LOVE IS IDIOT

Jessy Anggrainy Rian
Chapter #10

BAB 10. BERDARAH TAPI TAK TERLIHAT

Pagi ini gue bangun dengan perasaan yang super happy. Ciuman Dee kali ini, walau hanya dikening berhasil bikin gue baper. Gue sangat yakin, hubungan gue sama Dee mulai hari ini akan jauuuhh lebih baik. Gue cek HP dan ada 15 missed call dari Bu Anna, 9 missed call dari Mela, dan 1 missed call dari Ferdinand. Hah, ada apa gerangan? Gue telpon bu Anna dan dia cuma nyuruh gue cepet-cepet liat artikel berita. Begitu gue liat artikel, jantung gue serasa mau copot! Gue sampe berkali-kali tepuk-tepuk muka, berharap ini mimpi.

ADA FOTO DEE CIUM KENING GUE SEMALEM! Artikel dimana-mana, semua isinya “Pacar Baru Dee?” atau ”Korban” Baru Dean Ivander?”. NOOOOO! Siapa yang ambil foto ini diem-diem? Memang fotonya gelap dan sedikit blur. Tapi kalo sampe Bu Anna, Mela dan Ferdinand missed call gue di saat yang bersamaan, artinya orang-orang tau kalo itu gue! Gue males baca isi artikelnya. Gue baca komen-komen artikelnya. Udah lebih dari 600 orang yang komen dan semua mencaci maki gue!

Memang betul, ada kalanya Artis-artis nggak usah baca komen-komen netizen, terlalu menyakitkan. Nggak lama kemudian, Bu Anna chat gue “ You fix this! Idiot!” maki Bu Anna dalam chatnya. Gue bergegas bangun, mandi, skip sarapan dan pergi kerja. Gue naik taksi Online dan langsung menuju ke penthouse Dee. Sesampainya di Penthouse, Dee udah nungguin gue di sofa dengan tatapan marah sambil liat HPnya. Mampus! Dee udah tau artikel itu. Begitu liat gue dateng, si Dee langsung berdiri dan nyamperin gue dangan marah.

“ Semua orang sama aja! A LIAR!! Kalian butuh gue buat pansos? Ya kan?!” Katanya langsung marah-marah.

“Sebentar, dengerin dulu..” pinta gue yang nggak nyangka Dee semarah ini.

“ Cuma Papa lu yang kemaren pegang kamera!” Gue langsung tersakiti dengan kata-katanya.

Sejahat itukah keluarga gue dimatanya? Hanya karena sebuah foto yang bisa gue pastikan bukan Papa yang moto dan sebarin ke media. Gue sampe blank, nggak bisa ngomong apa-apa.

 “ Jangan ngerasa kalo lu adalah satu-satunya pria yang paling sempurna!” kata gue dengan bergetar menahan marah.

Dee kemudian narik tangan gue dengan kasar dan melempar badan gue ke sofa.

“ Gue paling benci dibohongin! Gue paling benci dimanfaatkan! Jangan karena kemarin gue baik sama lu, jadi lu ngerasa berhak atas gue! DENGER BAIK-BAIK! SELAMANYA LU SAMA GUE ADALAH KLIEN DAN MANAGER! NGGAK AKAN PERNAH LEBIH DARI ITU!” Dee menegaskan sama gue.

Dada gue sesak dan dingin, rasanya seperti banyak jarum kecil yang nusuk dada gue. Gue cuma bisa nunduk dan nahan supaya air mata gue nggak netes. Gue ngerasa gerd gue mulai kambuh. Tenggorokan mulai gatel, tapi gue tahan. Dee kemudian munggungin gue dan natap ke arah kolam renang. Gue masih liat pundaknya naik turun karena emosi. Gue cepet berdiri dari sofa.

“One day, lu harus belajar buat dengerin penjelasan orang lain, sebelum lu mulai melukai perasaan orang lain. Untuk kejadian ini, gue nggak akan minta maaf, karena gue 100% yakin, gue dan Papa NGGAK SALAH! Tapi, Lu tenang aja, gue cukup tau diri buat menempatkan diri gue” Setelah selesai ngomong, gue ambil tas gue lalu meninggalkan Dee yang menunduk masih memunggungi gue.

Begitu gue tutup pintu, gue ngedenger Dee teriak “Aaaarrggghh!”

Gue keluar dari penthouse Dee. Di dalem lift gue batuk-batuk sampe sesak nafas. Gue langsung menuju ke rooftop resto untuk cari udara segar. Gue kepengen banget pulang, berharap hari ini nggak usah nemenin Dee shooting. Tapi ini bagian dari pekerjaan gue. 13 hari lagi Jen. Begitu sampe rooftop gue langsung ke toilet untuk menenangkan diri dan cuci muka. Ada banyak pikiran diotak gue. Siapa yang nyebarin foto itu, apa maksudnya? Apa ada wartawan yang ngikutin kami semalem?

HP gue berbunyi. Ferdinand. Sebetulnya gue males banget buat angkat telpon dia saat ini. Gue mikirin perkataan Dee semalem. Memang betul, Ferdinand sama sekali nggak ngucapin apa-apa ke Papa, padahal dia tau kemarin adalah ulang tahun Papa. Padahal Papa sengaja telpon Ferdinand buat dateng. Gue narik nafas dan gue angkat telpon Ferdinand.

“Jen? Kamu dimana?” tanyanya.

“Kerja” kata gue pelan.

“Malem ini, bisa kita ketemu? Tanyanya ke gue.

“Oke” Gue mengiyakan dengan cepat.

Kami buat janji untuk bertemu disuatu tempat nanti malam. Ada banyak hal yang harus gue jelaskan sama Ferdinand. Gue yang sempet kebawa perasaan sama Dee, gue harus jelasin semuanya. Gue liat HP gue dan HP Manager. Semua dipenuhi notifikasi dari netizen yang gue yakin isinya adalah caci maki buat gue, dan teriakan cewek-cewek yang patah hati. Kalo aja kalian tau apa yang Dee lakukan ke gue barusan, kalian akan bersorak sorai.

Udah jam 9. Gue harus berangkat ke tempat shooting sama Dee. Gue nggak konsen buat kerja, hati gue sakit. Gue pengen pulang, tapi gue harus kerja. Gue tarik nafas dan ngeliatin koin Mama. Tapi, kali ini gue coba nggak nanya koin. Gue putuskan, gue harus balik ke penthouse Dee. Dee ternyata udah siap buat berangkat. Well, dia masih ngejaga profesionalitasnya. Begitu gue masuk, suasana menjadi sangat canggung. Dee kemudian melemparkan masker ke gue.

“ Mulai sekarang pake itu. Lu udah jadi salah satu objek yang diburu wartawan” katanya.

“Nggak usah, makasih. Mohon mulai sekarang, nggak usah kasih perhatian apapun sama gue. Gue bisa jaga diri “ kata gue dengan suara bergetar sambil naro lagi maskernya di meja.

Lihat selengkapnya