Love Scam

Suzash Gribisy Rabbani
Chapter #8

Leoni Penuh Curiga

Leoni Penuh Curiga


Selama pandemi, semua orang berjuang menekan penyebaran virus covid-19 dengan tetap berada di rumah. Rumah yang tadinya hanya menjadi tempat singgah dari aktivitas sehari-hari, mulai menjadi cangkang yang menaungi mereka sehari-hari. Namun bagi sebagian perempuan, ternyata rumah bukan merupakan tempat yang aman. Terkungkung bersama anggota keluarga setiap hari bukan hanya membuat satu sama lain saling ramah, namun juga saling marah.

Kerentanan perempuan terhadap kekerasan, terutama KDRT, meningkat dalam masa pandemi COVID-19, dibuktikan dengan melonjaknya laporan kekerasan terhadap perempuan pada medio Maret - April di sejumlah daerah di Indonesia.


***

                                                                    

Saras tampak serius membaca laporan utama Sorot Media bulan itu. Laporan panjang yang, anehnya, tak membuatnya bosan ketika membacanya. Saras bahkan membaca ulang beberapa kali laporan itu. Ia mencoba memahaminya kata demi kata, tak ingin melewatkannya barang satu huruf pun. Ia tersenyum tipis begitu membaca nama reporter yang tercantum di sana: Leoni Putri Harmoko.

Hasil liputan dari kerja keras Leoni sampai larut malam itu terangkum dengan baik dan runtut. Saras menjadi saksi mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk menemani Leoni menulis laporan panjang itu. Mereka berpindah dari toko dessert yang ternyata harus tutup tepat satu jam setelah mereka tiba ke salah satu minimarket karena ingin mengisi perut dengan onigiri dan minuman kaleng. Kemudian mereka pergi ke restoran cepat saji yang buka 24 jam. 

Saras suka melihat Leoni bolak-balik mendengarkan rekaman wawancara sambil membuat catatan-catatan kecil sebelum memindahkannya ke halaman laporan. Ia juga menyukai celetukan-celetukan ringan yang Leoni keluarkan sebagai komentar atas pendapat-pendapat unik dari narasumbernya.  Percakapan mereka mengalir seperti teman yang sudah kenal lama.

“Aku sebenarnya dulu juga suka baca,” ujar Saras malam itu ketika ia menemani Leoni mengerjakan laporannya.

“Dulu?” Leoni menanggapi. 

“Iya. Sebelum aku pindah kota ke sini.” 

“Oh kamu asli dari mana?”

“Sebuah desa yang ada di Jawa Tengah,” ujar Saras. Tak banyak tahu nama desanya. Ia kadang harus menjelaskan panjang lebar letak desa tempat tinggalnya dulu. Walau pun sebenarnya desanya tak terlalu terpencil. Namun, dengan Leoni, Saras menjelaskan secara singkat nama dan letak desanya. 

“Dulu di sekolah suka ada perpustakaan keliling. Zaman itu udah keren banget kalau sekolah kamu dikunjungi perpusling,” kenang Saras. Leoni menyimak ceritanya dengan seksama. 

“Cuma mungkin karena cuma aku sama beberapa temen aja yang antusias baca, perpusling itu jarang dateng lagi. Sepi soalnya. Kalah pamor sama pertunjukan sabung ayam,” ujar Saras lagi.

“Terus sekarang kamu masih suka baca nggak?” tanya Leoni.

“Sedikit. Mungkin kamu ada rekomendasi buku yang bisa aku baca. Sekarang aku lumayan punya uang dari jaga Coffee Truck, jadi mungkin bisa beli sendiri nanti,” ujar Saras. 

“Kalau nggak mau beli, aku bisa pinjemin kamu. Nanti kapan-kapan main ke tempatku,” ujar Leoni. Saras mengangguk. 

Leoni adalah sosok impiannya dulu. Bisa kerja di kantor majalah, malam-malam mengejar deadline, pergi liputan, dan wawancara dengan narasumber… semua itu pernah jadi impiannya. Namun, setelah banyak hal yang terjadi di rumahnya, ia megubur mimpi itu rapat-rapat. 

Begitu pulang dari menemani Leoni, Saras jadi teringat dengan rumah yang sudah lama ia tinggalkan.


***


Saras masih ingat betul bahwa kehadirannya di rumah itu seperti orang yang tak diinginkan. Berbeda dengan adik laki-lakinya yang bisa bersikap seperti penguasa di rumah itu. Ia tak punya pekerjaan, hobi menghabiskan uang entah untuk apa, pulang selalu larut malam setelah kelayapan, dan tak mau membantu pekerjaan rumah. Pernah suatu hari, adik laki-lakinya ditangkap petugas keamanan karena melakukan tawuran. Saras sangat marah. Adiknya bukan anak SMA lagi yang pantas tawuran. Namun tetap saja, ibunya membela anak itu mati-matian. Katanya, “Namanya juga laki-laki. Wajar.”

Namun beda halnya ketika Saras yang ditangkap karena memukuli laki-laki hidung belang di gang depan rumahnya. Ibunya marah besar. “Ya kamu juga seharusnya perhatikan diri kalau keluar rumah! Kalau kamu pakai baju panjang dan tertutup, mereka nggak akan begitu!” 

Itulah salah satu alasan Saras akhirnya pergi dari sana. Perlakuan yang tidak adil di rumahnya membuatnya muak. Ketika pindah ke kota ini, Saras benar-benar tidak tahu harus ke mana. Ia tidak punya pekerjaan dan tidak punya tempat tinggal. Dengan uang tabungannya yang hanya sedikit, ia menyewa kamar kos yang cukup murah. Tanpa kasur dan tanpa kipas angin. Hanya tidur dengan alas karpet yang dipinjam dari pemilik kos. Tapi baginya itu lebih baik daripada tidur di jalanan. 

Saras yakin banyak kesempatan kerja di kota ini. Karena itulah ia membuka iklan lowongan kerja di sosial media. Ia menemukan salah satu iklan lowongan kerja yang persyaratannya gampang. Hanya perlu kirim CV dan foto terbaru. Tak ada kualifikasi pendidikan. Tak ada persyaratan keahlian. Hanya perlu niat bekerja dan mau dilatih katanya. Tanpa ragu, Saras mengirimkan CV dan fotonya ke email yang tercantum. 

Seperti mendapat keajaiban, esok harinya Saras langsung dipanggil untuk wawancara.  Namun begitu sampai di tempat wawancara, Saras langsung melarikan diri. Baru saja masuk ke ruangan untuk menunggu giliran, ia sudah mendengar kasak-kusuk bahwa mereka diminta membayar sejumlah uang agar diterima. Saras lalu menerobos petugas yang berbadan besar-besar untuk lari sejauh yang dia bisa. Napasnya tersengal-sengal karena merasa dikejar-kejar oleh sindikat loker bodong itu. 

Saat itulah ia bertemu dengan Arman. Arman melihatnya berlari susah payah melintasi trotoar yang dipadati pedagang kaki lima. Rupanya Arman tahu bahwa Saras adalah salah satu orang yang kabur dari wawancara kerja bohongan. Arman menawarinya untuk mengantar Saras ke halte bus yang agak jauh dari sana agar tidak terkejar oleh sindikat lowongan kerja  bodong itu. Saras yang sudah capek berlari pun menerima pertolongan Arman.

Saras lega ketika Arman benar-benar menurunkannya di halte bus. Jujur, ia sempat panik jika Arman sebenarnya adalah salah satu dari komplotan itu atau mungkin penipu lain yang lebih parah. Ia sudah berpikir untuk turun dari motor besar Arman begitu sampai di lampu merah. Namun, ternyata itu tidak terjadi. Sesampainya di halte, Arman memberikan semacam kartu nama. 

“Kalau kamu butuh pekerjaan, kamu bisa masukin lamaran dan CV kamu ke nomor ini. Kebetulan saya sedang cari kru untuk jualan kopi. Kamu bisa daftar kalau tertarik,” ujar Arman sebelum berlalu.

Begitulah Saras akhirnya bisa duduk di ruangan ini.


***


Hati Saras mendadak bergejolak senang ketika melihat unggahan terbaru Leoni di story instagram tentang liputan terbarunya. Leoni tak pernah memposting apa-apa tentang kehidupannya. Karena itu begitu Leoni mengunggah sesuatu, Saras ingin memberikan respon. Namun, kalimat yang sudah diketiknya panjang-panjang ia hapus lagi. Entah mengapa rasanya Saras kehilangan keterampilan menulisnya kali ini. Akhirnya ia hanya mengirim komentar singkat: Liputannya bagus banget. 

Padahal sebenarnya Saras ingin mengirim ucapan apresiasi yang sangat panjang karena liputan yang ditulis Leoni sudah terbit dengan sangat bagus. Namun ia ragu-ragu. Bagaimana jika Leoni menganggapnya aneh? Menulis liputan kan memang pekerjaannya sehari-hari. Leoni pasti sudah biasa mengerjakan laporan-laporan eksklusif lain yang tak kalah bagus. Bagaimana jika pujiannya ternyata tak diperlukan? Dan benar saja. Pesan itu tak dibalas lebih dari seminggu.

Oleh karena itu, Saras kaget ketika hari itu ponselnya berbunyi. Ada notifikasi masuk. Terpampang balasan dari Leoni atas pesannya seminggu yang lalu: Thank you ya udah baca liputannya! Hari ini Coffee Truck buka kan? Nanti aku mampir, ya.

Saras ingin melonjak dari kursi saking senangnya. Ia buru-buru membuka kembali laptopnya. Tangannya gesit mengecek beberapa dokumen sebelum dikirim ke Cakra untuk dikerjakan. Setelah itu ia mengirim pesan pada Roy untuk memantau sosial media Mateo. Baru setelah itu ia bisa melesat keluar dari ruang kerjanya. Ia ingin secara langsung mengucapkan apresiasinya terhadap liputan Leoni. Saras tidak ingat kapan terakhir kali ia merasa semangat seperti ini. Ia membawa satu kotak serbuk teh chamomile bersamanya hari itu.

Saras sampai menawarkan diri untuk membantu Anton, barista baru yang direkrutnya karena Markus harus cuti beberapa minggu untuk urusan keluarga. Anton yang masih baru tentu senang karena atasannya mau turun tangan untuk membantunya di saat pesanan sedang ramai. Tadi ia hampir menangis karena pelanggan terus datang dan ia belum sempat makan siang. Saras datang seperti dewi penolong. Saras menyuruh Anton meluruskan punggungnya dan makan. Saras akan mengambil alih pesanan selagi Anton mengambil waktu istirahatnya. 

Saras tidak tahu persis kapan Leoni akan muncul dengan tumblr pribadinya itu. Ia juga tak ingin menanyakannya. Saras menggumamkan lagu-lagu indah yang terlintas di kepalanya. Dari waktu ke waktu, sampai tak terasa matahari mulai tenggelam. Anton datang untuk melakukan rekap pesanan yang banyak sekali terjual hari itu. Saras melebarkan pandangan ke segala penjuru arah. Tak dilihatnya jurnalis yang ditunggunya sedari tadi.

“Boleh aku beresin sekarang ya, Mbak?” tanya Anton yang sepertinya tak sabar ingin pulang. Saras mengiyakan. Mereka membereskan mesin-mesin kopi, banner, cup, dan bahan-bahan lainnya. Mereka mengepaknya dengan rapi agar bisa dibongkar dengan mudah keesokan hari ketika mereka buka lagi. Anton mengelap setiap permukaan mobil VW itu sampai bersih. Tapi Leoni tak kunjung datang. 

Saras membuka ponselnya. Ternyata pesan dari Leoni sejam yang lalu belum ia baca. Saras membuka pesan itu dan hatinya mencelos begitu saja. Leoni bilang ia tak bisa datang sore itu karena tiba-tiba harus menemui orang lain. Leoni menyelipkan permintaan maafnya, namun tak bilang kapan ia akan datang lagi ke Coffee Truck. Saras mematung beberapa waktu. Perubahan mood ini disadari dengan cepat oleh Anton. Sebelum atmosfernya memberikan efek ke dirinya, Anton bersama satu karyawan lain meminta diri untuk pergi lebih dulu. Sebelum pulang, mereka masih harus mengembalikan mobil tersebut ke garasi milik Arman dan memasukkan rekap harian ke sana. 

Saras menolak tawaran baristanya untuk pergi bersama mereka usai menutup Coffee Truck. Ia memilih berjalan menyusuri trotoar panjang sebelum kembali ke markas. Membiarkan angin malam menerpa wajahnya. Menyadarkan diri kenapa ia harus merasa kecewa hanya karena satu pelanggannya tidak jadi singgah. Bukankah wajar Leoni harus memprioritaskan pekerjaannya? Bukankah wajar bahwa pelanggannya itu lebih mengutamakan narasumbernya daripada mengantre panjang di sebuah Coffee Truck untuk segelas ice americano yang bisa didapatnya dengan mudah di tempat lain?

Langkahnya berbelok ke kafe dessert tepi jalan yang pernah ia singgahi bersama Leoni. Sepotong donat gula dan coklat panas mungkin akan memperbaiki suasana hatinya yang semakin malam semakin kalut. 

Lihat selengkapnya