Mimpi Buruk Mateo
Di tengah ruangan berkabut itu, Mateo berdiri. Menatap lurus ke arah dinding dengan pigura tertutup kain putih menggantung ganjil. Mateo mundur satu langkah. Berhati-hati melihat-lihat sekeliling yang tampaknya tak asing, tapi ia tak bisa mengingat tempat apa ini. Ia tak mengenalinya, tapi juga merasa sangat familiar dengan sudut-sudutnya. Mateo menyentuh kabinet kayu yang permukaannya sangat halus. Mencium bunga palsu yang ada di vas kaca yang sepertinya dipesan khusus untuk jadi penghias ruangan ini. Kakinya merasakan lembutnya karpet bulu kemudian duduk sofa berbahan polyester yang mudah untuk didaur ulang jika sudah bosan digunakan.
Dada Mateo tiba-tiba terasa sesak. Wangi ruangan ini seperti menuusk hidungnya. Cahaya lampu juga menusuk pandangan matanya. Mateo menelan ludahnya kuat-kuat. Semua ini sangat-sangat akrab dengan seluruh indranya. Bahkan hidungnya sangat mengenali aroma cat beige yang masih basah ini, seakan ia mencampurnya sendiri sebelum menempelkannya ke tembok rata itu. Satu-satunya yang berbeda adalah beberapa foto yang tergantung di dinding sudah tercabik-cabik. Tubuh Mateo gemetar. Ia bangkit. Berlari ke arah pintu yang tertutup rapat. Mencoba membukanya berkali-kali. Namun pintu tak bergeming dan tak mendengar suara nafas beradu dengan kecemasan dari wajah Mateo—seolah ada yang mengejarnya.
Semua rasa tak nyaman, tegang, takut, dan rasa sakit menjadi satu bergumul di dalam tubuh Mateo. Semua perasaan yang tak ingin ia ingat-ingat seumur hidupnya tiba-tiba datang tanpa diundang. Begitu juga dengan tempat yang sangat ingin ia lenyapkan ini. Ia tak mengerti mengapa ia bisa berada di sini lagi. Tempat ini mampu menyakitinya berkali-kali lipat. Ia tak ingin berada di sana. Ia ingin pergi dari sana. Ia berlari mencari pintu keluar. Berlari. Terus berlari. Entah mengapa ruangan ini menjadi sangat luas, lebih luas, sangat luas. Mateo merasakan nafasnya pendek, lututnya tak bisia bergerak lagi. Ia terjatuh.
***
“Mat! Mat! Mateo!”
Roy membuka pintu kamar Mateo dan berdiri di sana. Mateo merasakan keringatnya mengucur di leher dan seluruh punggungnya. Membuat kaos lengan pendeknya basah keringat. Pening di kepalanya juga terasa menusuk, seperti mau pecah saat itu juga. Mateo menelan ludah. Meraih botol minum di samping tempat tidurnya. Menegak habis air putih sampai tetes terakhir. Begitu zat mineral mengalir di tubuhnya, Mateo baru bisa mengatur nafas.
“Kamu kenapa sih? Sakit?” tanya Roy, masih berdiri dari pintu kamar. Mateo menggeleng. Roy dan Mateo memang tinggal di kantor ini. Kamar mereka ada di rumah depan, sementara kantor ada di rumah bagian belakang yang tidak sembarang orang bisa masuk sana. Rumah bagian belakang ditinggali Cakra dan timnya. Cakra mengawasi tim A dan tim B agar tidak bisa keluar dari rumah itu walau seluruh bagian rumah belakang sudah dilengkapi dengan sistem keamanan yang cukup ketat. Jika ada tim admin yang mencoba kabur, Arman akan tahu. Mereka bisa tidak selamat jika itu terjadi.
“Dicari bos Arman tuh di Markas Koinova,” ujar Roy lagi. Koinova adalah sebutan untuk markas mereka. Beberapa aplikasi dan situs mereka kembangkan juga memiliki nama yang sama. “Kamu serius nggak papa? Mukamu pucat banget, kayak orang kurang darah.”
“Lupa ya kalo aku sebenernya vampir?” ujar Mateo. Ia menyingkap selimutnya dan bangkit dari tempat tidurnya. Dengan malas, ia mengambil handuk yang tergantung di dekat jendela balkon.
“Dih, situ merasa jadi Edward Cullen, ya? Dasar sok ganteng!” sembur Roy setelah mendengar jawaban Mateo. Ia menyeringai, mengeluarkan suara cih pelan, kemudian meninggalkan kamar Mateo dengan kaki diseret. Roy berjalan sambil memainkan nintendo yang dibawanya ke mana-mana. Mateo hanya berharap Roy tidak tersandung akibat matanya yang tak memperhatikan jalan kembali ke ruangannya.
Mateo mengguyur seluruh tubuhnya dengan shower air hangat. Merasakan suhu dari setiap alirannya dari ujung kepala, turun ke leher, badan, hingga sampai ke telapak kakinya. Ia merasa sedikit rileks. Mimpi dalam tidurnya selalu seperti itu. Menyesakkan dadanya dan mencekat seluruh rongga pernapasannya. Bayangan sebuah rumah dengan sebuah ruangan penuh pigura dan perabotan itu lebih menakutkan rasanya daripada mimpi dikejar seribu zombi.
Sudah lama Mateo tidak memimpikannya. Entah kenapa mimpi itu datang lagi. Sejak musim hujan bertahun-tahun lalu, ia mencoba melupakan kenangan pahitnya. Namun, bayangan rumah itu selalu menghantuinya.
***
Bertahun-tahun yang lalu, Mateo mengagumi sepasang mata indah milik gadis cantik yang selalu dikenal sebagai relawan sampah di sekolahnya. Kadang gadis itu berpatroli keliling sekolah untuk menghardik murid-murid yang membuang sampah sembarangan. Kadang ia melihatnya bersama guru biologi memilah sampah organik dan organik, lalu mereka jadikan bahan belajar di green house sekolah mereka. Kadang ia juga mengamati gadis itu ketika ada di perpustakaan. Ia lebih suka membaca ensiklopedi hama daripada buku-buku teenlit remaja. Mateo butuh waktu tiga tahun untuk bisa mendekatinya.
Mateo ingat saat sore hari setelah bertanding basket melawan sekolah lain, ia melihat gadis itu ada di green house sedang memilah sampah botol.
“Hai. Boleh titip?” ujar Mateo, mengulurkan botol plastik kemasan yang isinya sudah habis diteguknya tadi. Gadis itu mendongak, menyipitkan matanya. Lalu meraih botol kosong dari tangan Mateo. Perhatiannya kembali pada botol-botol plastik yang tengah ia pisahkan label, tutup dan badan botolnya. Silau dari matahari yang akan tenggelam di sisi barat mendarat sempurna di kepalanya, membuatnya mengernyit. Mateo inisiatif menghalau cahaya matahari itu agar tak gadis itu bisa memilah botol plastik tanpa merasa silau.
“Ada lagi yang bisa dibantu?” tanya gadis itu ketika menyadari Mateo belum beranjak dari tempatnya beridiri. Mateo langsung menyambut kesempatan baik itu. Hanya saat itulah Mateo berkesempatan untuk berkenalan dengan gadis itu. Ia tidak punya kesempatan lain selain itu. Mereka sudah kelas tiga. Gadis itu akan sibuk dengan les dan rentetan uji coba Ujian Nasional.
Bukan. Mateo bukan ingin tahu namanya. Jelas seluruh sekolah sudah tahu nama gadis yang sering patroli sampah ini. Mateo ingin kenal lebih dekat. Ia ingin tahu kegemaran lain gadis itu selain membaca ensiklopedi hama dan memilah sampah plastik. Ia ingin tahu makanan kantin apa yang lebih ia suka: soto ayam atau nasi kuning. Ia ingin tahu apakah gadis itu juga muak pada matematika seperti dirinya. Ia ingin tahu bagaimana bisa gadis itu memiliki mata yang memikat. Terpenting, ia juga ingin tahu, apakah ia punya kesempatan menjadi kekasihnya.
Beberapa bulan setelah perkenalan di green house sekolah, Mateo masih suka tertawa kecil. Ia tak percaya bahwa ia bisa menaklukan gadis bermata indah itu. Di antara murid laki-laki yang jago basket atau jadi pentolan organisasi, gadis itu memilih jatuh cinta padanya yang hanya murid biasa. Umumnya, pasangan cinta monyet di SMA akan putus ketika waktu ujian tiba. Namun, tidak dengan dua sejoli itu. Mateo menyatakan perasaannya tepat sehari sebelum Ujian Nasional. Hubungan mereka berlanjut hingga enam tahun kemudian.
Mateo tentu ingin menikahi gadis itu. Mateo bekerja keras setelah lulus kuliah untuk mengumpulkan pundi-pundi agar pernikahan impian kekasihnya itu bisa ia wujudkan. Mateo juga menyurvei rumah demi rumah—mencocokkan harganya dengan angka di tabungannya. Ia dan gadis itu memilih salah satu rumah dengan ruang keluarga yang lega. Mereka sesekali pergi ke toko perabotan untuk melihat-lihat harga sofa, kabinet, karpet, dan segala hal yang diperlukan untuk mengisi rumah baru mereka.
Rumah itu memiliki taman kecil di belakang rumah yang bisa digunakan untuk bercocok tanam hortikultura. Gadisnya itu ingin memetik sayur mayur sendiri untuk memasak, tak perlu beli karena ia bisa menanam sendiri. Tentu Mateo senang mewujudkannya. Mateo yang memiliki hobi foto berencana menempelkan foto-foto calon istrinya itu di dinding ruang tengah mereka. Ia akan memilih foto-foto paling cantik—walau ternyata sulit. Calon istrinya itu selalu cantik di matanya.
Namun, seluruh kenangan itu malah jadi mimpi buruk bagi Mateo sekarang.
***