Je menyimpan benda kecil itu di laci. Benda yang ditemukan dua hari lalu menyita perhatiannya. Benda mahal tapi tidak berada di tangan yang tepat. Awalnya ia ingin mengembalikan pada sang pemilik tapi niatnya diurungkan sebab orangwaras tidak akan membuang cincin itu terang-terangan. Artinya cincin berlian tersebut sudah tidak diharapkan lagi. Je meletakkannya di laci samping kasur.
Je mengalihkan pandangan saat terdengar derap kaki dan pukulan tangan yang meraung-raung didepan pintu kamarnya. Pria itu beranjak dari tempat duduk dan melihat siapa gerangan.
“Sayang. Ada apa?” Je menggendongnya masuk dan meletakkan di pangkuan. Anak kecil itu mengeluarkan suara yang tidak bisa dimengerti manusia normal.
“Bintang mau makan?” tanyanya kemudian. Je membuat gerakan seolah-olah menyuapkan nasi di mulutnya. Bintang mengangguk pelan lalu menunjuk ke arah pintu.
“Ya sudah, kita makan sekarang ya. Panggil bibi dulu.” Je tersenyum manis lantas membawanya ke ruang makan. Bibi langsung menghangatkan bubur sore tadi untuk hidangan makan malam Bintang. Putri satu-satunya pelukis handal itu lahir tidak seperti anak pada umumnya. Bintang tergolong sebagai anak berkebutuhan khusus. Awalnya mungkin berat tapi lambat laun Je mulai menerima kehadiran malaikat kecilnya. Ia kembali terluka saat Katrina memutuskan berpisah karena tidak ingin dicap sebagai istri yang melahirkan anak cacat. Setelah Bintang lahir, Katrina melayangkan gugatan di pengadilan. Mau tak mau Je harus melaksanakan kemauan mantan istrinya. Sejak hari itu ia tidak tau ke mana Katrina pergi, tidak seorang pun mengetahui keberadaannya. Bahkan untuk mengunjungi Je, dia sudah tidak sudi.
Je Wiranata ialah satu dari banyaknya seniman kaya yang memiliki pameran lukis di seluruh penjuru kota. Art of exhibition adalah pameran terkini yang digandrungi anak-anak muda. Pertunjukan gambar tiga dimensi yang dipajang di setiap dinding membuat siapa saja ingin melihat hasil karyanya. Rencananya ia akan membuka pameran di luar negeri. Tapi sebelum itu, ia akan memastikan Bintang dirawat oleh seseorang yang aman. Di usia Bintang yang keempat, Je cukup khawatir tentang perkembangan putrinya. Apalagi tahun depan ia sudah diharuskan masuk sekolah. Tidak di sekolah umum, tapi sekolah luar biasa. Sebuah pemandangan langka yang akan disaksikan Je nanti. Ia sudah terbiasa menerima cibiran dari rekan-rekan kerjanya menyangkut Bintang. Tapi ia takkan tega berkelakuan sama seperti mantan istrinya. Berkat Bintang, Je tau siapa yang tulus bersamanya dan siapa yang jahat saat menjauhinya. Bintang merupakan anugerah paling indah yang hadir di hidupnya.
Di umur yang sudah menginjak 28 tahun, ia tak ingin cepat-cepat menikah lagi. Semua ia tata rapi untuk pertumbuhan Bintang. Banyak sekali job yang ditunda hanya untuk melihat Bintang baik-baik saja. Kehilangan peran ibu saja sudah membuatnya tidak waras, ia tak ingin Bintang kehilangan sosok ayah yang penting untuknya.
“Pak, kalau Bibi boleh kasih saran, apa dek Bintang tidak kita bawa saja ke pusat kelembagaan untuk dididik bahasa isyarat? Bibi rasa itu perlu sebelum masuk ke sekolah umum.” Bibi meletakkan bubur di piring kecil lalu ia berikan pada Je. Bintang masih belum lepas dari pelukan pria itu, ia sangat ingin berada di dekat Je.
“Saya tidak bisa membiarkan Bintang masuk ke sana sendirian, Bi. Saya masih takut dia belum bisa lepas dari jangkauan saya.” Je menyuapkan satu sendok ke mulut putri kecilnya.
“Bapak apa nggak cari guru pribadi saja kalau gitu, sekarang kan banyak lembaga yang menyediakan pengajar ketenagakerjaan yang berkualitas.” Bibi memberikan solusi pada majikannya.
“Agak susah, Bi. Saya harus memantau selalu.” Je menyela ucapan tersebut.
“Setidaknya Bapak masih bisa pantau di rumah kan, tidak di luar.” Bibi tersenyum lantas meletakkan kopi di atas meja.
“Nanti saya coba pikirkan dulu.” Je mengusap-usap dahinya, ia cukup berpikir keras.
Bintang tidak pernah rewel saat bersama papanya, namun ia akan mencari dan jejeritan jika Je tidak berada di sampingnya. Ia hampir menunda ulang seluruh pekerjaan yang sudah tersusun dan me-reschedule agar tak berantakan. Tapi ia takkan segampang itu membiarkan Bintang dalam asuhan orang lain kecuali dirinya sendiri. Selesai makan, Je memindahkan Bintang ke kamar. Ia akan membacakan sebuah dongeng meskipun Bintang belum paham apa yang sedang dibicarakan Je.
Sebuah dongeng tentang cerita cinta di langit membuat Bintang tidur dengan cepat. Setiap hari ia membacakan cerita yang sama, kapan-kapan Je akan membawakan buku lain untuk merespons pendengaran Bintang.
...
Suara air mendidih itu membuyarkan lamunan Lava, ia mengangkat panci dan memisahkan mi dari kuahnya. Ia mulai menggunting bumbu dan menuangkan ke piring. Entah sampai kapan asupannya hanya terisi mi sebagai pengganjal perut. Semoga hanya berlaku sementara. Ia membawa makanan itu ke kamar dan melahapnya hingga habis. Lampu temaram di depan kos membuat jalanan semakin seram. Pantas saja tiga hari sudah Lava tinggal di sana tidak ada anak kecil yang berlalu lalang. Padahal jika di depan rumahnya sendiri, hampir segerombolan bocah ramai berteriak sana sini membuat kupingnya pecah. Kalau sudah begitu, Retina akan meneriaki mereka dengan umpatan-umpatan pedas. Tidak peduli anak siapa jika sudah begitu. Baginya, kenyamanan keluarga nomor satu.
Lava meminggirkan piring kosong di sudut pintu dan beringsut ke atas kasur. Ia membuka laptop, daya baterainya sudah habis. Ia memejamkan mata sejenak, padahal posisi tubuhnya sudah sangat nyaman. Ia cukup malas jika harus berdiri membenarkan charger laptop.
“Andai aja gue bisa sewa asisten. Mungkin hidup gue jauh lebih berharga.” Lava membenamkan wajahnya ke bantal. Ia berteriak kencang sambil memukul-mukul kasur. Tidak ingin membuang-buang waktu, gadis itu mengarah ke aplikasi pencari lowongan di sebuah situs terkenal. Websiteberwarna biru itu menjamin siapa saja yang mendaftar, dipastikan akan lolos direkrut. Lava tersenyum sambil mengangguk-angguk pelan. Tangannya menari di atas keyboard dan mengisi mulai dari nama lengkap, usia, pendidikan, latar belakang, keahlian dan sebagainya.