Taman belakang sekolah sudah mulai sepi. Suara burung sesekali terdengar dari pohon besar yang menaungi bangku panjang tempat Nana duduk. Daun-daun kering berserakan dan cahaya sore menyelinap di antara celah dedaunan.
Nana melamun, pandangannya kosong menatap rerumputan. Di sebelahnya, Lulu duduk sambil mengupas jeruk pelan-pelan. Danu bersandar santai di batang pohon, mencoret-coret buku catatannya dengan pulpen biru.
"Ada masalah, Na?" tanya Lulu, memperhatikan ekspresi Nana yang membingungkan.
Nana menoleh ke Lulu. "Menurutmu wajar gak kalo dua orang berantem cuma karna dikritik?"
Lulu agak heran dengan pertanyaan Nana. Bukannya menjawab, Lulu malah balik nanya. "Emang siapa yang berantem?"
"Aru sama Okta."
Danu berhenti mencatat. "Serius Aru sama Okta berantem karena dikritik? Kayaknya gak bakal sesimpel itu, deh."
Nana diam. Pikirannya melayang. Dia tau Okta dan Aru bukan orang yang bakal ribut karena hal kecil. Masa sesimpel itu? Rasanya enggak.
"Aru tuh ngomongnya kasar, tapi jujur," ucap Nana, lebih ke dirinya sendiri daripada Lulu atau Danu, "di sisi lain Okta itu bicara, ya, gitulah. Ala-ala orang akademik banget. Tertata."
Lulu memakan jeruknya sebelum bicara. "Berarti konflik gaya komunikasi. Satu pake palu, satu pake sarung tangan."
Danu mengangguk setuju.
"Terus aku di tengah-tengah," gumam Nana, lebih lirih lagi, "jadinya aku yang kena imbasnya."
Danu bersandar di kursinya, menyilangkan tangan. "Mereka suka kamu paling."
Nana mendelik kaget. "Hah? Apaan?"
Danu nyengir tanpa rasa bersalah. "Insting aja, sih," potongnya ringan, "dan karena cuma kamu yang bisa bikin dua cowok sejago itu kayak anak-anak yang lagi rebutan mainan."
Lulu tertawa keras, tapi cepat kembali serius. "Tapi kamu juga harus hati-hati, Na. Kadang orang yang ada di tengah bisa ikut ketarik kalau gak kuat berdiri."
Nana enggak menjawab. Kata-kata Lulu menusuk, tapi ada benarnya juga, di samping omongan Danu yang bilang kalau Aru dan Okta suka sama dia.
"Terus aku harus ngapain?"
Lulu menatapnya tajam. "Ya, ngomong, Na."
"Ke siapa?"
"Keduanya."
Nana menarik napas panjang. Di kepalanya, terbayang wajah Okta dan Aru yang saling diam, sama-sama menghindarinya. Terus gimana caranya biar dia bisa ngomong sama dua cowok itu?
Nana menggeleng pelan, mencoba mengalihkan pikirannya. "Oiya, Nu, gimana masalah kolom titip salam kita?"