Je membuka lebar pagar rumahnya hendak mencuci sepeda gunung yang dipakainya tadi malam. Keran yang mengucur deras dan berakhir di ember, ia seret mendekat di sampingnya. Sabun dan kain lap itu ia usap perlahan ke sepeda. Sambil menyenandungkan lagu, Je benar-benar bersantai menikmati harinya. Kaus yang membasahi hampir setengah badannya tidak membuat ia malu meski orang berlalu lalang menyapanya. Tetangga di daerah kompleks rumah itu sangat senang memiliki tetangga tampan seperti Je. Tampangnya memang cuek tapi dia memiliki sifat peduli pada siapa pun yang meminta pertolongan.
Hampir setengah jam pria itu menghabiskan waktu untuk mencuci sepedanya. Ia hendak berdiri ketika terlihat sepasang sepatu berwarna hitam mulai menapaki area rumahnya. Ia mendongak perlahan dan melihat siapa gerangan. Sejenak ia berpikir, apakah ada janji terhadap orang lain sehingga ia lupa diri.
“Selamat pagi. Mohon maaf, apakah anda bernama Je Wiranata?” Lava tertegun dengan rambut terkena air. Berantakan tapi tetap tampan. Sedetik kemudian, ia tau apa tujuannya datang ke sana.
“Ya, siapa?” Je berdiri lantas melipat lap kain di lutut. Lelaki itu menatap Lava dari ujung kaki hingga kepala. Blazer putih yang dikenakan serta rok berwarna hitam hingga tumit membuatnya seakan ingin melamar pekerjaan. Ia tidak yakin apa yang membawa Lava ke rumahnya.
“Saya Lava, Pak. Saya ingin interview sebagai guru les privat.” Lava menunduk tanda hormat. Termasuk mengingat-ingat apakah pernah bertemu sebelumnya. Ia merasa kenal dengan lelaki di hadapan. Je nampak kebingungan, ia mengambil ponsel yang terletak di meja lalu memeriksa jadwalnya. Seketika bola matanya melebar, ia menghampiri perempuan itu yang masih menunggu jawabnya.
“Ah, ya. Anda bernama Lavender Hartono?” Je mendikte nama lengkapnya. Lava mengangguk cepat. Je mengajaknya masuk ke dalam dan pergi sebentar ke kamar. Pria itu mengganti baju lebih rapi dan menyisir rambutnya seperti menemui tamu yang amat penting. Di satu sisi, Lava memiringkan kepalanya, ia mengingat-ingat di mana pernah bertemu Je sebelumnya. Matanya menatap lukisan di dinding, ada tiga lukisan kecil dan satu lukisan besar. Langkahnya terhipnotis untuk berjalan mendekati. “Je Wiranata?” gumamnya pelan. Lava mengernyit, ia berusaha keras untuk mengingat kapan pernah bertemu dengannya. Kepalanya pusing saat mencoba berpikir, ia memejamkan mata sesaat sebelum suara lain mengagetkan dirinya.
“Halo?” Je menegur Lava dari jauh. Di tangannya sudah ada berkas-berkas yang sudah ia siapkan semalam. Je meletakkan berkas di meja ruang tamu dan berhasil membuyarkan lamunan Lava. Gadis itu berbalik badan dan berkonsentrasi penuh dengan ucapan-ucapan Je.
“Maaf, Pak.” Lava akhirnya duduk di sofa setelah pria itu mempersilakan. Je masih belum mengucapkan sepatah kata pun, ia malah meneliti Lava dari atas kepala hingga ujung kaki. Ia tersenyum simpul. Lava justru risih saat Je memperhatikannya. Kurang ajar ya orang ini.
“Kita bertemu lagi.” Je menyerahkan formulir data diri pada Lava, tidak lupa dengan alat tulisnya. Tepat sasaran, apakah sebenarnya kita pernah bertemu sebelum ini?Lava ingin sekali membalas ucapan Je, tapi gerakan tangannya justru mengisi cepat-cepat formulir data diri agar bisa keluar dari rumah itu. Lava berpikir bahwa Je hanya modus dan memanfaatkan dirinya.
“Saya bisa lihat CV anda?” Je menegakkan tubuhnya. Lava mengangguk pelan dan mengambil CV di tas.
“Ini, Pak.” Lava meletakkan di atas meja dan sebisa mungkin tidak beradu kontak mata. Tangan Je menyusuri tiap tulisan di kertas itu, satu-persatu hingga berhenti di bagian universitas.
“Anda berkuliah di Universitas Pendidikan Indonesia?” Pandangan Je tidak lepas dari curriculum vitae milik Lava.
“Iya, Pak.” Lava masih menulis data dirinya selembar penuh dan membalik kertas selanjutnya.
“Kita pernah bertemu sebelumnya. Anda benar-benar tidak ingat pada saya?” Je mengulang pertanyaan yang awal sudah sempat dilontarkan. Tangan gadis itu berhenti dan menengadah, Je nampak menunggu jawaban darinya. Lava mengerutkan kening saat melihat wajah Je. Tampan memang, tapi bukan itu jawabannya.
“Saya benar-benar lupa. Tapi rasanya, saya pernah bertemu Bapak di suatu tempat.” Lava tak ingin ambil pusing, niatnya datang ke sana hanya untuk melamar pekerjaan.
“Oke, kamu diterima bekerja dan mulai besok bisa datang ke sini.” Je tersenyum simpul. Lava tersentak bahkan formulir data diri yang sedang ditulisnya belum ia berikan pada pria itu.
“Dalam seminggu ini, kamu bisa mengajar hari apa? Weekday or Weekend?” tanya Je to the point.
“Maksudnya gimana, Pak? Secepat itu saya diterima?” Mulutnya sudah tak tahan ingin berucap. Ada yang aneh, pikirnya.
“Ya. Bisa datang setiap hari?” Je mengambil formulir data diri Lava yang belum lengkap terisi.
“Tidak bisa,” sanggahnya cepat.
“Oke, kalau seminggu lima hari?” tawarnya. Reaksi Lava sungguh tak terbaca, ia mengamati tiap tawarannya tapi juga mencurigai Je.
“Waktunya tergantung putri saya. Kalau dia masih mau belajar, temani dia. Kalau selama sepuluh menit dia tidak betah, boleh dihentikan.” Je melipat tangan di dada. Lava justru sedikit kesal dengan perintah itu. Seorang anak wajib diberi peraturan tegas mengenai pembelajaran, termasuk adaptasi dengan orang baru.
“Kamu bisa mulai hari ini, gimana?” lanjutnya. Ia tidak memberikan celah sedikit pun pada Lava.
“Bapak berani bayar berapa?” Sejujurnya, ia merutuki ucapan itu dalam hati. Kenapa senekat itu untuk menanyakan gaji. Kompleks perumahan yang ia datangi saja tidak main-main mewahnya. Tapi Lava tertantang karena seorang pria di hadapannya ini mengingatkan pada sosok lain yang pernah ditemuinya.
“15 juta sebulan.” Je menaikkan alis, ingin tau respons perempuan itu. Benar, Lava nampak terperangah dan secepat mungkin mengalihkan pandangan. Lima belas juta? Ini sih bisa daftar S2 juga.
“Oke. Deal!” Lava memberikan ekspresi tenang meski was-was.
“Anda bisa datang mulai besok sebelum saya berangkat kerja.” Je mengulurkan tangan membuat Lava menjabatnya seketika. Ia mengangguk pelan dan hendak pergi dari sana.
“Jadi tidak dimulai hari ini ya?” tanyanya polos. Gelengan kepala Je membuat Lava mengerti.
“Sebentar, ada yang harus saya kenalkan.” Je masuk ke dalam rumah dan kembali lagi sambil menggendong anak kecil.
“Putri saya ini namanya Bintang. Dia tidak rewel tapi mungkin akan kesulitan beradaptasi karena saya sendiri tidak pernah menjumpainya pada orang luar.” Je tersenyum pada Bintang dan mencoba menyalami tangan Lava dengan hati-hati.
“Halo, Bintang. Cantik sekali.” Lava menowel pipinya pelan. Ia cukup gemas dengan anak kecil itu. Sedetik kemudian, Bintang menangis keras hingga membuat Lava mundur selangkah. Apakah pegangan pipinya tadi membuat Bintang kesakitan hingga tangisnya pecah.
“Oh, nggak-nggak. Bintang jangan nangis, ini guru baru buat Bintang besok.” Je memeluknya erat dan beringsut masuk menemui bibi. Pria itu kembali lagi untuk berbincang pada Lava.
“Sorry, sorry. Sepertinya PR kamu besok banyak sih. Kalau kamu nggak keberatan, kamu bisa ajarkan saya bahasa isyarat sekalian. Saya belum mengerti sama sekali.” Je menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Lava terlihat keberatan, pikirannya hanya terketuk pada Bintang. Ia tak tau apakah waktunya bisa dibagi jika harus mengajari Je.