“Even when you're only looking at a different girl. I get angry I can't hold it in”
*
“Masalahnya, Cle, Stevie nggak suka K-Pop.”
Pertanyaan pertama yang terlintas di kepala Cleo, mengapa yang dipikirkan Arka harus Stevie? Kalau boleh jujur, saat itu juga dadanya sesak. Lucu sih, cuma karena dia mendengar Arka—senior yang dikaguminya setengah mati—memintanya menjaga rahasia hanya karena perempuan lain yang menurut Cleo sama sekali nggak pantas bersanding dengan Arka.
Jadi menurut Kak Arka kalau Stevie nggak suka K-Pop, Kakak harus pura-pura nggak suka K-Pop juga? Supaya diterima dia? Dari sudut pandang Cleo, apa yang dilakukan Arka sama sekali nggak masuk akal, tapi tentu saja Cleo nggak akan mengucapkannya lantang-lantang di depan Arka.
Untuk beberapa saat, Cleo terdiam, malas menanggapi Arka yang masih tetap meracau soal Stevie. Sampai akhirnya Arka lelah berbicara dan menyisir rambutnya ke belakang saking stresnya. Cleo menghela napas dan melipat tangannya setelah Arka berhenti bicara.
“Begini deh, Kakak kasih kamu kesempatan untuk minta apa pun dari Kakak asal kamu bisa jaga rahasia ini di sekolah. Gampang kan? Kamu tinggal pura-pura nggak pernah ketemu Kakak di acara ini. Toh semua orang di sekolah juga nggak tahu kan kalau kamu suka ikut acara seperti ini?” Arka mengajukan penawaran pertamanya.
“Semua orang yang kenal aku tahu kalau aku ikut acara ini,” sahut Cleo cuek. Dia tahu jawabannya itu cukup menambah tingkat stres Arka. Tapi Cleo memang mengatakan yang sebenarnya. Di sekolah, semua orang tahu kalau Cleo bergabung dalam kegiatan cover dance di luar klub sekolah dan menurut Cleo nggak ada gunanya dia menyembunyikan itu.
“Jadi gimana?”
“Kakak nggak bisa mikir penawaran yang lebih menggoda apa? Cuma satu kesempatan? Nggak mempan lah. Aku mau tiga,” ujar Cleo santai.
“Tiga? Gila kamu! Kakak kan cuma minta kamu jaga rahasia ini di sekolah aja.”
“Kalau gitu aku nggak berani jamin berita ini nggak akan tersebar ke mana-mana sih. Sorry ya, Kak.”
“Please dong, Cle. Satu kesempatan dan kamu boleh minta apa pun. Apa pun kataku. Kamu bisa pegang ucapanku,” pinta Arka seraya memberikan penekanan pada kata ‘apa pun’ di kalimat keduanya.
Cleo menundukkan kepalanya, menggerak-gerakkan kakinya pelan dan akhirnya menatap Arka lekat. Laki-laki yang ditatap malah tersenyum ke arah Cleo, memasang wajah penuh harap dengan sorot mata penuh kecemasan.
“Satu kesempatan. Oke! Kalau Kakak nggak bisa melakukan permintaan aku, aku nggak akan segan-segan bilang ke semua orang di sekolah, terutama Stevie. Gimana?”
Mau nggak mau, suka nggak suka, akhirnya Arka mengangguk dengan berat hati.
“Deal!”
*
“Lo serius bilang kayak itu ke Arka? Lo sendiri yang bilang kayak itu? Nggak percaya sih gue.”
Meskipun sudah menceritakannya via telepon tepat setelah Cleo bertemu dengan Arka di acara festival, Hava tetap memaksa sahabatnya bercerita ini dan itu tentang kejadian yang terjadi antara dirinya dan Arka Sabtu kemarin. Hava melepas sendok di tangannya menanggapi cerita Cleo. Kantin SMA Harapan NUsa masih seperti biasa, penuh sesak dengan seluruh murid kelas sepuluh hingga kelas dua belas. Cleo dan Hava masih menempati tempat favorit mereka, meja dan kursi di sudut kantin, jauh dari pandangan banyak orang. Setelah mendengar kalimat bernada menyelidik dari Hava, Cleo mengangkat kedua alisnya sambil tersenyum.
“Gila lo! Seorang Cleo yang biasanya nggak pernah berani ngajak ngomong Arka tahu-tahu sekarang malah bikin seorang Arka ngikutin semua permintaannta. Lo beneran gila, Cle,” komentar Hava.