Nana tahu dia akan kalah.
Setelah sehari penuh drama dan tekanan publik, Nana akhirnya menyadari satu hal penting: Okta bukan lawan yang mudah.
Mau sehebat apapun gaya ngetiknya, segila apapun idealisnya, tetap saja ini bukan seperti lomba puisi atau nulis naskah novel. Ini soal berita! Fakta. Data. Logika. Bukan metafora atau diksi. Nana enggak paham apa-apa. Beda sama Okta yang udah hidup di dunia jurnalistik dari bayi. Enggak, deh, becanda. Tapi tetap 'kan, track record Okta sudah macam reporter CNN cabang sekolah?
Komentar-komentar dari berita gosip antara Nana dan Okta terus mengalir. Nana memperhatikan dan merenungkannya.
[@hanya.NPC: sebenernya bukan masalah dari divisi apa, sih. Tapi menjadi Pemred itu tanggung jawabnya gede. Fokusnya berita. Harus bisa mimpin liputan, validasi data, menghadapi deadline, belum lagi masalah dinamika di redaksi.]
[@syomai.bakar: setuju, sih. Secara sastra itu cenderung subjektif, beda sama berita yang harus objektif.]
[@Mata.Nashwa: heem. Orang-orang dari redaksi berita juga biasanya punya jaringan sama akses informasi yang luas. Ini juga jadi nilai lebih kalau mau memimpin media sekolah.]
Nana membaca semuanya. Matanya perih, tapi tidak bisa berhenti untuk men-scroll, seakan ada jawaban yang dapat ditemukan.
Berarti bukan masalah Nana dari divisi sastra 'kan? Dia memang belum pernah meng-handle berita mentah dari nol. Tapi bukan berarti enggak bisa dipelajari 'kan?
"Kalah sebelum berperang itu bodoh, tapi lebih bodoh lagi berperang tanpa senjata."
Dia butuh senjata. Butuh cara. Nana tahu dia harus mencari peluang untuk membuktikan bahwa dirinya layak. Cewek itu mengetuk-ngetuk meja belajarnya pelan. Bunyi jemarinya seperti sandi morse yang menunggu jawaban.
Apa yang harus dia lakukan?
Siapa yang bisa membantu?
Nana menyerah. Tak ada ide yang masuk. Otaknya penuh dan buntu. Kalau ada Okta, cowok itu pasti sudah membantunya. Sekarang dia harus berjuang sendirian, bahkan melawan mantan pacarnya yang kini saling berseberangan.
Kepala Nana berat, seberat pertemuannya dengan Okta keesokan harinya. Lagi-lagi mereka bertemu di lorong lantai dua. Cowok itu tak sendirian, Lisa --pemred yang sekarang menjabat berdiri di sampingnya.
"Na," sapa Okta ramah.
Nana tak menjawab. Tatapannya tajam menekuri wajah Okta yang rambutnya lebih ikal dari biasanya. Lalu tatapan itu turun ke Lisa yang tampak tegang, seperti sedang berhadapan dengan dua arus berlawanan.