Rona merah di kedua pipi Mayu kembali muncul tatkala mengingat kembali apa yang dikatakan Takeru sehabis operasi kemarin. Sungguh, reaksinya saat itu seharusnya bisa dikondisikan. Tapi yang terjadi malah sebaliknya, Mayu mematung diam –tanpa menunjukkan penolakan maupun penerimaan. Padahal ia tahu, apa yang seharusnya ia katakan pada Takeru saat itu. Menolaknya mentah-mentah kan? Maunya. Namun entah kenapa semakin dipikirkan kejadian itu semakin membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Salah tingkah tanpa mengerti apa yang ia rasakan sebenarnya.
Untuk kesekian kalinya Mayu mengacak rambutnya dengan gusar. Kembali, ia tidak bisa berkonsentrasi sama sekali dengan beberapa lembar hasil CT scan pasien kecelakaan yang baru datang.
"Kenapa?" tiba-tiba Sakemi menepuk bahu Mayu, menyadari keganjilan yang ditunjukkan Mayu sejak tadi.
"Ah? Tidak, tidak ada apa-apa kok."
"Yakin?
"Aku hanya lelah sepertinya,"
"Yah.. bagaimana dengan operasinya dong?"
"Hah? Operasi apa?"
Sakemi langsung mengarahkan pandangan Mayu pada pasien di ranjang paling pojok yang tengah diberi tindakan dengan alat pacu jantung oleh Amano. Ah, sepertinya akan gawat.
"Kita harus mengoperasinya segera." Lanjut Sakemi.
Mayu menenggak ludah. Baiklah, sudah saatnya ia harus fokus dengan profesinya.
"Uh.. Baiklah."
"Tapi sebelum itu, tadi Takeru-san menitipkan ini padaku. Dia bilang ini untukmu."
Sakemi menyodorkan sebuah kantung berisikan 2 kaleng kopi. Awalnya Mayu menatap heran, namun setelahnya ia ingat kemarin Takeru minta traktiran darinya. Apa ini sebagai balasan darinya?
Akhirnya Mayu terima kantung yang tersodor itu. Apa mungkin setelah ini ia harus berterimakasih pada pria arogan bernama Takeru itu?
oOo
Amano dan Mayu baru saja selesai menggosok lengan mereka dengan sabun, tak seperti Sakemi, Naruse dan Kiyoo yang sudah siap di dalam ruang operasi. Saat air dari kran baru saja mengenai lengan mereka tiba-tiba perhatian mereka terinterupsi oleh suara langkah kaki yang mereka yakini lebih dari seorang. Langsunglah keduanya menoleh ke belakang, karena kebetulan juga tangan mereka sudah selesai dibilas.
Mata Amano menyipit, firasatnya mulai tidak enak saat melihat 5 orang dengan seragam bedah datang menghampiri mereka. 5 orang itu.. lawan mereka.
"Dimana pasiennya?" Takeru mengawali perbincangan dua kubu bertentangan itu.
Tentu tak ada jawaban, berkat prediksi Amano dan Mayu yang langsung peka dengan maksud kedatangan tim Takeru kemari.
"Ah aku belum bilang ya? Untuk operasi kali ini, tim kami yang akan melakukannya." Lanjut Takeru, dengan nada yang benar-benar tidak enak didengar.
"Tapi dia pasienku." Amano sudah dalam mode siaga.
"Aku tidak peduli itu pasien siapa, tapi kami yang akan mengambil alih."
"Aku yang paling tahu bagaimana kondisi pasiennya." Tambah Amano.
"Oh ayolah, aku sudah sering melakukan operasi pada pasien orang lain dan semuanya berjalan lancar. Jadi, menyingkirlah."
Senyuman meremehkan nampak di wajah Takeru.
Dalam hati Mayu menyesal, sempat mengurangi kebenciannya pada orang di hadapannya ini. Sekali lihat dari jauh saja sudah jelas kalau ia bukan orang baik yang patut untuk disegani.
"Tak bisakah kau berbicara dengan sedikit sopan?" darah Mayu naik.
Takeru terkekeh geli, masih dalam wajah arogannya yang menyebalkan.
"Maaf saja, tapi aku tidak biasa berbicara sopan pada orang yang ada di bawahku."
Mayu dan Amano membelalak. Tak seperti Mayu yang masih menahan kepalan tangannya dengan kuat, Amano langung melayangkan satu kepalan menuju wajah mulus Takeru –namun berhasil ditangkis oleh Hikaru yang tepat berada di samping Takeru saat itu.
Alis Amano mengerut saat cengkraman tangan Hikaru semakin menguat di pergelangan tangannya. Seringai muncul dari bibir Hikaru.
"Ini perintah dari Yuri-san, Ama-chan." Ucap Hikaru, dengan sedikit penekanan pada panggilannya pada Amatsuki.
Amano membatu, antara tak bisa bergerak karena tangannya ditahan Hikaru dan mendadak teringat lagi panggilan kecilnya itu. Mayu yang sudah sedikit meredam emosinya menghembuskan napas kasar kemudian menepuk bahu Amano –ajakan untuk mundur.
Seringai semakin mengembang, merasa menang dengan situasi ini.
Amano –setelah melepas paksa cengkraman Hikaru- langsung berbalik dan memberi isyarat pada rekan-rekannya yang sudah ada di dalam ruang operasi untuk keluar. Untuk kali ini, terpaksa mereka kembali mengalah.
Sakemi, Naruse dan Kiyoo yang sempat menonton dari dalam ruang operasi sudah mengerti situasi apa yang tercipta disana. Apalagi setelah melihat mimik Amano yang tampak sangat kesal.
Tanpa bicara apapun mereka memutuskan untuk meninggalkan tempat itu, tanpa sudi lagi menatap wajah-wajah arogan yang terpampang sembarangan disana. Persetan dengan tatapan-tatapan penuh kemenangan itu.
oOo
Tak seperti yang lain –yang memutuskan kembali pada kesibukan mereka, Mayu memilih untuk mengikuti Amano yang ternyata mengarah ke atap rumah sakit. Dalam hal ini Mayu tahu bahwa Amano yang paling terpukul dengan pilihan sepihak dari atasan mereka itu. Kekuatan dan kemampuan mereka untuk bertarung selalu dibatasi oleh status di dalam rumah sakit. Apalagi sejak Takeru bekerja disini, atasan seolah sedang gencar-gencarnya memamerkan kemampuan mereka. Seolah terjadi monopoli dan sabotase.
Angin kencang langsung menyerbu saat keduanya sudah benar-benar berada di tengah atap rumah sakit. Angin yang tenang namun menyesakkan.
Mayu tak langsung menyejajarkan diri dengan Amano, sedikit menjaga apa yang ingin dilakukan pemuda bermanik coklat itu disini. Jarak mereka hanya terbentang sekitar 2 meter.
Hembusan napas Mayu dengar. Ia yakin saat ini Amano tengah mencoba untuk menenangkan dirinya yang tenggelam dalam emosi. Menetralisir pikirannya.
"Mayu... sebenarnya sudah lama aku ingin berhenti dari rumah sakit ini."
Mayu sedikit tersentak, dengan pernyataan Amano dan kesadarannya akan kehadiran Mayu .
"Tapi aku sudah terlalu nyaman bekerja denganmu." Pernyataannya berlanjut.
"Lalu kenapa kau ingin berhenti?"
"Karena Yuri-san."
Sentakan yang kedua. Yang tidak disadari sama sekali oleh Mayu .
"Kami pernah saling mencintai."
"Eh?"
"Tapi setelah dia naik menjadi direktur utama.. sikapnya padaku jadi berubah. Selalu saja Hikaru yang menjadi perhatiannya, apalagi saat Takeru-san masuk ke tim itu."
Tiba-tiba Amano menunduk. Mayu mulai melangkah mendekat.
"Aku sudah mencoba tidak memikirkan hal ini lagi, tapi ternyata.. masih terasa sakit.."