*Tahun 2006 awal*
#Aku sungguh masih sayang padamu
Jangan sampai kau meninggalkan aku
Begitu sangat berharga dirimu
Bagiku …#
Tak kuasa air mata keluar tanpa bisa dikendalikan saat mendengar lirik lagu yang aku sendiri tidak tau itu lagu siapa dan apa judulnya. Berulang mengalir tanpa bisa dicegah saat lirik itu kembali dilantunkan oleh suara dalam radio Bus Palembang-Inderalaya yang pak supir putar.
Aku berusaha menyembunyikan butiran bening itu dari Ibuk dengan pura-pura tidur. Entah Ibuk menyadari atau tidak, aku sedikit memalingkan wajah ke sisi lain. Tak perduli penumpang di kursi sebelah melihat atau tidak, aku ingin segera sampai.
Entah bagaimana bisa, lagu tersebut membuatku seolah telah mengkhianati pria yang kucintai bertahun lamanya. Bahkan hanyalah sebuah cinta terpendam yang sekian lama tersimpan rapat tanpa sang pria ketahui. Sedang lelaki yang baru saja kutemui bersama Ibuk, bukanlah pilihan hati. Hanya perjodohan yang aku yakini tak akan berlanjut. Setidaknya kuharap begitu.
***
Tiga hari yang lalu
Siang menjelang sore, Ibu datang ke kost-anku di inderalaya, tanpa pemberitahuan sebelumnya. Sempat kaget, sekaligus senang, pengobat rindu akan kampung halaman, sebuah kota kecil di Sumatera Selatan.
“Yaa, ada yang mau Ibuk sampaikan.” Wanita terkasihku ini memulai pembicaraan setelah menggantung mukena yang ia pakai shalat isya barusan. Lalu duduk di pinggir dipan dekat meja belajar yang sedang aku gunakan.
“Apa Buk?”
“Beberapa hari yang lalu, istrinya Uwak Syahlan menelpon Ibuk. Beliau ingin menjodohkan anak semata wayangnya dengan anak Ibuk. Satu-satunya anak perempuan Ibuk, ya kamu.” Ibuk memulai dengan hati-hati.
Aku menjauhkan tanganku dari keyboard komputer, yang sedari tadi asyik mengedit laporan praktikum. “Maksudnya Buk? Uwak Syahlan, Uwak yang mana ya Buk?”
“Itu sepupu Ibuk yang tinggal di Palembang. Uwak Sarah, istrinya, sudah beberapa kali menjodohkan Baim dengan yang lain tapi slalu gagal. Uwak Sarah saat tau Ibuk ada anak gadis langsung menawarkan. Siapa tau jodoh katanya. Ibuk juga berharap kamu mau dijodohkan sama Baim. Memang umurnya sudah dua puluh sembilan tahun, tapi kan bagus, udah matang. Mapan pula. Kerjanya dah mantap di kantor pemerintahan kota Palembang. Setidaknya perkenalan dulu. Kamu mau kan? Mumpung Ibuk ada di sini, dekat kalo kita mau ke rumahnya.”
Aku terdiam. Tidak pernah terpikir dalam hidupku akan dijodohkan. Bagaimana orangnya saja aku tidak tahu, dan umurnya, what? Itu artinya delapan tahun lebih tua dariku. Lagipula, di hatiku sudah ada si Dia.
“Boleh Rayya berpikir dulu, Buk?”
“Yaa tak suka ya?” selidik Ibu.
“Bukan begitu Buk. Ini terlalu tiba-tiba bagi Rayya.”
Ibuk hanya diam. Ekspresi wajahnya terlihat sedikit kecewa.
“Ibuk tidur duluan saja ya. Rayya masih ada tugas yang mau diselesaikan. Besok harus dikumpulkan.” Aku merapikan kasur di ranjang. “Biar ibuk yang di atas. Rayya tidur di bawah ya, Buk.” Kukeluarkan selimut tebal dari lemari, untuk pelapis tikar yang aku gelar di lantai.
“Besok Ibuk mau ikut ke kampus? Rayya besok cuma praktikum satu mata kuliah saja. Jadi tidak akan lama.”
“Tak usah. Biar Ibuk tunggu di sini. Ibuk tidur dulu.”
Beliau tidur membelakangiku. Kuperhatikan beliau gelisah. Bahkan hingga satu jam berlangsung, Ibuk masih belum terlelap.
Aku yakin Ibuk masih memikirkan soal perjodohan itu. Sungguh membuatku bingung. Aku tidak ingin menjadikan kata-kataku tadi beban pikirannya. Namun di lain pihak, sulit menerima perjodohan dengan Kak Baim.
Selain karena sudah ada lelaki lain yang aku cintai, juga bukan hal yang mudah untuk menerima lelaki lain. Apalagi untuk menjadi teman hidup, yang berharap sekali untuk seumur hidup.
***
Sejak dua hari yang lalu, pasca obrolanku dengan Ibuk, beliau lebih banyak diam dari biasanya. Wajahnya pun tampak murung. Ibuk pasti kecewa karena aku tidak kunjung mengiyakan tawarannya untuk bertemu Kak Baim dan keluarganya.
“Ibuk sedih ya karna Rayya?”
Ibuk menatapku sekilas, lalu menghela napas.
“Ya sudah …, Rayya mau ketemuan sama mereka.” Pelan kuucapkan. Baiklah, apa salahnya bertemu dulu. Toh hanya bertemu, habis itu selesai. Yang penting memenuhi keinginan Ibuk dulu buat ketemu sama Kak Baim. Yang penting, Ibuk tidak murung lagi.
"Benarkah?” Wajah Ibuk seketika cerah. Seuntai senyum terbentang tipis di wajahnya. “Kalo begitu Ibuk telpon Uwak Sarah dulu.”
Ibuk mengambil handphonenya. Mencari sebuah nama di kontak telepon. Lalu menekan tombol panggilan di keyboard ponsel.