LOVE IS IDIOT

Jessy Anggrainy Rian
Chapter #24

BAB 24. LOVE IS IDIOT

GREEEEEKKKKK! Suara pintu ruko ditutup. Papa menyerahkan kunci ruko kepada sang pembeli. Pembeli ruko Papa adalah seorang pria yang masih muda, kira-kira berumur 25 tahun. Katanya dia membeli ruko ini sebagai hadiah kejutan untuk calon istrinya. Mereka ingin membuka usaha bersama.  Ah, syukurlah…setidaknya nyawa ruko ini masih tetap sama dengan apa yang Papa Mama perjuangkan dahulu. 

“ Terimakasih ya, semoga sukses!” kata Papa kepada pemuda itu.

“ Amin.. terimakasih juga Om. Merry Christmas!” katanya dengan ramah ke Papa dan gue.

“ Merry Christmas too” kata gue.

Pemuda itu kemudian naik mobil meninggalkan kami. Papa dan gue memandangi ruko ini. Ruko yang pasti punya sejarah panjang dan manis untuk Papa. Ruko perjuangan Papa dan Mama. Ada rasa bersalah dihati gue yang akan selalu gue rasakan seumur hidup gue.

“ Udah, nggak apa-apa, Papa sudah rela. Memang sudah saatnya Papa beristirahat dan menikmati hidup” kata Papa sambil mengelus-elus pundak gue.

Gue merangkul tangan Papa dengan erat. Ada ucapan terimakasih dari hati gue atas besarnya pengertian Papa terhadap keputusan yang udah gue buat. Keputusan gue untuk resign dan menolak tawaran 100 juta itu. Keputusan untuk gue melepaskan Ferdinand. Mama benar, memang hidup akan selalu dihadapkan pada pilihan. Seperti dua sisi koin, pada akhirnya kita harus memutuskan. Walau berat, walau tampak bodoh.

Udah 6 bulan semenjak gue resign. Gue sekarang memutuskan untuk wiraswasta. Sebetulnya dari dulu, hobby gue  adalah menggambar dan melukis. Inget kan, waktu gue ngelamar ke Sitka Art Group, Gue ngelamar bagian design graphis. Nah, sekarang gue buka gallery lukis dan kursus menggambar dan melukis kecil-kecilan untuk anak-anak.

Si Mela bantuin promosi ke temen-temennya. Maklum dia mah kan mamah muda yang gahol. Rumah si Mela kan super gede nih. Jadi di bagian taman, dibelakang rumahnya ada ruangan kecil yang kosong dan nggak terpakai. Bagus banget, jadi gue bisa mengajar menggambar sambil menikmati pemandangan taman yang apik. Gue diijinkan buat pake ruangan itu, dengan harga sewa yang super duper muraaaahhh. 

Musim liburan gini, justru banyak orang tua yang pengen anak-anaknya tetap berkreasi. Jadi, kalo orang lain liburan, gue tetep menyibukkan diri untuk mengajar. Pekerjaan ini bikin gue happy. Gue merasa disinilah gue merasa terpakai sesuai bakat dan panggilan hati gue. Selain itu, dengan melukis, jiwa gue lebih tenang. Apalagi kalo gue melihat karya anak-anak, gue sampe terharu sendiri. Eh, beberapa orang tua anak-anak ini, bahkan ada yang inget loh kalo gue pernah jadi Managernya Dee.

“ Yang waktu itu fotonya sempet heboh kan ya?”

“ Kenapa berenti? Sayang bangettt”

“ Dean itu orangnya baik ya?”

“ Aduh happy dong ya bisa deket terus sama Dean?”

Dannnn segudang pertanyaan-pertanyaan lainnya. Gue sih berusaha ngeladenin aja dengan santai. Malah kadang si Mela yang berusaha stop pertanyaan-pertanyaan itu. In fact, selama enam bulan ini, gue nggak mengasingkan diri dari sosmed, TV atau berita-berita tentang Dee. Memangnya gak sedih kalo liat Dee? Banget!  

Tiga bulan pertama, kalo ngeliat Dee di TV, sosmed, tabloid atau papan iklan, gue selalu mewek-mewek. Sampe bapak supir taksi suka kebingungan sendiri, takut disangka dia nyulik gue kali ya. Gue nggak mungkin bilang kan kalo gue sedih ngeliat muka mantan kekasih gue di papan iklan. Bisa-bisa si supir taksi bilang “Yeehhh halu! Ngaca dong nonnnn…”

Bagi gue saat ini, gue harus menerima bahwa dibelahan dunia manapun gue berada, Dee akan selalu ada diotak dan hati gue. Jadi mau gue lari sejauh apapun, gue nggak akan pernah bisa ngelupain Dee. At least, gue bisa tau kabar Dee dari berita-berita. As long as he is fine, then im fine too.

“Itu namanya lu nggak bisa move on. Masih banyak cowok di dunia ini yang bisa lu prospek! Mati satu tumbuh seribu dong, Apalagi yang matinya kayak Dee, yang tumbuhnya kayak apa coba? Ahhh,, Jen.. Bego lu ah..” kata si Mela.

Gue hanya tersenyum.

“ I know.. love is idiot after all…” kata gue ke Mela. 

Hari ini malam natal. Mela mengundang gue ke Villa keluarganya di puncak kota Bantari. Kok nggak ke rumah Ama? Nah Ama ini kalo holiday season begini, suka pergi ke luar kota atau ke luar negri. Kadang giliran diajak sama Om anu, Tante inu. Kali ini Papa dan Ama diajak pergi sama Om ke luar kota. By the way, Ama nggak ngamuk tau gue sama Ferdinand putus? Oh jelaslah… Wuiiihhh angin puting beliung, angina bohorok juga kalah!! Ama sampe udah bilang gini ke gue

“Masa bodoh! Ama nggak akan perhatikan kamu lagi!!”

Gue nggak cerita ke Ama, siapa dan bagaimana Ferdinand sesungguhnya. At least sebagai respect gue atas kejujuran Ferdinand, gue nggak mau nama dia jelek. Ya sudahlah, gue anggap aja, marahnya Ama, sebagai rasa sayang sama cucunya ini.

Pagi ini, gue bantu Papa packing untuk berlibur. Kali ini Papa pergi agak lama, 2 minggu. Yah, Papa memang berhak menikmati liburan ini. Selama ini, Papa jaraaang banget liburan. Karena setiap liburan, Papa memilih buka toko, dan memang sih kalo pemasukan selama liburan itu sangat lumayan.

“ Kamu bener nggak apa-apa sendirian?” tanya Papa sambil memakai jaket.

“ Nggak apa-apa, Pap.. kan malem ini juga Jen ke villa Mela.. jangan pusing, pokoknya enjoy your holiday! “ Kata gue, lalu gue memeluk Papa.

Papa mengecup kening gue, lalu memasukkan beberapa koper ke taksi dan pergi. Gue mengantar Papa sampai taksinya nggak keliatan lagi. Gue menarik nafas dan mata gue mulai berkaca-kaca. Di satu sisi, gue lega dan happy karena Papa bisa pergi liburan, tapi disisi lain gue sedih, karena gue belum bisa bikin Papa Happy.

Nggak kerasa waktu udah sore. Gue siap-siap buat pergi ke Villa Mela. Sebelum ke Villa Mela, gue menyempatkan diri untuk pergi ke taman kota di samping sungai Bantari. Gue chat ke Mela kalo gue bakal sedikit terlambat karena gue perlu survey tempat untuk mencari area melukis yang bagus buat anak-anak. Memang taman ini sangat indah, rapih dan bersih. Suasananya sangat resik dan tenang.

Ada lapangan rumput besar, bangku-bangku taman, area bermain sepeda, jogging track, arena olah raga dan air mancur yang besar. Ditambah dekorasi natal yang bikin taman ini semakin menyenangkan. Lampu-lampu taman, hiasan natal, menyenangkaaan.. Memang kota Bantari tau bagaimana memanjakan penduduknya.

Gue berjalan ke pinggir sungai. Ada pasir-pasir halus di pinggiran sungai. Ahh, udah lama gue nggak main pasir. Gue lepas sepatu gue dan berjalan di atas pasir itu. Gue menghadap sungai, merentangkan tangan dan menghirup udara segar. Gue biarkan angin menerpa badan gue. Tiba-tiba ada yang mendorong badan gue, sampai gue terjatuh.

Lihat selengkapnya