Love is (not) War

Aulia Fitrillia
Chapter #4

Bab 4. Rival

Senyuman masih menggantung di wajah Nana saat keluar perpustakaan. Tapi kali ini bukan senyum biasa, melainkan tekad yang menyatakan: aku belum kalah!

Pertama kalinya sejak konflik dimulai, Nana merasa punya arah. Cewek itu menuju ruangan Ibu Huda dengan langkah mantap. Setiap ketukan pintu berisi kepercayaan diri. Lalu sebelum dipersilakan masuk, Nana merapikan anak rambutnya, seolah ingin mengatakan bahwa kali ini dia datang dengan versi terbaik.

Ingat, tak ada seorang pun yang dapat mematahkan semangat Nana!

"Masuk!" Suara Ibu Huda terdengar dari dalam.

Ruangan itu kecil, kira-kira 3x3 meter. Pengap oleh lemari kayu besar di salah satu sudut dan tumpukan dokumen. Hanya ada suara kipas angin tua dan ketikan keyboard di sana.

"Tunggu sebentar. Biar saya selesaikan pekerjaan dulu."

Ibu Huda menatap Nana sejenak, lalu melanjutkan kegiatannya.

Nana duduk. Tangannya mengepal dipangkuan, menahan semua kata yang ingin dia keluarkan. Cewek itu mengatur napas. Sabar. Sabar.

Tak lama kemudian, Ibu Huda menutup layar laptopnya. Wakil kepala sekolah sekaligus pembina WartaCipta itu menatapnya penuh tanda tanya.

"Ada apa, Nana?"

Nana bingung harus memulainya dari mana. Terlalu banyak yang ingin disampaikan. Dengan cepat cewek itu merangkai kata-kata yang sekiranya tepat. "Soal pemilihan redaksi, Bu. Bisakah Ibu kasih saya kesempatan?"

Ibu Huda mengangkat alis. "Kesempatan apa maksudnya, Nana?"

"Kesempatan buat menulis berita, Bu." Nana menelan ludah, sejenak menjeda omongannya. "Saya sadar kalau Okta jago. Bahkan kemampuannya udah gak perlu diragukan lagi. Tapi bukan berarti saya enggak bisa belajar. Saya gak mau dinilai cuma karena saya bukan anak berita. Saya juga mau buktikan kalau saya pantas!"

Ibu Huda menyandarkan punggung, lalu mengamati Nana beberapa saat. "Kenapa tiba-tiba sekali?"

"Saya baru memikirkannya, Bu. Saya menyadari kalau belum punya pengalaman tentang berita. Keputusan menjadi kandidat Pemred memang berat. Tapi saya akan bekerja keras dan bertanggung jawab sama pilihan saya."

Ibu Huda mengangguk kecil. "Baik, saya hargai keberanian dan kesungguhanmu itu."

Nana tidak dapat menyembunyikan senyum senangnya. Sekarang kemenangan itu terasa selangkah lebih dekat. Nana berfirasat kalau Ibu Huda akan menyetujui permintaannya.

"Tapi---"

Nana duduk tegap. Telinganya dipasang baik-baik. Tapi apa?

"Ibu gak mau ini jadi keputusan sepihak. Jadi kamu harus hadapi langsung lawanmu."

Maksudnya berkompetisi dengan Okta?

Sebelum Nana sempat bertanya, Ibu Huda mengintrupsi. "Panggil Okta ke sini. Biar kita bertiga sama-sama membahasnya."

Nana mematung. Dia harus memanggil Okta?

Lihat selengkapnya