“Ehem, orangnya mana, Ca?” Aby berdeham di depan Ica. Pandangannya tegas, membuat Ica jadi salah tingkah karena panik. Semua divisi sudah punya masing-masing satu anggota yang mereka rekrut dari kalangan siswa SMA Tunas Harapan. Tinggal Ica yang tidak mau pusing memilih untuk merekrut teman dekatnya dari SD. Rendy, cowok pemalas yang punya hobi main band dan tidak pernah berorganisasi. Jika tidak karena dipaksa Ica, Rendy tidak akan mau ikut kepanitian perpisahaan ini.
“Bentar lagi dia datang, kok, By.” Ica sibuk memencet-mencet smartphone-nya dan sesekali menatap ke arah jendela ruang OSIS.
“Aku, kan, udah bilang, hari ini kalian udah harus memperkenalkan anggota divisi kalian. Perpisahan kakak kelas kita tinggal dua bulan lagi, loh. Emang kamu bisa kerja sendirian?” ketus Randy.
“Nggg ... gak, By. Bentar lagi, By, lima menit, lima menit lagi dia datang.”
Ica : RENDYYY BURUANNN. UDAH MULAI, GEBLEK!!!
Rendy : Iya, gue udah di depan pintu ruang OSIS. Galak amat, sih, cicak.
Ica : Jangan panggil gue cicak. Sialan lo, kolor ijo. MASUK CEPET!!!
Ada seseorang yang mengetuk pintu. Aby mempersilakannya masuk dan di depan semua anggota panitia perpisahan muncul si Peringkat Terakhir di kelas XI 1, jago gitar, dan tukang tidur. Mereka agak kaget karena Rendy Surya Pradana kini ikut kepanitiaan bersama mereka. “Luar biasa. Telat satu jam. Kamu bikin kita pulang magrib!!!” ketus Aby.
“Maaf, Bos, gue habis tidur di musala tadi.”
Ica mencubit pinggang Rendy. Rendy bergidik kesakitan, lalu memelotot kepadanya. “Apaan, sih, lo, cicak!!!”
“Oke, kita mulai saja.” Aby membagi tugas ke masing-masing divisi. Selama Aby bicara, Ica selalu memperhatikannya. Ica terpana dengan gaya bicara Aby yang dewasa, bijak, dengan suara bas yang menggema ke seantero ruangan. Persis seperti pidato Pak Kepala Sekolah ketika upacara.
“Untuk divisi pengatur lapangan yang diketuai Anisa Lubis dan anggotanya Rendy Surya, tugas kalian yang pertama adalah mencari gedung buat perpisahan, peralatan sound system, dan berbagai perlengkapan buat acara. Yang kedua, sehari sebelum hari H, kalian pastikan semua peralatan sudah siap dan saat hari H pastikan peralatan sound system dan gedungnya sudah siap dipakai. Mengerti?”
“Mengerti, By,” ujar Ica sambil mencatat semua perintah Aby.
Rendy menguap sehingga Ica terpaksa kembali mencubit pinggangnya lebih kencang. “Mengerti, cicak!!!”
Semua divisi tertawa, kecuali Aby yang berwajah tegas dan Ica yang panik karena teriakan Rendy.
“Ratna, tolong bagikan proposalnya ke masing-masing divisi,” perintah Aby kepada sekretarisnya. “Sekarang masing-masing divisi boleh melakukan rapat per divisi buat menyusun strategi. Terserah kalian mau rapat di sini atau di luar. Sekarang udah pukul 5.00 sore, setengah enam per divisi gantian menghadap ke aku buat melaporkan hasil rapatnya. Pastikan kalian memikirkan strategi yang tepat, kasih yang terbaik untuk kakak-kakak kelas XII yang bentar lagi mau lulus. Oke, sekarang langsung bergerak.”
“Oke, By ....” Ica menarik Rendy keluar.
Rendy lalu mengajak Ica untuk rapat di kantin yang telah sepi. “Pak Somad, pesen baksonya dua.” Rendy dengan santainya duduk, sedangkan Ica panik melihat proposal dan tugas yang tadi Aby berikan kepadanya.
“Rendy!!!” Ica menatap Rendy dengan tegas. “Bukannya rapat, lo malah makan.”
“Apaan, sih, Ca? Gue laper, baksonya gue yang traktir, deh. Pak Somad, jus tomatnya dua, ya. Yang satunya nggak pake gula, Pak.”
“Yang nggak pake gula buat Ica, ya, Den?” teriak Pak Somad dari dalam dapur. “Tumben belum pulang, Den?”
“Biasa Pak, ada meeting, hihihi.”
“Rendy, lo tahu, nggak, lo menyebalkan banget hari ini. Kan, udah gue bilang rapatnya pukul setengah empat, tapi kenapa lo datangnya pukul setengah lima. Lo tega, ya, Ndy. Nama gue jadi jelek, nih, di mata Aby karena lo.”
“Sori, Ca. Lo tahu, kan, habis asar itu waktunya gue tidur, Ica Cicak.”
“Jangan panggil gue cicak, ihhh.” Ica mencubit lengan Rendy sekuat mungkin.