Pukul 23.30, saat melihat ke layar ponselnya ternyata Ica telah menelepon Rendy lebih dari sepuluh kali dan mengirim ratusan chat. Rendy menaruh gitar yang telah membuatnya lupa dunia dan waktu, lalu membaca isi chat Ica.
Ica : RENDY KOLOR IJO. ANGKAT DONG!!!
“Nih cewek mulutnya udah kayak cicak, menyebalkan banget.” Rendy memencet tombol hijau di ponsel dan Ica segera mengomelinya bertubi-tubi.
“Lo ngapain aja, sih? Tidur? Nggak ingat apa tadi gue udah diomelin Aby. Sekarang kesempatan gue buat ngedeketin Aby makin kecil. Gue nggak mau tahu, pokoknya kita harus udah dapat gedungnya malam ini!!!”
“Ya Allah, nih cewek. Kalau bicara direm dikit napa? Siapa yang kolor ijo? Enak aja lo ngatain gue kolor ijo.” Walau bernada marah, Rendy mengucapkannya sambil tersenyum pada langit malam di beranda.
“Emang lo suka pake kolor yang warnanya ijo, kan?”
“Dasar cicak. Ica Cicak bau ketek, wekkk.”
“Rendy ....” Ica menarik napas dan menurunkan nada bicaranya. Lalu, dia merebahkan diri di atas tempat tidur. “Gue mohon. Gue kehabisan ide buat nentuin gedung mana yang cocok buat acara perpisahan. Lo tahu, kan, hidup gue cuma sekolah, rumah, tempat les, sama mal. Lo kira-kira udah dapat gedung yang cocok belum, Ndy?”
“Iya, udah.”
“Gedung apa? Muat seribu orang? Bajet-nya lima juta, nggak?”
“Gedung teater kota. Lo lupa satu hal kalau gedungnya harus ada panggung. Dasar nenek pikun.”
“Oh, iya, ya. Hehehe.”
“Kapasitasnya seribu orang lebih dikit. Kata temen gue, sehari semalam sewanya cuma tiga juta. Murah, kan?”
“Alhamdulillah. Rendyyyyyy, lo emang temen gue yang paling pintar dan ganteng. Kalau gitu sekarang juga gue kasih tahu Aby. Oke?”