"Orang menyebalkan itu lagi?"
Jemariku memutar sedotan di poros gelas dan membuat es sirop di dalamnya teraduk. Bayang-bayang wajahku yang menyedihkan terpantul dari bulir air yang mengalir menyusuri dinding gelas. Hal itu membuatku menghela nafas panjang, lantas membenamkan kepala di antara kedua tangan. Untunglah Kristin menyempatkan diri ke rumahku kini, sepulangnya ia dari latihan tae kwon-do. Kristin memang selalu setia dan rela telinganya menjadi korban curhat-panjang-kali-lebar-kali-tinggiku ini. Aku bersyukur.
"Aku harus bagaimana Kris ...." Suaraku lebih terdengar seperti sedan tua milik papa yang akan mogok kala melewati tanjakan. "Semenjak kejadian itu, aku jadi tidak berani menatap Alfa. Aku jadi tak percaya diri."
Kristin menutup komik Detektif Conan koleksiku yang sedang dibacanya, lalu berguling mendekatiku. "Yah, aku pun tak akan heran." Entah mengapa suhu di kamarku terasa meningkat setelah Kristin berkata begitu. "Laura kan cantik, badannya bagus. Cowok mana yang ragu jadi pacarnya? Artis tenar, gitu."
Entah mengapa pernyataan Kristin menambah perih luka di hatiku.
"Satu lagi: aku tak percaya Laura sesadis itu," lanjut Kristin, membuat kepalaku menengadah untuk mendengarkannya. "Maksudku, hei, that's bullying. Menurutku, bullying dalam bentuk fisik maupun mental, entah di dunia maya entah nyata, adalah perbuatan yang ...." Kristin menjeda kalimatnya seraya mencubit dagu, memilah kalimat yang tepat, "... payah. Pecundang. Pengecut."
Oh hei, kamu perlu mengenal Kristin. Aku dan cewek yang nemiliki otot tak sewajarnya untuk remaja seumuran kita iniーdengan latihan rutin tae kwon-do, jika kamu bertanya mengapaーmemang baru mengenal saat SMA. Pertemuan pertama kami adalah saat hari terakhir MOS, aku ingat betul. Saat itu aku disudutkan oleh seorang senior cowok yang entah mengapa incarannya junior cewek dengan tinggi di bawah standar ... termasuk diriku. Miris memang. Tepat ketika ia menceramahiku dengan alasan yang tak masuk akal, saat itulah Kristin datang membelaku dengan lontaran kalimatnya yang menusuk hati. Awalnya kupikir dia penyelamat meski dengan cara yang gila. Buntutnya, kami justru dihukum berdiri menghadap matahari dengan kedua tangan terentang, hingga sang pemilik siang itu tenggelam.
Aku mengulum senyum, menyadari Kristin masih membelaku meski ia sedaritadi enggan membesarkan hatiku. "Makanya kamu jaga aku, dong! Tepat setelah kejadian itu, aku sudah berniat untuk bolos pelajaran selanjutnya, dan menangis di kamar mandi sampai bel pulang."
"Tapi kenyataannya tidak, kan?"
"Kenyataannya tidak."
Kristin tergelak setelah jeda di antara kami. "Maaf, maaf .... Tadi aku langsung ke kelas, sih. Mana bisa aku jadi body guard-mu."
Aku menghela nafas sekali lagi, kemudian ikut meringkuk di kasur bersama Kristin. Saat itulah pikiranku melayang. Laura, ya .... Andai aku jadi Alfa, rasanya aku pun lebih memilih cewek itu.
Hingga ponselku berbunyi, tanda sebuah pesan datang.
"SMS dari Alfa," kataku. "Tunggu .... DARI ALFA?!"
Seketika Kristin mendekatiku hendak melihat. "Serius Alfa menghubungimu?"
Dengan kedua mata tak berkedip, aku menunjukkan layar ponselku padanya.
Hei Mit, bsk ada waktu gak? Aku mau ngomong nih, penting
-Alfa
Kurasakan kedua pipiku panas sekarang. Alfa memintaku bertemu dengannya! Alfa mengirimiku SMS dengan smiley di belakangnya! Ini akan menjadi catatan penting dalam sejarah panjang aku men yukai Alfa .... Oke, tidak panjang juga sebenarnya. Kurang-lebih hanya enam bulan. Ketika aku berguling-guling untuk merayakan kebahagiaanku ini, Kristin mencela.
"Kamu yakin ini dari Alfa?"
"Maksudmu?"
Kristin mengalihkan pandangannya dariku ke layar ponsel. "Maksudku ... hei, setelah perkembangan media komunikasi sekarang, dia memilih SMS?"
"Kris, Kris." Aku pun bangkit untuk memijit kening. "Langsung ke intinya, please."
Sesaat lawan bicaraku itu mengambil nafas panjang sebelum menjelaskan, "Kamu dan Alfa sekelas, kan? Memangnya kamu dan dia ... tidak bersentuhan di internet? LINE misalnya, bukankah ada grup kelas? Kalian tidak pernah mengobrol sekalipun di sana?"
Tanpa sadar keningku mengkerut guna mengingat apa-apa yang telah terjadi antara aku dan Alfa. Komunikasi terakhir kami jelas, saat di UKS meski Laura menghancurkannya dengan tidak sopan. Tetapi selebihnya, kami sama sekali tidak berkomunikasi kecuali ada hal penting, atau sekelompok bersama seperti tadi.
Untuk sesaat aku mengasihani diriku sendiri. "Jadi, aku ... pesan ini ... abaikan saja?"
Mendengarnya Krstin tertawa. "Kenapa? Tak ada yang salah dengan berharap." Gadis itu duduk bersila, lantas menyesap habis siropnya sebelum berpesan, "Ingat satu hal: bunga yang tak menarik tak akan disadari, bukan begitu?"