Lava mengerang kesakitan saat mendapati tubuhnya tidur dengan posisi duduk di lantai. Ia menimang-nimang apa yang sedang dilakukannya semalam. Dua bola matanya mengedarkan pandangan, tidak ada benda apa pun di kos. Barang-barangnya masih tergeletak rapi di rumah mama. Ia menyandarkan tubuh ke dinding agar tak limbung. Tangannya bergerak naik membuka tirai. Ketika ia menautkan jari jemari, ada yang mengganjal pikiran.
“Cincinku?” gumamnya. Lava menengok ke kanan dan kiri, lalu masuk mencari di atas kasur. “Kok nggak ada ya.” Lava mengedip beberapa kali. Ia berkacak pinggang mengingat sesuatu. Sontak ia berlari keluar kamar dan menuruni anak tangga, ia baru ingat jika cincin itu dibuangnya semalam. Lava merangkak pelan sambil menarik napas panjang, “Mana cincin itu...” Lava meneliti satu persatu dedaunan dan rumput yang tumbuh tak karuan di area kos termasuk jalan kecil yang basah terkena air hujan. Ia menyibak rambut dan berteriak seperti anak kehilangan mainan di luar rumah. “Bodoh banget sih. Kenapa gue buang. Kan bisa dijual.” Hentakan kakinya membuat ia geregetan. Tersadar sudah jadi sorotan, Lava kembali ke dalam membawa tangan kosong.
Dua jam tidak melakukan kegiatan apa-apa, Lava akhirnya pergi ke rumah orang tuanya. Tentu saja untuk mengambil barang-barang pribadi, bukan untuk berbaikan dan memelas pada mamanya. Untung saja Retina tidak di tempat. Lava masih menyimpan kunci cadangan yang pernah diberinya sejak ayah tiada. Setelah membuka pintu kamar, ia termenung lama. Bingung apa yang harus dibawa. Yang pertama sepertinya harus laptop, benda itu wajib karena aset penting untuknya mencari upah. Yang kedua pasti pakaian, make up dan sepatu. Ia juga mengambil berkas-berkas penting seperti ijazah, kartu keluarga, akta, fotokopi KTP, dan sebagainya. Gadis itu mengemas jadi satu di koper. Ia mengendap-endap meski tau di rumah itu tidak ada orang.
Lava berjalan kembali menuju tempat kos. Tetangga sekitar bahkan acuh tak acuh terhadap Lava, mereka seperti tidak mengenalnya. Gadis itu tak mau tau, ia terus melangkah menjauhi kediaman. Jika dihitung letak antara kos dengan rumahnya hanya berjarak sekitar lima belas kaki. Ia bersyukur karena kos baru itu, pemiliknya tidak pandai bersosialisasi sehingga tidak membuatnya khawatir untuk dikenal sebagai putri Retina. Dari analisa tersebut, Lava dijamin aman. Ia tersenyum kecut membayangkan kemarahan mamanya yang akan menjemputnya sambil membawa sapu lidi. Lava mendongak, ia harus berjuang sekali lagi untuk sampai di kamar.
“Kenapa harus dibikin tangga sih, kenapa nggak dibikin miring aja. Jadi kesusahan kan...” Lava mengangkat koper dengan kedua tangan, ia berhasil membawa masuk dan tetap harus menyeretnya ke ujung. Kos ini sungguh bersih dengan tempat sampah masing-masing tersedia di depan pintu. Sayangnya, pintu utama memasuki kos dibikin naik turun dengan anak tangga yang rumit. Kelebihannya cukup banyak, seperti fasilitas wi-fi, lahan parkir yang luas, kamar mandi dalam dan juga dinding warnanya minimalis. Lava menjadi penghuni terakhir yang berhasil mendapatkan kamar itu.
“Astaga, gue lupa belum bayar kos!” Lava buru-buru membuka pintu lalu beringsut masuk. Ia memejamkan mata sejenak sebelum mengobrak-abrik barang bawaannya. Ponsel di saku ia keluarkan bila saja ada pesan terbaru dari mamanya. Tangannya mengetik beberapa kali di layar, ia memberikan balasan agar Retina tak kebingungan mencari keberadaannya.
Pintu kamar kos Lava diketuk beberapa kali. Ia menoleh dengan keras hingga tengkuknya berbunyi. “Aw!” Lava berdiri dan membuka pintu pelan-pelan. Siapa yang berani mengganggu dirinya ketika pusing seperti ini atau mungkin tetangga sebelah ingin berkenalan, rutuknya dalam hati.
“Kak Lava, bukan?” Suara perempuan muda itu langsung terdengar kala pintu dibuka lebar. Lava meneliti dari ujung kaki hingga kepala, ia seperti anak dari pemilik kos yang menagih listrik bulanan.
“Ah, iya. Ada apa?” Lava menutup pintunya separuh agar tidak terlihat dari luar betapa berantakan barang bawaannya.
“Untuk kos di sini tarifnya Rp 500.000 ya, Kak. Mau tunai atau transfer?” Perempuan itu mengeluarkan ponsel dari tas. Kalimatnya to the point, Lava mendesah pelan.
“Oh, ya benar. Kalau nanti malam aja, gimana?” Lava memegang gagang pintu kuat-kuat.
“Atau bisa transfer pakai rekening ini aja...” Ia menyodorkan ponsel membuat Lava mundur selangkah.
“Jangan! Maksudku nanti malam aja ya. Kalau transfer kena biaya admin 6.500.” Sekilas ia melihat bank yang berbeda dengan kepunyaannya.
“Oh, gitu. Oke deh.” Perempuan itu mengerutkan kening lalu pergi dengan tarikan napas kencang. Lava menutup kembali pintunya dan selonjoran di lantai.
“Coba aja ayah punya warisan!” Lava uring-uringan sembari melihat dompetnya yang kosong melompong. Ia tak bisa terus-terusan begini, gadis itu menyalakan laptop dan mengetik sesuatu di laman website. Matanya mendelik ketika kosnya memiliki akses internet tanpa password. Lava bergegas menghubungi Arina yang selalu ada saat dirinya kesusahan. Semoga saja temannya itu bisa membantu kali ini meski jarang bertemu.
...
Keseharian Retina yang berjualan di pasar membuatnya berhasil menyekolahkan putrinya hingga lulus sarjana. Tanpa bantuan dana dari suami tentunya, Lava juga mendapat beasiswa gratis hingga lulus. Kepintarannya juga kerapkali dipamerkan pada tetangga sebelah meski jurusan yang diambil putrinya masih membuat Retina terus marah-marah. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan jurusan tersebut, hanya saja kekhawatiran mengenai jenjang karir nanti tidak jelas. Terbukti dengan setelah Lava wisuda, hingga detik ini masih belum mendapat pekerjaan.
Retina baru saja pulang dari kesehariannya menjual sayur di pasar, ketika ia menyadari ada yang salah. Ia pelan-pelan membuka pintu dan melihat ke kanan kiri. Retina masih ingat saat meninggalkan rumah lampu masih dalam keadaan menyala.
“Kok lampunya mati sendiri?” gumamnya. Ia berjalan dengan langkah kecil memeriksa seluruh ruangan. Sebisa mungkin Retina tak ingin mengeluarkan suara dan berlagak tak tau apa-apa. Ketika menoleh ke dapur, ia tertegun dan menghampiri sumbernya.
“Astaga, Lava! Kamu ini bikin kaget Mama!” Retina memukul pantatnya beberapa kali membuat Lava meletakkan piring yang dibawa.
“Aduh, Ma. Bentar-bentar. Kalau mau pukul, ini aku habiskan dulu makannya.”
“Tidur di mana kamu semalam?” Matanya melotot seperti zombie yang ingin menerkam mangsa.
“Biasa. Rumah Arina.” Ia membersihkan tangan di keran. Lava terpaksa berbohong supaya beliau tidak khawatir dengannya.