Love Scalpel

Shigeyuki Zero
Chapter #3

Part 3

Baru saja Mayu memberikan darah pasien yang diduga ebola pada staf laboratorium. Akan membutuhkan waktu lama untuk mengetahui hasil tes darahnya, oleh karena itu Mayu langsung meninggalkan laboratorium itu dan hendak menemui Amano lagi.

Dalam langkahnya yang terlihat penuh beban ia tiba-tiba dihadang oleh Takeru. Mayu langsung menatap tak minat pada pria di depannya itu, malah hendak melanjutkan langkahnya lagi jika saja Takeru tidak kembali menghalangi pandangannya.

"Apa yang terjadi di IGD? Kenapa ranjang yang paling ujung dibatasi plastik pembatas?" tanya Takeru sambil menyilangkan kedua tangannya –terkesan angkuh.

"Kau bisa menanyakannya pada suster yang bertugas disana juga kan? Kenapa repot-repot mencariku."

"Oh maaf saja, aku tidak sengaja mencarimu kok. Kebetulan saja aku berpapasan denganmu disini jadi aku menanyakannya padamu."

Mayu membuang muka, tidak tertarik dengan pembenaran yang dilakukan Takeru.

"Iya iya terserah, minggir, aku mau kembali bertugas."

Baru selangkah Mayu maju, Takeru kembali menekannya.

"Kau belum menjawab pertanyaanku Aizawa-san."

Mata tajam Takeru menghujami Mayu , membuatnya sedikit gentar. Tapi apa boleh buat, ia hanya harus menjawabnya saja kan? Agar pria di depannya ini melepaskannya dengan cepat.

"Dugaan sementara ebola."

Takeru membelalakkan matanya, tampak terkejut. Awalnya Mayu merasa biasa saja dengan ekspresi itu, toh siapa saja yang mendengarnya akan menunjukkan ekspresi yang sama kan?

"Dan bocah bedah temanmu itu yang merawatnya?"

"Iya. Kenapa? Kau mau mengambil pasiennya lagi?"

"Kau tidak tahu bocah itu tadi malam begadang jaga malam?"

"Eh?"

"Saat seseorang dalam fase lelah, dia akan lebih mudah diserang virus dan bakteri. Kau tidak mengkhawatirkan itu?"

Kali ini Mayu yang membelalak. Ia baru ingat satu fakta itu. Dan yang ia yakini adalah, Amano tipe orang yang mengerjakan tugasnya dengan maksimal –begitu juga dalam hal jaga malam. Saat seharusnya sekarang Amano mendapatkan jatah istirahatnya, ia harus kembali menjaga pasien? Dengan penyakit parah seperti ebola?

Mimpi buruk.

Tak peduli lagi sekitar, Mayu langsung bergegas menuju ruang IGD tempat Amano merawat pasiennya. Ia harus segera menggantikan Amano sebelum pemuda bersurai coklat itu tumbang dan benar-benar terinfeksi ebola. Biarkan saja dirinya –yang memiliki daya tahan tubuh baik, menggantikan Amano.

Takeru hanya menatap punggung Mayu yang menjauh darinya. Tepat saat punggung itu menghilang dari pandangannya, senyuman sinis Takeru terlihat.

"Maafkan aku melibatkanmu dalam rencana ini." gumannya seorang diri.

oOo

Saat tiba di IGD ternyata keadaan sudah tidak aman-aman saja seperti sebelum Mayu pergi menyerahkan darah pasien untuk dites. Pasien IGD lain –yang berada di sisi lain pasien ebola mundur teratur dengan tatapan jijik ke arah Amano dan pasien itu. Ada beberapa perawat juga yang berusaha menenangkan keadaan pasien lain yang mulai panik.

"Kenapa kami harus satu ruangan dengannya?!" tanya seorang pemuda yang tidak terima dengan situasi yang terjadi.

"Mohon tenang dulu, plastik pembatas itu akan menghalangi batasan penyebaran virusnya kok. Jadi anda tidak perlu khawatir akan tertular." Ucap Sakemi, yang kebetulan ada disana juga.

"Ini kan rumah sakit besar! Masa tidak ada ruangan lain untuk pasien itu? Kalian tidak memikirkan kondisi kami disini?"

Sakemi melirik Naruse yang berada tak jauh darinya, dan gelengan kepala yang ia dapat dari gadis cantik itu.

"Untuk saat ini tidak ada ruangan kosong untuk memindahkan pasien itu, jadi mohon bersabar. Kami akan menjamin kalian semua tidak akan tertular."

"Bagaimana bisa kalian menjamin hal yang seperti itu hah?"

Mayu mulai mendekat ke arah kegaduhan, sembari membawa sesuatu di tangannya –tumpukan pakaian pelidung dan masker.

"Kalian datang ke rumah sakit ini juga karena yakin bisa sembuh kan? Kenapa kalian masih meragukan apa yang akan kami jamin?" ucap Mayu dengan tegas, batas kesabarannya sudah di ujung tanduk. "Kami akan melaksanakan tugas kami sebaik mungkin jadi untuk saat ini tenanglah dan pakai saja baju pelindung yang kami siapkan!"

Hening. Tak ada satu pasien pun yang berani melawan lagi, semuanya seakan tunduk dan menerima sodoran baju pelindung beserta maskernya itu.

Mayu segera menghampiri Amano –hendak melewati plastik pembatas itu jika Amano tidak memintanya berhenti.

"Jangan lakukan hal bodoh dengan ikut terlibat di dalam sini."

"Kau yang bodoh, bodoh!"

Ditatapnya serius Amano yang sudah memakai pakaian pelindung, sarung tangan dan masker. Dari matanya yang nampak merah, Mayu sudah menyadari rasa lelah yang menyelimuti Amano.

"Kau baik-baik saja?" akhirnya Mayu menurunkan sedikit luapan emosi yang ia bawa.

"Un, aku baik-baik saja kok. Tidak usah panik begitu. Kau kan sudah setuju aku saja yang merawatnya sampai akhir."

"Aku sudah memberikan darahnya ke lab, semoga bukan ebola.."

"Aku juga berharap begitu sih.. Tapi.."

"Tapi?"

"Ah tidak-tidak, bukan apa-apa kok. Kita tunggu hasil tes darahnya saja."

"Kau pucat,"

"Hm? Benarkan? Mungkin karena aku kurang tidur haha."

"Bukan kurang tidur, tapi belum tidur."

Senyuman Amano di balik masker menurun. Sudah ia duga, sahabatnya ini memiliki kepekaan super. Tapi untung saja saat ia memakai sarung tangan, jadi Mayu tidak akan menyadari bercak merah yang mulai terlihat di permukaan kulit Amano.

"Aku akan membawakan makanan untukmu ya?"

"Tidak usah, aku bukan pasien kan."

"Jangan membantah atau akan kugantikan posisimu disana!"

Barulah Amano bungkam.

oOo

"Kau yakin akan melakukan cara kotor ini?" Takeru meyakinkan Hikaru yang tengah mencari berkas pada tumpukan laporan di meja kerja Amano.

Takeru sendiri memilih untuk tidak mengotori tangannya dan meninggalkan sidik jari di barang-barang Amano seperti Hikaru, ia duduk santai di kursi kerja Mayu –yang tepat berada di samping meja kerja Amano.

"Dengan laporan penanganan pasien PTSD itu kita bisa otomatis menang kan?" Hikaru meyakinkan diri.

"Tapi aku tidak menyangka kau sampai menjerumuskan bocah bedah itu ke dalam penyakit mematikan."

Hikaru menghentikan gerakannya, langsung menoleh pada Takeru. Senyuman sinis ia tunjukkan.

"Bukankah kau juga berencana membuat Mayu terkena penyakit itu?"

Manik Takeru berkilat, menakutkan. Sunggingan kemenangan mendominasi wajahnya.

"Saat ini aku mengutamakan dulu tujuanku bekerja disini, dan tujuanku sangat berhubungan dengan operasi anak presiden itu. Jadi, tidak masalah."

Takeru bangkit berdiri dari duduknya kemudian melanjutkan kembali ucapannya.

"Lagipula, jika Mayu benar-benar terjangkit ebola nantinya, aku memiliki ini."

Takeru mengeluarkan sesuatu dari dalam jubah dokterya. Sebuah vaksin kah?

"Obat penawar ebola."

"K-kau-"

"Ya, aku satu-satunya tim medis yang tersisa dari misi pemusnahan ebola di Timur Tengah."

Dimasukkan kembali obat itu ke dalam sakunya, sunggingan senyum licik andalan Takeru keluar.

"Jadi setelah membuat Mayu tertular ebola dan dia didiskualifikasi dari kandidat tim operasi anak presiden, aku bisa langsung menyembuhkannya. Nah, bagaimana denganmu Hikaru? Aku yakin Yuri-san akan marah besar jika tahu kau yang membuat bocah bedah itu menangani pasien ebola disaat seharusnya ia istirahat."

Lihat selengkapnya