sedang berpikir, Dee tetiba melepaskan pelukannya, dia menatap gue dalam banget. Gue berusaha tersenyum. Ada apa lagi?
“ Eve, please come back” lirihnya.
Semua berlalu dengan begitu cepat, Dee menarik gue dan mencium bibir gue dengan sangat kuat dan bergairah! Dia melumat bibir gue dengan kasar, seakan mau bilang kalo gue itu milik dia. Dia pegang leher gue dengan sangat kencang dan ciumannya bikin gue nggak bisa nafas. Ditengah rasa kaget dan panic, gue berusaha berontak.
“ Dee!!” teriak gue sambil mendorong Dee dengan kasar.
Dee terjatuh ke tempat tidurnya, dan sepertinya dia mulai sadar kalo dia baru saja berhalusinasi. Kemudian dia menatap gue dengan sangat terkejut.
“ Lu kenapa disini?” tanyanya kikuk.
Gue yang kesel, kaget dan marah, melempar berkas-berkas kontrak kerja ke kasurnya, kemudian turun ninggalin dia yang juga masih bingung. Gue turun sambil ngelap – ngelap bibir gue. That was my FIRST KISS! Gue mendambakan first kiss gue sama orang yang gue suka, bukan sama playboy macam dia! Semua mimpi kisah romansa gue berantakan! Fix! Gue pengen resign! Gue pengen keluar dari kerjaan ini! Baru sehari jadi managernya Dee, udah terlalu banyak kejadian yang bikin gue dongkol!
Gue keluar ke taman, berusaha menghirup udara segar dan menenangkan diri. Gue udah siap –siap mau telpon Bu Anna. Tapi lagi-lagi gue teringat Papa, uang 100 juta yang Papa butuh dan hutang-hutang kami. Gue juga teringat bu Anna yang akan kehilangan karirnya kalo gue nggak stick around sama Dee and make him shine again. Gue narik nafas dalam beberapa kali. This time, gue nggak berani flip flop koin. Karena hati gue tau apa yang seharusnya gue lakukan. Nggak kerasa gue meneteskan air mata. Gue cepet-cepet ngehapus air mata gue.