Setelah Pertengkaran Hebat
Saras memasuki kafe itu. Deretan donat, kue keju, brownis, dan berbagai makanan manis lainnya tak menarik lagi baginya. Mata Saras langsung tertuju ke arah bangku tempat Leoni duduk. Namun, Saras tak langsung menghampiri. Ia lebih memilih duduk di tempat yang agak jauh dari sana dan hanya bisa mengamati punggung Leoni dari jauh.
Ponselnya bergetar. Mungkin ada pesan dari Roy. Atau mungkin Mateo. Atau bahkan dari Arman. Mungkin saja bosnya itu sudah mendengar kejadian hari ini. Tapi Saras ingin mengabaikan mereka dulu. Pandangannya tak lepas dari pungung yang terlihat bersandar kaku di sandaran bangku kafe ini.
Leoni tidak terlihat marah atau menangis setelah sahabatnya pergi. Ia harus menghadapi kenyataan bahwa sahabatnya itu lebih memilih pergi dan tidak mempercayainya. Dia hanya menatap gelas kosong di depannya. Begitu ia tiba dari toilet tadi, Olivia sudah pergi. Begitu juga dengan Mateo. Ia menarik rambutnya ke belakang, mengikatnya dengan jedai yang terjepit di antara bajunya. Leoni memasukkan kembali laptop ke dalam tasnya. Tak memedulikan tatapan orang-orang di sekelilingnya yang kasak-kusuk. Tentu saja mereka membicarakan kejadian yang dialaminya tadi dengan bisik-bisik dibalik punggungnya.
Walau begitu, Leoni tetap merasa gundah. Ia tak tahu apakah hatinya gundah karena sahabatnya begitu kasmaran dengan laki-laki itu hingga tak mempercayainya, atau dia gundah karena ada sesuatu yang lebih besar dari itu. Perkataan Olivia tadi terus terngiang di pikirannya. Ia memikirkan tentang semua tindakannya selama ini pada Olivia. Perkataan Olivia yang menuding bahwa ia selalu bersikap seperti wartawan, bukan sebagai teman, terlalu menohoknya.
Leoni tak tahan. Bagaimana pun itu perkataan Olivia membuat dadanya panas sehingga ia merasa hatinya bisa melepuh. Leoni kembali duduk perlahan.
Saras masih ragu apakah ia harus menghampirinya atau membiarkannya sendiri di sana. Namun tampaknya punggung yang tampak tegak itu ternyata layu juga. Saat itulah Saras menghampirinya.
“Leoni,” ujar Saras, menepuk pelan bahunya. Leoni menoleh. Matanya merah. Terlihat air mata mengambang di kelopak matanya. Jelas sekali Leoni menahan diri agar tak menangis di sana.
“You okay?”
Air mata itu tumpah begitu saja ketika tangan Saras memeluknya. Tangannya mengusap pelan punggung Leoni untuk menenangkannya. Ia tadi hanya bisa memperhatikan dari luar dan menebak-nebak bagaimana mereka bisa bertemu di tempat itu. Dari segala skenario, Saras tentu tak menyangka bahwa Leoni mempunyai relasi dekat dengan salah satu targetnya.
Lutut Saras tentu lemas ketika itu. Ia baru saja bertemu dengan orang yang dapat memahami obrolannya, pola pikirnya, dan opini-opininya mengenai hidup yang tak biasa—namun sudah senyaman ini rasanya. Lucu juga rasanya Saras dapat menyimpulkan demikian. Ia dan Leoni baru sekali menghabiskan waktu bersama-sama di pertemuan pertama mereka. Namun percakapan mereka berlangsung panjang sekali malam itu. Saras tak bisa melupakan setiap detail pembicaraan mereka. Mulai dari hal-hal paling prinsip seperti perpolitikan dan hukum, hingga hal-hal personal seperti zodiak dan MBTI. Semua terekam rapi di benaknya seperti sebuah jurnal di buku harian.
Sungguh ironis jika Leoni tahu bahwa teman baru yang menemaninya bertukar pikiran mengenai emansipasi dan kesetaraan gender malam itu adalah salah satu pelaku yang bekerja untuk menipu dan menyakiti perempuan. Tenggorokan Saras tercekat. Ia menelan ludah yang rasanya sungguh pahit. Semua makanan di sini mungkin tidak dapat membuatnya menjadi manis.
Leoni melepaskan diri dari pelukan Saras. Ia menyeka air matanya dengan tisu. Wajahnya memerah. Saras mengulurkan air mineral yang baru saja diambilnya dari meja kasir.
“Kamu ngapain ke sini?” tanya Leoni, ia menerima air mineral dari Saras.
“Aku baru pulang dari Coffee Truck. Iseng pengen coklat. Makanya ke sini,” ujar Saras. Ia tak berani menatap langsung mata Leoni. Ia hanya memandang meja di depannya. Tiga minuman di sana benar-benar belum habis. Kue keju itu baru dimakan sepotong. Mateo dan Olivia benar-benar meninggalkan meja ini tanpa babibu. Termasuk meninggalkan Leoni di sini sendiri.
“Maaf ya, I couldnt make it,” ujar Leoni. “Coffe Truck…”
“Ah, itu. Nggak papa,” jawab Saras. Ia bahkan sudah lupa bahwa ia tadinya ke sini karena kecewa Leoni membatalkan janjinya. Sekarang itu sudah tak penting lagi.
Leoni menegak air mineral pemberian Saras. Pertengkaran dengan Olivia tadi membuatnya kehilangan banyak energi. Saras hanya diam di tempatnya. Hanya satu suara yang keluar pelan dari mulut Leoni,”Memangnya salah ya, kalau kita cuma pengen melindungi orang yang kita sayang?”
Saras tak bisa menjawab.
“Olivia, kalau udah sayang sama orang memang begitu. Suka bucin. Aku cuma nggak mau dia kenapa-kenapa.” ujar Leoni.
“She’ll be okay.” Saras berkata lirih. Ia merasa sangat-sangat bersalah. Saras jelas tahu bahwa Olivia tidak akan baik-baik saja. Ke depannya Olivia akan banyak kehilangan jika menggantungkan hatinya terlalu banyak pada Mateo.
“Aku nggak bisa maafin diri sendiri kalau sampai Oliv kenapa-kenapa,” ucapnya lagi. Saras menepuk pelan punggungnya pelan. Tak ada lagi yang ingin dikatakannya.
Demi apa pun, Saras juga ingin melindunginya—melindungi Leoni. Namun, ia tak tahu caranya jika tetap bersama markas Koinova.
***