Hari itu, mading sekolah penuh tempelan baru. Artikel-artikel dari kandidat pemred akhirnya dipajang.
Nana melangkah cepat ke lorong satu, tempat mading berada. Beberapa siswa berkerumun di sana, sebagian membaca, sebagian hanya ikut-ikutan. Tapi Nana tahu apa yang sedang dicari.
"Permisi." Nana mencari celah di antara siswa lain hingga dia berada dibarisan depan.
Bukan artikel dirinya yang pertama dibaca, melainkan milik Okta.
'TalkEd dan Revolusi Mikro-Sosial SMA Cendikia: Siapa yang Mengendalikan Narasi?
Oleh: Okta Shankara
Di era pasca-kertas, narasi bukan lagi milik mereka yang bersuara paling keras di podium. Narasi kini telah bergulir melalui notifikasi. TalkEd, aplikasi forum digital berbasis sekolah, telah memicu revolusi mikro-sosial: sebuah pergeseran kekuasaan dari koridor-koridor nyata ke linimasa virtual.
TalkEd awalnya dibuat oleh tim siswa dari komunitas teknologi, CodeLab, sebagai hasil proyek untuk dilombakan. Menariknya TalkEd hidup tanpa struktur redaksi. Tidak ada moderator tetap. Sistemnya adalah upvote dan downvote dengan fitur anonim yang bisa menyuarakan isi hatinya tanpa takut reputasi tercoreng. Demokrasi digital? Mungkin. Di sisi lain bisa jadi anarki informasi.
"TalkEd itu kayak ruang kelas bayangan," kata salah satu pengguna aktif anonim, "di kelas biasa kita diam. Di TalkEd kita jujur."
Kepala sekolah diminta memberi tanggapan. "Selama tidak ada pelanggaran etika, kami anggap ini bagian dari ekspresi," katanya. Namun, siapa yang menentukan etikanya? Sistem atau siswa?
Satu hal yang pasti, TalkEd bukan sekadar aplikasi. TalkEd adalah ruang digital yang menantang setiap penggunanya untuk lebih dewasa menghadapi kritik dan pujian, gosip dan fakta. Tantangan terbesarnya adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan rasa hormat antar sesama.
Secara teknis, TalkEd tidak dikelola oleh satu individu. Tim CodeLab yang membuat dan merawat sistemnya menyatakan bahwa mereka hanya bertanggung jawab dari sis teknis.
"Kami cuma backup data dan perbaiki bug. Tapi kalau ada postingan yang melanggar, kami serahkan ke pihak OSIS dan pembina. Jadi, kami enggak terlalu ikut campur soal isi, kecuali yang benar-benar darurat kayak pelecehan atau doxing," kata Riska, salah satu anggota tim teknis.
Dengan kata lain, tidak ada sensor awal, sehingga TalkEd berbeda dari buletin sekolah atau media resmi lainnya.
Selain itu, daya tarik TalkEd adalah akun-akun yang rutin membuat postingan menarik. Salah satunya akun @telinga.sekolah yang sering membagikan rumor dan opini dengan gaya lucu tapi tajam. Admin akun @telinga.sekolah memberi tanggapan:
"Jujur aja sebenarnya kami cuma menyuarakan apa yang udah dibicarain banyak orang. Kami gak pernah berniat menjatuhkan siapa pun."
TalkEd memang membuat suasana menjadi lebih terbuka, tetapi rawan kesalahpahaman. Beberapa siswa mulai menyarankan agar ada moderator atau sistem verifikasi untuk postingan sensitif. Namun, sebagian yang lain ingin mempertahankan anonimitas penuh.
Satu hal yang pasti, TalkEd telah mengubah cara siswa berkomunikasi dan menyampaikan pendapat. Aplikasi ini masih banyak yang perlu dibenahi, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa: TalkEd telah membuka ruang baru untuk suara-suara yang sebelumnya hanya berbisik di belakang.'
Nana membaca cepat, menelusuri tiap paragraf tanpa jeda. Dia tahu tulisan Okta bagus, tapi enggak menyangka sebaik itu --tajam, terstruktur, dan reflektif. Tegas tapi adil. Kritis tapi gak menyudutkan siapa pun.
Ada keberanian di sana, tapi bukan keberanian yang agresif. Lebih seperti seseorang yang tahu apa yang sedang dihadapi dan paham dampaknya.
"Kamu udah baca artikelku?"
Nana kaget. Dia hafal suara itu. Ketika menoleh, Okta berdiri dengan kedua tangan di saku celana. Tubuhnya agak condong, matanya serius, tapi bibirnya menyungging senyum kecil.
"Udah, kok," jawab Nana pelan.
Okta menahan senyum. "Dan?"