Malam harinya, aku banyak bercerita dengan Kristin via telepon. Sore hari tadi dia memang pulang duluan sehingga tidak sempat memastikan keadaanku. Saat ini aku terkekeh membayangkan ekspresi Kristin di seberang sana. Dapat kubayangkan mulutnya menganga sampai rasanya rahang tegasnya itu akan jatuh.
“Kamu berbaikan dengan cewek sok cantik itu?” Suaranya menggelegar di seberang sana, “Bagaimana bisa?!”
Tawaku lepas tak bisa ditahan lagi. “Sudahlah Kristin. Gadis sempurna itu juga manusia biasa.”
Aku mengapit ponsel dengan bahu dan mengambil buku-buku pelajaran sesuai jadwal esok hari ketika Kristin menimpali, “Tapi dengan begini dia tidak akan macam-macam denganmu lagi, kan?” Suaranya seperti sedang mencari kepastian dari ceritaku. “Dia menangis. Aku tidak kaget cewek ganjen itu menangis. Tapi aku tidak menyangka dia mau minta maaf dan berdamai denganmu,” katanya mengambil jeda sesaat, “tentang Alfa.”
Aku menghentikan aktivitasku. Kuraih kursi belajar dan duduk bersandar. “Tidak, tentang Alfa dia tidak mau mengalah.”
Ceritaku kepada Kristin memang belum selesai. Di seberang sana Kristin terdiam. Aku melanjutkan, “Dia semacam ... apa ya, menantangku? Dia bilang: perasaanku pada Alfa tidak akan pudar. Jadi, mau bersaing secara sehat denganku? Begitu katanya.” Aku menirukan ucapan Laura tempo hari.
Ada jeda beberapa saat di seberang sana. “Wah. Wah.” Dapat kubayangkan Kristin menggeleng-gelengkan kepalanya. “Cewek paling populer, aktris dan model remaja, anak dari sosok penting SMA Veritas; menantangmu dalam masalah asmara?” Nada suara Kristin meninggi.
Aku siap menerima nasehat pedas dari seorang sahabat, seperti yang biasa Kristin lakukan padaku. Bagaimanapun, terkadang aku membutuhkannya supaya tetap tahu diri.
“Aku tidak tahu harus berbicara apa,” katanya, sebelum percakapan kami berakhir. “Tapi semoga beruntung menggaet hati pangeranmu itu.”
###
Esok harinya, aku melangkah gontai di koridor sekolah. Ucapan Laura dan Kristin berputar-putar dalam kepalaku, membuatku berat menjalani hari. Kulihat Laura dan gengnya bersandar di loker dan berceloteh seperti biasanya, sesekali disapa oleh para siswa yang mengagumi mereka.
Aku mendekat dengan perlahan namun kaku. Setelah kejadian kemarin, aku tidak mampu membayangkan bagaimana sikap Laura terhadapku kini. Aku membuka lokerku dengan waswas.
"Mitha, selamat pagi.” Suara Laura menyapaku diiringi dengan kunyahan permen karetnya. Senyum tipis menghiasi wajah cantiknya. Aku menatapnya tak percaya, begitu juga dengan Rachel dan Clarissa. Pastilah mereka kaget bos mereka dengan sukarela berkawan dengan siswa rendahan sepertiku. Aku berpikir barangkali inilah interaksi pertama yang mereka lihat, antara Laura dan aku.
“Pagi, Laura,” balasku dengan sunggingan senyum yang kaku.
Laura tampaknya tak ambil pusing setelah insiden kemarin. Ia beralih pada kedua temannya dan mengajak mereka untuk segera ke kelas. Aku menatap punggung ketiga remaja populer itu dengan tak percaya. Perlahan, rasa lega merambati hatiku.
“Hei!” Tiba-tiba Kristin menggaet leherku dari belakang dengan tangan berototnya. Untunglah buku-buku di tanganku tidak terjatuh. “Geng itu,” katanya sambil menunjuk punggung Laura yang menjauh, “macam-macam denganmu lagi?”