Walau masih sedikit lemes, gue perlahan bangkit berdiri. Dee memunggungi gue. Nggak lama HP gue bunyi lagi. Telolet telolet telolet..
“ Jangan angkat” perintah Dee ke gue.
“Why?” tanya gue masih lemes.
“ Lu nggak boleh sama dia atau cowok manapun!” Dee berbalik dan mendekati gue.
Gue terkejut. Perkataannya bikin gue salah tingkah dan takut. Takut kalo gue akan semakin mencintai Dee, padahal gue sadar sekarang hal itu nggak boleh terjadi. Gue nggak ngerti, kenapa Dee bersikap begini sama gue. Yang jelas gue nggak boleh membiarkan ini semakin dalem. Kenapa? Karena nggak akan pernah masuk di akal siapapun, seorang Dean Ivander bisa jatuh cinta sama cewek seperti gue. Ini akan jadi hal terbodoh dimata dunia.
Gue cukup tau diri, apalagi temen-temen kencan Dee yang sebelumnya nggak ada yang dari kalangan rakyat jelata kayak gue. Bagi gue, Dee memang seharusnya bersama Eve. Di mata dunia, hal itu lebih masuk akal. Gue juga memang ngerasa Dee masih mencintai Eve. Terlihat dari cara Dee mandang Eve dan waktu tadi mereka berciuman.
“ Terus gue harus sama siapa? Lu? Lu udah punya Eve!” kata gue sambil menatap Dee dengan heran.
Lalu gue mendorong Dee dan dia tetap nggak bergeming. Gue mau buka pintu lift, tapi Dee narik pergelangan tangan gue dan menggengamnya dengan erat. Gue bisa ngerasain Dee nggak mau lepasin gue.
“ Ciuman barusan menjelaskan semuanya. Jadi lu mau menyangkali perasaan lu sendiri?” tanya Dee sambil menatap gue.
“ Perasaan apa?” kata gue menunduk menghindari tatapan Dee.
Dee terdiam. HP gue terus berbunyi. Akhirnya gue tatap Dee dengan pandangan memelas.
“ Dee.. enough.. please…kita.. nggak mungkin.. “ kata gue sedih.
“ Kata siapa?” tanya Dee marah.
“ Seluruh dunia! It does not make sense, Dee! Lu hanya ngerasa nyaman aja sama gue. Lu tanya sama diri lu sendiri! Orang yang sebenernya lu cintai adalah Eve!“ gue meneteskan air mata, sakit hati gue, seperti menusuk jantung gue sendiri.
“ Jadi pandangan orang lain lebih penting buat lu?” Dee bilang gitu dengan kecewa.
“ Orang buta juga bisa ngerasain, cara lu memandang Eve, gimana lu merindukan dia , bahkan saat lu hanya ngeliat fotonya. I know she is the one you desire most, Dee. I can feel that..” kata gue lagi, kali ini gue menangis.
Gue mencoba melepaskan tangan gue, tapi Dee menggenggam gue lebih erat. Gue menarik nafas dalam.
“Kalo lu nggak lepasin gue, besok gue akan resign.. “ akhirnya gue ngancem Dee yang kaget sama omongan gue.
“ Sebegitu bencinya kah lu untuk berada disamping gue? Sampe lu rela ngelepasin pekerjaan yang penting ini buat lu? ” Dee menatap gue lekat-lekat dengan penuh kekecewaan.
“ Kita udah terlalu jauh kebawa ombak.. udah saatnya, kita kembali ke posisi masing-masing.. “ gue bilang itu dengan sungguh-sungguh.
Akhirnya Dee ngelepasin tangan gue. Gue segera buka kunci lift dan keluar dari lift, meninggalkan Dee. Gue lari menuju basement dan nangis sekenceng-kencengnya. Gue pukul dada gue yang masih kerasa sesak dan kali ini serasa sangat sakit. Setelah malam ini, kisah gue dan Dee berakhir sudah. Meskipun gue tau, kisah ini nggak seharusnya dimulai. Seharusnya dari awal gue nggak kebawa perasaan sama semua perhatian Dee. Seharusnya gue bisa membatasi diri. Seharusnya…..
Gue menenangkan diri, sebelum akhirnya gue telpon Ferdinand. Udah jam 8 malem dan gue udah telat 1 jam dari waktu janjian kami. Gue pasrah kalo seandainya Ferdinand ngamuk lagi.
“ Halo.. Jen, finally” jawab Ferdinand, langsung angkat telpon dari gue.