Love Scam

Suzash Gribisy Rabbani
Chapter #2

Memulai Investasi Itu

Memulai Investasi Itu


Aroma daging asap berpadu dengan uap kaldu mendidih itu membuat perut Markus berbunyi. Suasana riuh rendah—deretan meja dipenuhi obrolan, suara tertawa, dan denting peralatan makan yang berbenturan. Orang-orang yang datang ke tempat ini tampak sibuk memasak sendiri di depan panggangan, menaruh irisan tipis daging sapi di atas grill yang berdesis pelan, menghasilkan wangi asap yang menggoda selera.

Begitu juga Markus dan Calista. Markus duduk berhadapan dengan adiknya yang saat ini sibuk memasak kuah shabu-shabu. Perasaannya saat ini campur aduk, sama seperti kuah shabu-shabu yang terus diaduk itu. Calista dengan riang memasukkan berbagai jenis sayuran, jamur, bakso ikan, chikuwa, tahu, crabstick, udang, hingga daging sapi. Calista mengaduknya lagi agar kuah serta bumbu dapat meresap ke semua bahan itu. Di sisi lain, Markus mencoba untuk membolak-balik potongan daging sapi yang dipesan Calista. Ia mengulurkan penjapit ke arah muka Markus. Katanya,”Bagi tugas dong, masa Kakak cuma liatin doang!”  

Isi dari panci shabu-shabu di hadapan Calista sudah terlihat bergejolak. Kuah kaldunya mulai mendidih, mengeluarkan gelembung-gelembung kecil seiring sayuran, jamur, daging, serta isi lainnya perlahan-lahan berubah tekstur dan warnanya. Calista menyendok kuah shabu-shabu dan mencobanya sedikit. Matanya melebar begitu ia mencicipi kuah itu. Ia mengacungkan jempol ke arah Markus. 

Calista meminta Markus untuk mencoba kuah itu juga. Markus mengangguk tanda setuju. Kuahnya sudah sangat enak dan dagingnya sudah matang. Bisa segera mereka santap. Calista mengambil mangkok dan menuangkan hidangan shabu-shabu yang sudah matang. Ia juga menggeser mangkok itu ke arah Markus. Memintanya makan lebih dulu. 

Ini adalah makanan termewah yang disantap Markus setahun terakhir ini. Sejak pergi dari rumah orang tuanya, Markus harus menyesuaikan diri dengan semua hal yang tak lagi ia dapatkan. Tak ada lagi uang saku, kartu kredit, hingga kendaraan. Ia pun terpaksa harus kerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Markus memang sudah bertekad untuk tidak lagi menggunakan sepeser pun uang dari orang tuanya. Ini adalah ujung pertengkarannya dengan Papa. 

Seminggu sebelum Markus pergi dari rumah, Markus mengetahui bahwa Papanya membuka rekening atas namanya tanpa sepengetahuannya. Ia tak sengaja menerima paket-paket serta dokumen yang dikirimkan kurir ke rumahnya. Ia menemukan buku tabungan dan kartu debit atas namanya. 

“Papa pinjam namamu. Ada dana yang harus ditampung. Tidak mungkin pakai rekening Papa. Sementara saja. Papa akan tarik untuk beli tanah di dekat rumah nenekmu.”

“Ini uangnya dari mana lagi, Yah?” tanya Markus. Namun, Papa malah mengabaikannya, seolah itu bukan urusannya. 

Papa Markus seorang birokrat yang tugasnya mengurus dan mengeluarkan izin usaha. Markus sudah lama mencium ada yang tak beres dengan keuangan keluarga ini. Dulu sebelum Papanya naik pangkat, keluarga mereka sudah hidup baik. Tidak kaya raya, namun cukup untuk memenuhi kebutuhan sekolah Markus dan Calista, juga membiayai usaha jahit Mama. 

Namun, sejak Papa naik pangkat, Markus merasa semuanya too good to be true. Mereka langsung pindah ke rumah yang sangat bagus. Papa membeli mobil baru, bahkan menggunakan jasa sopir. Ketika Markus dan Calista masuk kuliah, mereka dibelikan masing-masing satu mobil untuk mobilisasi ke kampus. Usaha jahit Mamanya berkembang menjadi butik. Kini orang yang bekerja untuk orang tuanya bertambah banyak. 

Selama ini Markus berpikir, dengan gaji Papa sebagai birokrat, apakah mungkin taraf hidup mereka meningkat sepesat ini? Rupanya ada gula ada semut. Markus mulai menyadari bahwa ada aliran dana gelap yang masuk ke keuangan keluarganya. Pantas saja semua ini bisa dibeli oleh Papa.  Sejak saat itulah hubungan Markus dan Papa tak lagi hangat. Markus sering berdebat dengan Papa mengenai ini. 

Sebagai hasil perdebatan panas malam itu, tekad Markus sudah bulat untuk meninggalkan rumah dan segala fasilitas dari Papanya Bukan begini seharusnya hidupnya berjalan. Ia di kampus sering ikut gerakan mahasiswa yang memperjuangkan hidup masyarakat rentan. Tak elok rasanya ketika ia turun ke jalan dengan mereka yang terpinggirkan, tapi usai itu ia pulang ke rumah yang penuh fasilitas mewah yang mungkin bukan menjadi haknya. 

Tekadnya sudah bulat. Ia akan membayar sendiri biaya kuliahnya semester terakhir dan menyelesaikannya tanpa bantuan orang tuanya. Markus pergi dari rumah hanya membawa satu tas pakaian. Itu pun ia dipaksa oleh Mamanya yang berurai air mata. Mama diam-diam menyelipkan uang tunai dalam tasnya. Mama menuliskan, “Ini uang tabungan Mama, tidak ada hubungannya dengan Papamu. Pakailah untuk mencari tempat yang nyaman. Hubungi Mama sewaktu-waktu kamu kekurangan uang.”

Memang tak ada tempat senyaman di dekat Mama. Walau begitu, Markus sudah memutuskan untuk mengambil jarak sejauh yang ia bisa.


***


“Hai! Halo! Melamun, ya?” ujar Calista sambil melambaikan tangan di depan wajah Markus. Markus pun tersadar dari lamunannya. Suasana restoran ini makin lama makin ramai. Beberapa kali petugas bolak-balik membersihkan alat bekas makan tamu secepat kilat karena kursinya akan digunakan oleh tamu lain yang baru datang. 

“Mikirin apa sih? Nanti gosong tuh dagingnya!” ujar Calista lagi. Ia menyuapkan daging yang sudah matang ke mulut Markus yang masih sibuk memanggang. Wow. Rasanya sangat enak. Daging dan lemaknya seperti meleleh di mulut Markus. Calista senang melihat kakaknya menikmati makanan ini. 

Markus sama sekali belum pernah mentraktir adiknya makan. Bahkan untuk sekadar membelikannya nasi padang saja ia belum mampu. Kuliahnya masih berantakan. Ia pontang-panting mengatur jadwal antara kerja paruh waktu dan kuliah. Apalagi ketika dilanda pandemi. Ia memutar otak agar dapat bertahan hidup. 

Di sisi lain, Calista yang tetap tinggal bersama keluarganya sudah menyelesaikan kuliah lebih dulu dari Markus. Kini baru mulai bekerja. Ia memulai karirnya sebagai marketing di perusahaan terkemuka. Gaji Calista tentu tak seberapa dibanding uang jajan yang diberikan orang tuanya. Walau begitu Calista bertekad untuk berhasil dalam karirnya. Ia juga ingin bebas seperti Markus, namun belum berani untuk pergi dari rumah orang tuanya sekarang. Ia ingin menabung ketika sudah mulai bekerja. Baru setelah itu ia akan  mencari tempat tinggal ketika keuangannya sudah mulai stabil tanpa mengandalkan orang tuanya lagi. 

Maklum, sejak Markus pergi, Papa semakin protektif padanya. Setiap gerak-geriknya diawasi. Calista tak bebas melakukan apa pun yang ia mau sebelum menyelesaikan kuliah dan mendapatkan pekerjaan yang bagus. Papa baru mulai melonggarkan aturannya ketika Calista diterima kerja.

Pekerjaan Calista sebagai marketing memungkinkan ia mendulang bonus yang tinggi. Karena itu, ia memberanikan diri menghubungi kakaknya. Calista mencari tahu ke teman-teman Markus satu per satu sebelum akhirnya berhasil menemukan kakaknya yang bekerja sebagai barista di sebuah coffe truck. Markus tentu terkejut dengan kemunculan adiknya. Memastikan berkali-kali kalau Calista tak bermasalah dengan orang tua mereka. 

Calista tahu kalau ia mengajak Markus makan bersama ketika masih kuliah, Markus pasti menolak. Kini ia bisa bilang akan mentraktir Markus makan dengan gaji pertamanya. Tak ada sepeser pun uang Papa di situ. Barulah Markus setuju untuk pergi makan bersama Calista. 

“Ngomong-ngomong, Kakak tahu banyak nggak tentang kripto?” tanya Calista tiba-tiba. Pertanyaan yang tidak terduga. Markus tadinya menebak arah obrolan mereka hanya akan berputar tentang kabar Papa, Mama, pegawai di rumah, atau tentang saudara-saudara mereka yang sering menanyakan keadaannya. Maklum, sudah dua kali lebaran Markus tidak pulang ke rumah. 

Lihat selengkapnya