Setelah mendengar pernyataan Aru, rasanya kepercayaan diri Nana turun drastis. Dia gak akan bilang iri. Tapi apa, sih, yang bisa dibanggakan sekarang? Survei gaya belajar? Artikel ringan? Bahkan semua itu terasa setengah-setengah.
Dia mendaftar jadi Pemred. Ambil berita. Survei. Ngejar validasi. Tapi Okta beda. Dia punya tujuan sendiri --PTN, karier, reputasi--, sedangkan Nana?
Tujuan dia apa?
Hingga akhirnya pertanyaan itu muncul dibenak Nana.
'Aku ini ... siapa, sih, sebenarnya?'
Air mata nyaris turun, tapi ditahan. Dia gak mau nangis di kantin. Gengsi.
Aru menyadari perubahan energi di antara mereka.
"Kamu oke?" Suaranya pelan, tapi tulus.
Nana menggeleng. "Aku gak tau, rasanya kayak lagi balapan ngejar sesuatu. Tapi aku gak tau tujuannya ke mana."
Aru hanya bisa menyimak. Tatapannya tanpa penilaian. "Na, maaf, harusnya tadi aku gak ngomongin itu."
"Kamu enggak salah, kok." Suara Nana pelan, terasa seperti menelan kekecewaan.
"Terus kamu sukanya apa?"
Cewek itu merenung. Pertanyaan Aru begitu mendadak baginya. "Aku suka hal-hal yang berbau seni. Kayak nulis cerita, baca komik, novel."
Aru mencondongkan badannya. Cowok itu jadi penasaran sekarang. "Terus kenapa kamu daftar Pemred?"
Lagi-lagi Nana kaget dengan pertanyaan Aru. Kalau dengan yang lain, Nana pasti menjawab karena dia ingin menjadi jurnalis hebat. Tapi Aru kelihatannya gak akan semudah itu buat percaya.
Gelagat Nana bimbang dan Aru sudah menyadarinya. Haruskah dia mengatakannya?
Nana menatap sudut meja. Sekarang dia gak punya harapan. Dia tertinggal dari Okta, gak punya tujuan, skill di bidang berita pas-pasan. Dipendam sendirian rasanya menyakitkan.
Nana menunduk, gak berani menantang sorot mata Aru yang tajam. "Sebenarnya papaku pengen jadi jurnalis," ucapnya pelan, "tapi gak kesampaian karena gak dibolehin nenek. Apalagi zaman itu jadi jurnalis gak ada jaminan hidup, mana tekanannya besar. Dia akhirnya kerja kantoran. Sukses, sih. Tapi tiap kali aku ngomong soal buletin sekolah, matanya nyala. Dia kayak ... hidup lagi."
Aru mengangguk perlahan, tidak memotong ucapan Nana.
"Jadi kamu ngerasa harus nerusin?"
"Iya. Apalagi aku udah lari sejauh ini." Nana menatap Aru penuh arti. "Sayang banget 'kan kalo gak aku lanjutin?"
Nana mencoba untuk tertawa, tapi yang keluar malah embusan napas ragu.
Aru gak langsung menjawab. Dia malah mengambil pulpen dari saku kemeja, lalu mengambil kertas bekas pembungkus kentang goreng. Pelan-pelan dia menggambar sesuatu di sana.
"Aku gak bilang kamu harus ngikutin siapa-siapa," ucapnya sambil terus menggambar, "tapi kamu berhak nentuin sendiri."
Nana menoleh, penasaran. Aru mendorong kertas itu ke arahnya. Di sana ada sketsa kilat, gambar seorang cewek dengan rambut sebahu yang dikelilingi tumpukan kertas, kamera, headline, dan teks-teks balon.
"Itu aku?" tanya Nana.