Alexa berdiri ditengah lapangan sambil memegangi perutnya yang sejak tadi sudah terasa nyeri. Karena bangun kesiangan hari ini, Alexa jadi tidak sempat sarapan dirumah. Jadi setelah bersiap-siap, Alexa langsung bergegas keluar untuk menghampiri Ravi yang sudah menunggu didepan gerbang rumahnya tersebut—didalam mobil sedan putih miliknya itu.
Dan tentu saja, Alexa langsung mendapatkan imbasnya karena melewatkan sarapan pagi tadi. Penyakit maag yang diderita-nya itu kembali kambuh tepat dijam praktik olahraga yang diadakan sebelum jam istirahat pertama.
Ditambah lagi, hari ini ada pengambilan nilai praktik olahraga bola Voli yang akan berpengaruh pada nilai akhir mereka disemester ini. Jadi, Alexa tidak bisa membolos hanya dengan alasan sakit, sebab jika ia izin untuk tidak ikut praktik—selain akan kehilangan nilai-nya, Alexa juga otomatis akan merepotkan teman-teman satu timnya yang lain karena anggotanya berkurang satu.
“Lex, dari tadi gue liat lo megangin perut terus? Lo beneran gak apa-apa?” Tanya Nindy, salah satu teman sekelasnya itu yang langsung menoleh kearah Alexa sambil memasang ekspresi khawatir.
Alexa lalu menggelengkan kepalanya cepat, “Gak apa-apa, Nin! Maag gue cuma lagi kambuh aja, jadi bikin perut gue kerasa nyeri dikit!”
“Serius? Kalo lo beneran sakit, gak usah dipaksain, Lex! Mau gue anterin ke UKS aja?”
“Gak usah Nin, asli!” Alexa segera mengangkat telapak tangan yang sebelumnya menempel diperutnya itu keatas, kemudian, ia segera memutar-mutar kedua bahunya sambil tersenyum lebar kearah Nindy. “Liat kan, gue masih fit gini kok!”
Nindy masih menatap Alexa dengan ekspresi khawatir, kelihatannya kalimat Alexa barusan tidak berhasil membuat teman sekelasnya itu langsung percaya terhadap pernyataannya barusan. Alexa yang menyadari kecurigaan Nindy, langsung otomatis memegang kedua pundak temannya itu, lalu memutarnya perlahan agar tubuh Nindy kembali menghadap kedepan.
“Tadi, pak Heru udah ngelirik-lirik kesini, Nin. Daripada nanti kita dihukum gara-gara ngobrol, mending lo balik ngadep kedepan deh.” Ucap Alexa tentu saja penuh dengan kebohongan. Padahal kenyataannya, pak Heru—guru olahraganya itu sama sekali tidak melihat kearah mereka berdua.
Setelah mendengar ucapan Alexa barusan, Nindy langsung menuruti permintaan Alexa dan kembali menghadap kedepan. Alexa kemudian melepaskan kedua tangannya itu dari atas bahu Nindy, dan kembali ke posisi berdirinya semula.
“Baik anak-anak, untuk tim pertama yang praktek olahraga bola voli hari ini adalah tim 1 melawan tim 2!” Seru pak Heru dengan suara lantangnya itu. “Tim yang belum dapat giliran harap berkumpul dipinggir lapangan! Untuk anggota tim 1 dan 2 langsung bersiap diposisi kalian masing-masing!”
Alexa langsung mendengus pelan, dia ada di tim 2—itu berarti Alexa harus melakukan praktik olahraga bola voli disaat perutnya masih dalam kondisi yang sedang sakit-sakitnya itu.
Padahal, sebelumnya Alexa berharap agar pak Heru mengadakan undian terlebih dahulu untuk menentukan nomor urut—karena siapa tahu, timnya bisa mendapatkan nomor giliran ditengah atau bahkan terakhir, sehingga Alexa setidaknya bisa duduk dulu dipinggir lapangan untuk meredakan sakit perutnya itu. Tapi, kelihatannya dewi fortuna sedang tidak berpihak padanya hari ini, sehingga permintaan Alexa-pun tidak terkabul.
Ketika melihat Nindy yang kembali memutar kepalanya untuk melihat kearah Alexa, cewek itu langsung otomatis memasang senyum terlebarnya. Alexa berusaha keras untuk menyembunyikan segala rasa sakit yang sebenarnya sudah menyebar hampir keseluruh bagian perutnya itu dibalik senyumannya. Sebab, jika Alexa tidak melakukan hal itu, mungkin Nindy saat ini sudah langsung menyeret Alexa ke UKS tanpa meminta persetujuannya lagi.
“Yaudah, langsung ke posisi lo aja ya, Lex!”
Setelah mendengar kalimat yang keluar dari mulut Nindy barusan itu, Alexa diam-diam langsung menghembuskan nafasnya perlahan. Sebab, sebelumnya, Nindy sempat ‘mengobservasi’ Alexa untuk beberapa lama demi memastikan bahwa temannya itu benar-benar tidak apa-apa.
Untung saja pada saat masih duduk dibangku SMP, Alexa sempat masuk klub teater sekolah. Jadi, setidaknya Alexa masih memiliki kemampuan akting yang baru saja ia gunakan untuk mengelabuhi Nindy.
Alexa lantas mengangguk mantap sambil melihat kearah Nindy. “Oke!” Jawabnya dengan penuh semangat sebelum berlari-lari kecil menuju keposisi-nya yang sudah ditentukan sejak pelajaran olahraga minggu lalu itu.
Setelah sampai diposisinya, Alexa sempat meringis pelan ketika merasakan rasa nyeri yang kembali menusuk-nusuk perutnya. Alexa kemudian memejamkan kedua matanya sambil menekan perutnya dengan sebelah tangan.
Tolong, bertahan untuk sebentar lagi saja. Pleaseeee…
***
Alexa berusaha untuk mengejar bola voli yang mengarah ke pojok lapangan itu dengan sekuat tenaganya. Kedudukan timnya dengan tim lawan saat ini adalah seri, dan sekarang sudah ada dipenghujung durasi yang sudah ditentukan. Jadi, ia tidak bisa membiarkan bola itu sampai menyentuh lapangan dan otomatis memberikan tim lawan tambahan poin.
Alexa yang masih berlari sambil berusaha menahan rasa sakit diperutnya itu kemudian mengarahkan kedua lengannya kearah bola voli yang sudah mulai mengarah kebawah itu. Dengan sekuat tenaganya, Alexa langsung memantulkan bola voli itu kembali keatas dengan lengannya.
Tepat setelah bola voli itu menyentuh lengan Alexa, tiba-tiba saja rasa sakit yang luar biasa kembali menyerang perutnya. Membuat Alexa langsung kehilangan keseimbangan dan jatuh terseungkur diatas lapangan.
Saat ini kedua pandangan Alexa mulai terlihat kabur, ia juga merasa sangat pusing ditambah mual. Saat ini yang bisa Alexa lakukan hanya memegangi perut dengan kedua tangannya.
Ia sempat mendengar suara teriakan yang memanggil namanya beberapa kali, namun ia tidak bisa melihat dengan jelas orang-orang yang kini sudah mulai berkumpul disekitarnya. Tiba-tiba saja, pendengaran Alexa juga ikut terasa kabur sama seperti penglihatannya. Ia tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang orang-orang itu katakan kepadanya.
Alexa masih berusaha untuk mempertahankan kesadarannya sampai pada akhirnya rasa nyeri dan sakit itu kembali menerjang organ dalam perutnya. Membuat Alexa seketika merasa begitu lemas dan setelah itu pandangannya tiba-tiba langsung berubah menjadi gelap gulita.
***
Ravi berjalan menyusuri koridor sekolah lantai satu yang terasa begitu sepi dan lengang—beda sekali jika sudah jam istirahat, koridor ini pasti langsung berubah seperti pasar yang dipenuhi oleh banyak orang.
Sebenarnya, kelas Ravi ada dilantai dua. Tapi, ia sengaja turun ke lantai satu untuk pergi ke toilet—walaupun sebenarnya dilantai dua toiletnya justru lebih besar dan lebih dekat dari letak kelasnya.
Ravi lalu mengalihkan pandangannya menuju kearah lapangan sekolah yang sudah dipenuhi oleh siswa-siswi dengan seragam olahraga berwarna coklat tua itu, kelihatannya mereka saat ini sedang melakukan praktik olahraga bola voli.
Kedua mata Ravi otomatis langsung mencari sosok yang membuatnya rela untuk turun ke lantai satu hanya untuk pergi ke toilet—dan tanpa membutuhkan waktu yang lama, pandangannya langsung menangkap sosok itu yang kini sedang berdiri dibagian belakang lapangan.
Ravi segera menghentikkan langkahnya untuk memperhatikan sosok Alexa yang kini terlihat sedang mengambil ancang-ancang untuk berlari dan mengejar bola voli yang sudah menuju kearah pojok lapangan itu.
“Ayo, Lex, jangan malu-maluin gue.” Ucap Ravi dengan penuh percaya diri sambil menyilangkan kedua tangannya didepan dada.
Beberapa saat kemudian, Alexa berhasil sampai dilokasi dimana bola voli itu akan jatuh dan memantulkan kembali bola tersebut dengan kedua lengannya. Tepat saat itu juga, Ravi langsung mengepalkan sebelah telapak tangannya sambil berkata ‘Yes!’ tanpa ia sengaja.
Setelah menyaksikan hal tersebut, Ravi berniat untuk kembali melanjutkan perjalanannya menuju kearah toilet pria yang terletak diujung koridor lantai satu. Namun, ia langsung mengurungkan niatnya ketika melihat sosok Alexa yang terlihat langsung memegangi perutnya dengan sebelah tangan. Wajah perempuan itu juga terlihat mulai memucat.
“Jangan bilang….?”
Ravi tahu benar apa yang sedang dilakukan oleh cewek itu sekarang. Ia tidak mengenal Alexa hanya satu-dua hari saja, tentu saja ia tahu bahwa saat ini Alexa sedang menahan sakit perutnya yang sudah pasti disebabkan oleh penyakit maag akut yang diderita cewek itu sejak satu tahun yang lalu.
Ravi langsung menghembuskan nafasnya berat, dengan cepat ia segera melangkah menuju kearah lapangan sekolah. Jika dibiarkan lebih lama lagi, bisa-bisa Alexa akan berakhir tidak sadarkan diri. Dan Ravi sudah tahu benar bahwa cewek itu tidak akan berhenti sebelum dirinya benar-benar jatuh pingsan.
Baru saja berfikiran seperti itu, tiba-tiba apa yang sejak tadi sudah ditakutkan oleh Ravi itu benar-benar terjadi. Dengan kedua matanya sendiri, Ravi menyaksikan detik-detik tubuh Alexa terhuyung jatuh lalu tersungkur diatas aspal lapangan sekolah.
Melihat kejadian tersebut, Ravi sontak berlari kencang menuju kearah Alexa. Begitupun dengan teman-teman sekelas Alexa dan pak Heru yang ikut menghampiri Alexa yang sudah tergeletak dipojok lapangan itu. Beberapa diantaranya bahkan sempat berteriak kaget ketika melihat tubuh Alexa yang tiba-tiba jatuh dan tersungkur diatas lapangan sekolah.
“Alexa!” Ravi langsung mengangkat kepala cewek itu dengan lengannya tepat saat ia baru saja sampai dilokasi tempat Alexa tergeletak saat ini.
“Lex??? Lo bisa denger gue gak???” Seru Ravi lagi sambil menepuk-nepuk pipi Alexa pelan.