Entah istirahat yang datang terlalu cepat, atau mungkin terlalu lambat --Nana sendiri gak tau. Tapi yang jelas, dia berdiri di depan kelas dengan pikiran yang melayang jauh. Kayak ada sesuatu yang susah buat diungkapkan.
Langkah Okta mendekat. Cowok itu tersenyum. Nana ikut tersenyum sebagai balasan.
"Udah siap?" tanyanya.
Nana mengangguk. "Iya."
Mereka berjalan berdampingan. Beberapa pasang mata memperhatikan, bikin Nana merasa enggak nyaman. Tapi Okta tampaknya tidak terlalu peduli dengan itu.
Di depan mading, siswa mulai sepi. Hanya ada satu orang cowok yang berdiri di sana. Pemilik postur tubuh yang tampak sedikit bungkuk itu Nana mengenalnya.
"Itu ... Aru," ucap Nana pelan.
Okta mendengarnya. Cowok itu menoleh. "Dia baca artikel kamu?"
Nana mengendikkan bahu. Mereka berdua mendekat. Aru menyadari kehadiran mereka, tapi gak langsung bicara. Tatapannya singkat ke Nana, lalu Okta.
Nada bicara cowok itu rumit dan dingin. "Artikelmu rapi, kayak nulis sambil ngaca."
Okta menatap Aru canggung. "Thanks."
"Tapi aku gak suka cara nulismu seolah paling paham etika, tapi aku ngerti maksudnya." Aru menambahkan.
Okta mengangguk. "Gak masalah. Aku menerima setiap kritikan."
Nana menggeser posisi tubuh, mulai merasa tegang.
"Dan terus terang," lanjut Aru, "kalimat-kalimatmu terlalu licin."
"Maksudnya?" tanya Okta, mulai terdengar defensif.
Aru menatap Okta tajam. "Tulisanmu kayak orang yang kelihatan netral, padahal sebenarnya kamu berdiri di ujung."
Mata Nana bergantian menatap keduanya. Cewek itu merasa seperti di antara dua kutub magnet yang saling menolak.
"Aku gak nyoba manipulatif," kata Okta. Kali ini nadanya lebih tajam. "Aku cuma berusaha profesional."
Nana merasa seperti ada percikan api di antara mereka berdua. Cewek itu mengusap belakang leher sambil memikirkan cara agar dua teman sekelas itu enggak saling sinis.
Atmosfer di antara mereka benar-benar berubah.
Lalu dengan gaya sok akrab Nana merangkul keduanya. Tawanya terdengar canggung. "Daripada berantem, mending kita ke kantin sama-sama aja, yuk."
Keduanya bersamaan melepas rangkulan Nana. Enggak menyerah, Nana menyeret mereka berdua dengan tenaga seadanya, cukup untuk membuat langkah mereka tertarik pelan.
Aru mendengkus, seolah ingin protes, tapi terlalu malas memulai argumen baru. Sementara Okta hanya mengangkat alis, separuh geli, separuh bingung.
"Aku enggak berantem," kata Aru datar.
"Aku juga enggak," sahut Okta sambil melirik Aru.
Mereka bertiga pun mulai berjalan ke arah kantin, meski agak kikuk awalnya. Langkah mereka tidak sepenuhnya serempak, tapi tidak saling menjauh. Di tengah-tengah, Nana berjalan dengan tangan masih di sisi mereka, seolah menjadi jembatan yang hampir runtuh.
"Mau pesan apa?"