Putuskan yang Lama, Ganti yang baru
Alarm berbunyi berkali-kali dari ponsel Leoni. Namun ia tidak kunjung bergerak dari tempat tidurnya. Ia malah makin menarik selimutnya, berguling ke kiri, dan memeluk gulingnya. Tak heran kalau sang ibu berjalan tergopoh-gopoh dari dapur, masih dengan celemek dan aroma kuah soto yang menempel di sana. Tanpa ragu sedikit pun, ibu membanting pintu kamar anak gadisnya itu.
“Udah jam berapa ini? Alarm kamu itu dari tadi bunyi terus sampai tetangga bisa denger! Bangun!” gertak sang ibu sambil membuka gorden dari jendela kecil samping tempat tidur Leoni. Sinar matahari yang masuk membuat Leoni merasa silau dalam tidurnya. Namun ia tetap tidak bergeming.
Sang ibu keluar sebentar. Lalu kembali lagi dengan sapu ijuk di tangannya. Langkahnya terasa tak sabar. Ia melihat anaknya masih terbungkus selimut bagai kepompong yang enggan berkembang menjadi kupu-kupu. Sang ibu menghela napas panjang.
“Leoni Putri Harmoko, bangun! Ini udah jam sebelas siang!” teriak sang ibu. Kali ini sambil memukul-mukul meja menggunakan ujung meja hingga menimbulkan bunyi toktoktoktok!
Satu hal yang Leoni pelajari selama dibesarkan oleh ibu kandungnya di rumah ini. Ketika ibunya sudah mulai memanggilnya dengan nama lengkap, itu artinya keadaan mulai serius. Leoni langsung membuka matanya yang masih berat dan menyibakkan selimutnya. Dilihatnya sang ibu sudah berkacak pinggang memagang sapu ijuk. Leoni bangun.
“Bu, Leoni kan libur hari ini. Kemarin Leoni sampai rumah udah malem lho, capek banget abis rapat redaksi,” ujarnya sambil bangkit dari kasur. Ia mengambil kaca mata dan mulai menyisir rambutnya.
“Ibu kan minta kamu pulang bukan buat tidur,” ujar ibu yang kini sibuk menyapu lantai kamar Leoni yang tak kotor. Leoni pun heran. Kamar ini sudah jarang ia gunakan. Namun, ketika ia pulang tak ada sedikit pun debu yang menempel di lantai maupun perabotannya. Ibu pasti rajin membersihkan kamarnya setiap hari.
Sejak mulai bekerja, Leoni memutuskan untuk menyewa kos agar lebih dekat dari kantor. Jika ada tugas mendadak, Leoni bisa langsung menuju kantor tanpa harus menempuh jarak satu jam. Ia pulang ke rumah orang tuanya jika ada acara keluarga seperti arisan rutin keluarga besar Harmoko.
Leoni tak bisa lagi mencari alasan lain untuk tidak datang. Ia sudah menggunakan kesempatan untuk ‘membolos’ di bulan-bulan sebelumnya karena harus mengejar laporan tentang vaksin covid-19. Kartu absennya kini sudah habis. Ibunya memberikan ultimatum keras: kalau ia tidak datang arisan kali ini, ibu akan menjodohkannya dengan anak teman ayah. Tanpa babibu, Leoni langsung memutuskan untuk pulang setelah rapat redaksi selesai.
Leoni memang tidak pernah punya pacar sejak ia lahir 29 tahun yang lalu sampai saat ini. Ia santai-santai saja, namun ibulah yang cukup bawel tentang kisah percintaannya. Ibu rumah tangga itu khawatir bahwa anak perempuannya yang sudah menginjak kepala tiga itu akan jadi perawan tua.
“Ibu, ini udah abad dua puluh satu. Perempuan nggak harus berhubungan atau menikah untuk bisa punya kehidupan yang utuh,” ujar Leoni ketika sang ibu tetap memintanya untuk berkenalan dengan anak teman ayah.
“Ibu tuh cuma ingin kamu bahagia, Leoni. Ibu tentu senang melihat kamu menikmati karier dan hidupmu, tapi kadang ibu juga berpikir, mungkin kamu belum menemukan orang yang bisa berbagi kebahagiaan itu denganmu. Makanya, ibu pikir buat memperkenalkanmu ke seseorang. Lihat saja Oliviaia…”
“Mulai deh banding-bandingin aku sama Olivia,” sahut Leoni jengah. Ia kini sedang berada di dapur, membantu ibu menyuwir ayam untuk sajian soto lamongan. Hidangan itu adalah salah satu andalan ibu ketika menjamu tamu. Aroma rempah dari kuah soto membuat perut Leoni lapar. Ia melihat ibunya sedang sibuk membuat bubuk koya.
“Ibu nggak banding-bandingin kamu sama Olivia. Tapi Olivia sama kamu itu kelihatan beda banget auranya. Tiap ketemu ibu, Olivia selalu penuh senyum, ceria, kulitnya cerah… pokoknya sumringah banget! Mungkin karena dia sama Ferdi udah mau nikah,” jawab ibunya santai. Leoni memutar bola matanya. Nyengir.
“Olivia udah nggak sama Ferdi, Bu. Mereka udah putus karena Ferdi pindah praktik ke luar kota. Mereka nggak bisa LDR. Sekarang Olivia udah ganti pacar. Akuupa namanya siapa,”ujar Leoni. Ibu menghentikan aktivitasnya sejenak, menoleh ke arah Leoni. Jelas kaget mendengar berita baru itu. Ibu mengenal Olivia seperti ia mengenal anaknya sendiri. Mereka dulu bertetangga dengan orang tua Olivia. Mereka juga melahirkan pun di waktu yang sama. Bahkan, mereka menyekolahkan Leoni dan Olivia di sekolah yang sama sampai SMA.
Walau begitu keduanya, bisa sangat berbeda. Leoni dan Olivia memiliki hobi dan ketertarikan yang berbeda, sehingga mengambil jurusan yang bebeda juga. Begitu juga dengan pekerjaan mereka sekarang. Olivia bekerja dari jam delapan hingga jam lima sore, rutin dari Senin sampai Jumat, di dalam ruangan. Sedangkan Leoni bekerja dengan jam kerja yang tak tentu, selalu bekerja di luar ruangan, dan terkadang harus siap bekerja di Sabtu atau Minggu. Sang ibu berpikir, mungkin itu juga yang menyebabkan kesempatan Leoni untuk bisa pergi kencan sangat minim sekali. Leoni terlampau sibuk dengan karirnya sebagai jurnalis.
Leoni melanjutkan kalimatnya,”Lagipula, wajar dong kalau wajah Olivia cerah. Dia kan dokter kulit. Kerjanya di klinik kecantikan. Masa kulitnya kusem. Nanti pasiennya pada nggak mau perawatan sama dia.”
“Wartawan juga bisa kok punya kulit cerah. Tergantung orangnya, rajin atau enggak rawat diri,” ujar ibu menyindir anak semata wayangnya.
“Ah, ibu nih. Wartawan kerjanya tiap hari liputan, Bu. Panas-panas. Keringetan juga. Kalo tiap mau ngejar berita harus treatment dulu ya keburu kabur narasumbernya,” balas Leoni.
“Kulit cerah tuh bukan cuma karena treatment. Kulit otomatis jadi cerah kalo kamu punya pacar,” jawab ibu. Leoni mendengus pelan. Korelasinya di mana?
“Ayah denger-denger seru banget debatnya dari tadi. Ngomongin apa sih? Nanti nggak selesai lho masakannya kalau debat terus,” Ayah tiba-tiba sudah ada di dapur. Baik ibu atau Leoni tidak menyadari kehadiran ayah karena sibuk beradu mulut. Ayah menyimpan sekop dan pot bunga di gudang yang letaknya ada di samping dapur. Sejak pensiun, ayahnya memang sangat hobi memelihara tanaman.
“Itu lho anak kamu. Selalu ngeyel kalo suruh cari pacar,” jawab ibu sambil mengangkat panci dari atas kompor dan menggantinya dengan wajan besar berisi minyak goreng. Ibu cekatan mengeluarkan adonan mendoan dari dalam kulkas. Ayah dan Leoni saling lirik mendengar jawaban ibu.
“Ya, nggak papa. Selama masih bisa mengandalkan ayahmu, nggak usahlah punya pacar segala,” kata Ayah enteng. Leoni tertawa girang. Ia langsung memeluk ayahnya, walau belum mencuci tangan setelah menyuwiri ayam untuk soto. Ayah memang yang paling mengerti dirinya di dunia ini. Sebagai pensiunan dosen, ayah tentu memiliki pemikiran lebih terbuka tentang pernikahan.
“Hush! Gimana to ayah ini? Ayah tuh terlalu membela dia. Nanti gimana kalau anakmu itu makin nggak nikah-nikah?”