Love Scam

Suzash Gribisy Rabbani
Chapter #4

Operasi Jagal Babi Arman

Operasi Jagal Babi Arman

 

Ini sudah pukul sembilan malam. Namun, Arman memutuskan berjalan mengelilingi orang-orang yang masih bekerja menghadap layar komputer mereka. Ia sesekali berhenti, membetulkan letak kaca matanya sambil memandang lurus ke arah salah satu dari mereka. Ada satu orang yang duduk gemetar setiap Arman berhenti di belakang punggungnya. Wajahnya yang lonjong tampak kering dan matanya merah. Mungkin karena ia sudah duduk seharian di ruangan ber-AC ini. Kuku-kuku jarinya yang belum sempat dipotong seakan menempel pada tombol-tombol keyboard. 

Arman menepuk pundak karyawan berwajah lonjong itu. Tiba-tiba ia merasa telapak tangannya dingin. Ia menggerak-gerakkan mouse sembarang, tak tentu arah. Keningnya sudah dipenuhi bulir-bulir keringat yang entah dari mana datangnya. Arman membaca balon chat yang tampak di layar monitor milik laki-laki berwajah lonjong itu.

“Saya penasaran isi chat kamu,” ujar Arman. Tangannya mengisyaratkan agar pria berwajah lonjong itu segera berdiri dari kursinya. Arman menduduki kursi itu dan menggulirkan kursor ke monitor. Matanya tajam menyusuri dan membaca percakapan yang ada di hadapannya. 

“Apa ini? ‘Boleh kenalan nggak, rumahnya di mana, ada yang marah nggak kalau aku chat?’ Kamu pernah punya pacar nggak sih?” sembur Arman. Laki-laki berwajah lonjong itu menggeleng.

“Pernah deketin perempuan?” tanya Arman lagi. Yang ditanya masih menggeleng pelan. Berusaha keras untuk tidak terlihat gemetar. 

“Pantas saja chat kamu payah. Kaku!” ujar Arman. Mendengar itu, semua orang saling melirik. Tak bisa menebak apa yang akan terjadi. Pundak semua orang menjadi tegang.

“Apa tugas utama kamu di sini?” tanya Arman dengan suara beratnya yang terdengar ke seluruh ruangan. Laki-laki berwajah itu menjawab dengan bergumam. Membuat Arman mengernyitkan dahi dan menoleh ke arahnya, “Yang keras! Saya nggak bisa denger kamu ngomong apa!” 

”Tu… tugas utama kami… ngo.. ngobrol dengan orang, Pak,” laki-laki berwajah lonjong itu menjawab dengan takut-takut. Arman menyeringai mendengar jawabannnya. 

“Betul. Itu tugas utama kalian di sini. Lalu hal mendasar apa yang bisa membuat mereka akhirnya mau ngobrol sama orang asing? Mau ngobrol sama kamu?” Arman menodongkan jari telunjuknya ke arah laki-laki berwajah lonjong. Yang ditanya tak menjawab. Hanya menunduk. Menatap jari-jari kakinya yang terlihat lebih ramah daripada wajah bosnya.

“Hal dasar saja kamu nggak ngerti! Kamu serius bekerja atau tidak?” ujar Arman, suaranya meninggi. Duduknya tegak. Laki-laki berwajah lonjong itu tampak terbata, “Se..serius, Pak. Saya serius kerja.”

Arman memukul meja. Laki-laki berwajah lonjong itu terlonjak. Bulir-bulir keringat dinginnya mengalir dari kening ke leher. 

“Semua dengerin saya sekarang! Saya nggak akan ngomong dua kali. Kalo setelah saya ngomong kalian masih salah langkah, saya nggak akan segan-segan habisin kalian!” perintah Arman dengan suara keras. Ia bangkit dari duduknya. Pandangannya menyapu seluruh ruangan. Semua orang di ruangan itu segera melepas headset yang mereka pakai. Mereka juga melepaskan jari-jari mereka dari atas keyboard, menghentikan apa pun yang sedang mereka ketik. Mata mereka dengan cepat beralih dari monitor ke arah Arman yang sedang berjalan ke depan sebuah whiteboard. Ia mengetuk tiga kali whiteboard itu, meminta perhatian semua orang. 

“Kita nggak ada yang santai di sini. Semua orang sedang menjalankan misi. Ada yang tahu nama misi kita?” tanya Arman. Seluruh ruangan itu diam. Di benak mereka tak ada yang berani menjawab. Lebih baik diam daripada salah menjawab. 

“Misi kita adalah misi jagal babi,” ujar Arman. Kalimatnya tegas tak terpotong sedikit pun. Intonasinya jelas menusuk telinga semua orang di sana. Walau penampilan Arman selalu terlihat rapi, bersih, dan penuh senyum, mereka tak menampik bahwa bosnya memiliki kilat mata seperti sebilah pisau. Gosip-gosip yang mereka dengar selama ini membuat bulu kuduk mereka berdiri. 

Mereka mendengar gosip bahwa siapapun yang memasuki kantor ini dan mulai bekerja untuk Arman, tak akan bisa sembarangan keluar. Arman tak akan memecatmu, namun ia juga tak akan membiarkanmu mencari pekerjaan lain. Pilihannya hanya dua, menyesuaikan diri sesuai dengan harapan Arman atau Arman akan menghabisimu. Salah satu rekan mereka pernah membuat Arman marah karena sempat mengadukan ini ke dinas ketanagakerjaan. Sehari kemudian, orang itu tak ada di kantor. Mereka mencuri dengar percakapan Arman dengan Cakra, salah satu tangan kanannya. Kabarnya, orang tersebut dikirim ke Kamboja dan tak akan pernah kembali lagi.

Mereka tadinya mendaftar pekerjaan ini sebagai admin. Seleksinya normal sewajarnya perusahaan yang merekrut karyawan. Namun, Arman dan kawan-kawan akan merekrut orang-orang yang paling putus asa. Hanya mereka yang tak terpaksa mencari uanglah yang mereka terima. Arman memilih orang-orang dengan keadaan ekonomi paling menyedihkan pasca pandemi. Di mata Arman, orang-orang seperti itu tak punya pilihan selain menerima tawaran pekerjaan ini—walau akhirnya apa yang mereka kerjakan tak sesuai ekspektasi. Ya, mereka terpaksa melakukan misi jagal babi.

“Anggap kita sedang mengelola peternakan. Saya investornya. Saras dan Roy yang cari babinya. Mereka akan pilih babi yang paling murah sampai paling mahal. Keadaan babi itu macam-macam. Ada yang kurus, ada yang memang sudah gemuk. Begitu udah dibeli, babi-babi itu akan dioper ke kalian buat dipelihara,” jelas Arman. Matanya menatap satu-satu karyawannya. Sampailah matanya ke laki-laki berwajah lonjong itu. Lututnya bergetar karena Arman kini tengah berjalan menghampirinya. 

“Ketika babi-babi itu dioper sudah dioper ke kalian, harusnya kalian melihara mereka dengan baik! Bukan asal-asalan! Ngerti?” 

Duk! 

“Au! Am… ampun. Nge… ngerti, bos!” laki-laki berwajah lonjong itu berteriak kesakitan. Arman menendang kakinya. Kini Arman meraih kerahnya dengan geram. Laki-laki berwajah lonjong itu berusaha menahan diri agar tidak terlihat ketakutan. 

“Kamu tahu caranya melihara babi?” tanya Arman, suaranya mulai geram.

“Ta.. tau bos. Mmm, ki… kita harus kasih pujian, kirim kata-kata yang menghibur, kasih rasa nyaman dan pengertian, kasih kepercayaan…”

“Ternyata kamu tahu? Lalu kenapa chatmu kaku banget? Kerjaan utama kamu hanya kasih babi-babi ini afeksi. Kalo kamu nggak bisa buat apa kamu di sini?” sembur Arman, memotong kalimat laki-laki berwajah lonjong itu. Semua orang melihat pemandangan itu dengan tatapan nanar. Apakah nasib laki-laki berwajah lonjong ini akan berakhir di tangan Arman?

Arman melepaskan kerah baju laki-laki berwajah lonjong itu yang kemudian terlihat lega. Ia merasa darah dapat mengalir lancar ke seluruh tubuhnya, setelah tadinya tersumbat rasa gugup hingga pucat. 

“Satu hal yang perlu kalian ingat,” ujar Arman melanjutkan penjelasannya, “...satu babi itu modalnya tidak sedikit. Kalian harus pastikan bisa benar-benar merawat mereka dengan baik sebelum akhirnya bisa kita potong.”


***


“Kayaknya nggak perlu segalak itu sama mereka, Mas,” ujar Saras, tepat setelah Arman masuk ke ruang meeting mereka. Arman mengembuskan napas, menggelengkan kepalanya. 

“Aku cuman mau mereka tahu persis fungsi mereka di sini. Jangan hanya basa-basi dan buang-buang waktu. Target bakal lari kalo gitu caranya. Kita yang bakal rugi.” jawab Arman tegas.

Lihat selengkapnya