Semua mata tertuju pada seorang dokter muda yang baru saja datang dari pintu masuk utama Rumah sakit Yokoshima. Bukan hanya karena wajah dokter itu yang terlampau tampan, namun juga mimik wajahnya yang angkuh membuat semua orang bertanya-tanya siapa ia sebenarnya dan apa posisinya di Rumah sakit ini sampai wajahnya bisa sangat menyebalkan seperti itu. Sudah beberapa orang mencoba menyapanya, namun berakhir dengan senyuman tak menyenangkan dari si dokter baru.
Sebuah senyuman sinis senantiasa menyungging di wajahnya, seolah terlampau bangga dengan jubah dokter dan name-tag yang baru ia kenakan hari ini di Rumah sakit tersebut. Entah karena bawaan perangainya, atau ia memang sengaja terlihat arogan sejak menapakkan kakinya disini.
Langkahnya yang begitu mantap terhenti saat melewati sebuah ruangan yang ia yakini adalah ruang istirahat para dokter. Pintu ruangan itu terbuka lebar, menampakkan seseorang yang ada di dalam sana. Matanya otomatis tertegun saat menatap seorang gadis bersurai sebahu dengan manik hazel yang indah, tengah membaca buku dengan seriusnya seorang diri. Gadis itu juga memakai jubah dokter sepertinya, dan name-tag tergantung di dada kiri. Sayangnya nama yang tertera disana tak terlalu jelas ia lihat. Satu hal yang menarik perhatiannya adalah tahi lalat yang tepat berada di bawah mata kirinya.
"Posisi yang pas..." setengah berbisik.
Aksi menatapnya terhenti saat seseorang datang menghampirinya.
"Takeru-san?"
Merasa dipanggil, ia langsung menoleh pada suara pria yang sudah ada dihadapannya.
"Syukurlah kau sudah datang, direktur sudah menunggumu di ruangan."
"Aa.. aku lupa namamu."
"Hikaru. Kau payah mengingat nama ya, Takeru-san. Harusnya kau sudah mengingat-ingat orang yang akan menjadi tim bedahmu."
"Ah ya aku tahu. Aku akan mengingatnya setelah ini."
"Ngomong-ngomong, apa yang sedang kau tatap tadi?" Hikaru yang penasaran langsung ikut-ikutan menatap ke dalam ruangan itu. Dan senyuman di wajahnya jadi sedikit berubah.
"Kuharap kau tidak tertarik padanya." Ucapnya.
"Hah?"
"Dia ada di tim lawan kita."
Mendengar hal itu Takeru langsung menyipitkan matanya, kemudian sekali lagi menatap gadis bermanik hazel yang masih asik dengan buku yang dibacanya itu.
Takeru menghembuskan napas.
"Tunjukkan aku ruangan direktur."
oOo
Takeru membungkuk sopan pada Yuri Kaname –direktur utama Rumah sakit Yokoshima yang sudah duduk di sofa ruang kerjanya. Senyuman ramah turut menghiasi paras cantik itu. Tak lama ia pun mempersilahkan Takeru duduk di depannya, dan langsung dituruti oleh Takeru.
"Aku sangat tertolong kau menerima tawaranku untuk bekerja disini."
Takeru tersenyum. "Aku rasa aku juga harus berterimakasih karena telah menawariku pekerjaan ini."
"Ya, seperti yang katakan sebelumnya di rumah sakit ini memang sedang kekurangan dokter bedah. Dan karena reputasi disini sedang bagus-bagusnya, maka akan bertanggung jawab untuk melakukan operasi Ryou-san, anak presiden. Untuk itu aku ingin menyiapkan tim bedah terbaik disini untuk melakukannya. Kemudian karena dokter bedah andalan kami beberapa hari lalu meninggal dunia, jadi salah satu tim yang sudah aku siapkan kehilangan kartu asnya."
"Tapi, bukankah lebih mudah jika tim yang satunya lagi otomatis akan melakukan operasi itu?"
"Tadinya seperti itu, tapi Hikaru merekomendasikanmu untuk menggantikan posisi dokter bedah yang kosong di timnya. Dia tidak ingin kalah sebelum bertarung."
"Kenapa kedua tim tidak melebur saja jadi satu tim?"
"Timnya sudah solid, dan dari dulu kedua tim itu memang selalu bertentangan. Haha aku bingung padahal mereka berada dalam satu naungan Rumah sakit yang sama."
"Ah baiklah. Aku jamin pilihanmu memasukkanku ke dalam tim tidaklah salah."
"Ya, aku mengandalkanmu Takeru-san."
"Ngomong-ngomong, boleh aku lihat list kedua timnya?"
"Tentu."
Yuri beranjak dari duduknya, mencari dokumen yang berada di dalam laci meja kerja. Tak lama langsunglah ia memberikan beberapa lembar kertas yang disatukan ke dalam map bening kepada Takeru.
Dokumen itu terdiri dari data induk beserta foto dan riwayat pengalaman operasinya. Dilihatnya list timnya terlebih dahulu. Satu nama sudah tidak asing baginya, Hikaru. Kemudian nama-nama selanjutnya adalah Ritsu, Wataru, dan Ken. Di tim lawan, yang pertama kali ia lihat adalah berkas milik Mayu Aizawa –gadis yang ia lihat di ruang dokter tadi. Sebuah sunggingan senyum nampak. Persetan dengan nama-nama lain yang tertera di kubu lawan, ia tidak peduli dengan nama Amano, Sakemi, Kiyoo, dan Naruse disana. Bahkan juga tentang kenyataan bahwa Amano yang memegang posisi dokter bedah disana.
"Kau sudah tahu letak ruang istirahat dokter kan? Untuk sementara meja dan lokermu ada disana, selanjutnya akan aku urus untuk ruangan pribadimu."
"Terima kasih, tapi bukankah itu terlalu berlebihan? Ruang pribadi untukku?" canda Takeru, yang sebenarnya setuju-setuju saja dengan adanya ruang pribadi untuknya.
"Aku harus memperlakukan dokter bedah terbaik di Jepang dengan spesial kan?"
Dan Takeru semakin mengembangkan senyumannya.
oOo
Amano datang menghampiri Mayu yang masih setia dengan tumpukkan buku di meja kerjanya. Ia lalu menyodorkan segelas kopi yang ia dapat dari kantin di lantai dasar rumah sakit.
"Kenapa kau belajar terus sih Mayu?" ucapnya sambil mendudukkan diri di samping meja kerja Mayu.
Tanpa menoleh gadis itu menerima kopi yang tersodor padanya.
"Mumpung senggang aku ingin memperdalam pemahamanku."
"Aish.. tapi kan kau sudah mendapat julukan 'dokter anestesi terhebat' disini. Kau juga sudah mengalahkan Hikaru yang notabenenya kerabat dekat Yuri-san."
"Ya berarti aku harus mempertanggung jawabkan julukan itu kan? Lagipula kau mau nepotisme di rumah sakit ini terus berjalan huh?"
Mayu kini menatap Amano dengan serius, mengutarakan ketidaksukaannya pada sistem 'keberuntungan' yang ada di rumah sakit ini. Amano terdiam. Ia memang tahu jelas bahwa disini unsur 'kekerabatan' sangat kental. Bahkan Yuri –yang menjadi direktur saat ini- terpilih pun karena komisaris rumah sakit ini adalah kakeknya. Kepala bedah yang baru meninggal beberapa hari lalu adalah paman Yuri, kepala perawat adalah keponakan Yuri, dan masih banyak kerabat-kerabat lain yang tidak hanya diikat oleh silsilah keluarga yang sama namun juga kedekatan mereka dengan beberapa pemegang saham disini.
Amano menghela napas.
"Kau juga tahu kan, aku bisa menang dari Hikaru karena saat itu operasinya disaksikan oleh dokter-dokter lain diluar rumah sakit ini juga. Jika yang menyaksikan hanya dokter internal pasti tetap dia yang menang, sebanyak apapun kesalahan yang ia lakukan."
"Benar juga.."