Lari dari Markas Itu
Leoni sudah mulai bekerja lagi setelah sembuh dari demam. Ia mengirimkan ucapan terima kasih kepada Saras karena merawat dan menemaninya ke rumah sakit beberapa waktu lalu. Namun, Saras tak membalasnya. Padahal, Leoni ingin membalas budi dengan mentraktirnya kopi atau makanan manis.
Beberapa waktu lalu Leoni juga mengunjungi Coffee Truck, namun Saras tak ada di sana. Yang ada hanya barista baru yang bahkan tak menawarinya potongan harga. Leoni pulang dengan kecewa. Ia berharap bertemu Saras karena ia belum sempat berterima kasih secara langsung. Begitu bangun dari tidurnya, Saras sudah pergi. Ia hanya meninggalkan sekotak teh chamomile di meja kerjanya.
Leoni memutuskan untuk kembali ke kantor. Setidaknya ada pekerjaan yang harus ia selesaikan. Kantor itu juga ramai dengan suara-suara ramai di ruang redaksi yang bisa ia dengar. Jika ia memutuskan untuk pulang ke kos, mungkin perasaan ditinggalkan akan menghantuinya.
“Leoni nggak pulang? Belum ada deadline kan?” Yovi menyapanya ketika ia duduk di kursinya.
Leoni menggeleng,”Mau selesein laporan yang kemarin ketunda, Yov.”
Yovi mengangguk. Ia pamit untuk pergi duluan, mengingatkan Leoni untuk tidak pulang terlalu malam karena baru saja sembuh dari sakitnya. Leoni hanya mengangguk dan melepas Yovi pergi.
Hanya ada beberapa orang yang tinggal di sana. Mereka masing-masing sibuk dengan keyboard dan komputernya masing-masing. Leoni memasang headset-nya untuk mendengarkan lagu. Namun belum sempat ia memutar satu lagu pun, tiba-tiba ponselnya bergetar. Ada telepon masuk. Nama Olivia muncul di layar.
Leoni menatap ponselnya tak percaya. Cepat-cepat ia menjawab telepon Olivia sebelum terputus.
***
Saras turun dari ojek motor yang tadi dicegatnya di pangkalan dekat kantor. Ojek motor itu selalu jadi andalan para wartawan ketika butuh pergi cepat ke tempat mereka harus mengejar berita. Namun, kali itu Saras mendatangi ojek pangkalan itu bukan untuk mengejar berita. Ia harus ke tempat Olivia saat itu juga.
Setelah memberikan lembaran uang lima puluh ribuan dan mengikhlaskan kembaliannya, Saras menuju berjalan dengan langkah cepat menuju unit apartemen Olivia. Dari gerbang masuk, letaknya tak jauh. Saras hanya perlu menuju lift dan naik sampai lantai delapan.
Saras mengatur napas di depan pintu apartemen Olivia. Dari apa yang didengarnya tadi di telepon, mental Olivia sedang tidak baik-baik saja hari ini. Ia mengetuk pintu dengan hati-hati, seperti tak ingin mengagetkan orang yang berada di dalam apartemen itu.
Pintu terbuka. Ia melihat sosok Olivia dengan mata sembab dan hidungnya merah. Rambutnya yang dibiarkan tergerai tampak acak-acakan. Begitu melihat Leoni berdiri di depan pintu, Olivia langsung menghambur memeluknya. Tangisnya pecah.
***
Mateo memutuskan Olivia dengan sangat kejam. Tanpa peringatan apa pun. Mateo memblokir semua sosial medianya Olivia, termasuk aplikasi pesan seperti whatsapp dan imessage. Olivia tak bisa melacaknya di internet dan platform mana pun lagi. Jejaknya tak berbekas. Membuat Olivia berpikir bahwa hubungan mereka selama empat bulan ini hanya ilusi. Olivia seperti bermimpi. Ia tak mau bangun karena khawatir Mateo itu tak pernah ada.
Olivia duduk di meja makan dengan pandangan kosong. Sementara itu Leoni menyeduh teh. Diberikannya cangkir itu kepada Olivia. Olivia hanya menyeruput sedikit lalu menaruhnya kembali di meja.
“Kenapa kamu diem aja? Aku tahu pasti kamu mau ngomel,” ujar Olivia dengan suara parau. Leoni menggeleng. Ia enggan berdebat lagi. Toh ini bukan persoalan menang kalah. Leoni hanya tak ingin Olivia terluka. Itu saja. Tapi sahabatnya itu tidak kunjung paham..
“Kapan kamu dilamar?” tanya Leoni, mengalihkan pembicaraan. Ia merasa harus hati-hati. Olivia masih terlihat sangat terpukul.
“Seminggu yang lalu,” jawab Olivia. Masih ada isakan yang tersisa di suaranya.
“Terakhir dia bilang apa sebelum blokir kamu dari semua sosial medianya?” tanya Leoni, masih dalam nada hati-hati. Ia tak ingin salah bicara kali ini. Leoni tak ingin terdengar menginterograsi temannya yang sedang patah hati. Namun, ia juga ingin tahu apa yang terjadi selama ia tak ada di hidup Olivia seminggu belakangan ini.
“Nggak bilang apa-apa. Hari itu sebenarnya kita janjian untuk ketemu. Tapi tiba-tiba Mateo batalin janji gitu aja. Aku ingin tahu apa yang terjadi sama dia? Apa dia sakit? Apa dia kenapa-kenapa di jalan? Aku khawatir banget,” ujar Olivia sambil menahan air matanya jatuh lagi. Leoni memberikan tisu pada Olivia. Ia mengelus pundak sahabatnya itu. Berharap bisa mentransfer kekuatan dari sana.
“Aku pengen kasih dia waktu. Jadi aku pulang. Tidur. Besoknya, udah ada chat itu,” lanjut Olivia sambil memberikan ponselnya pada Leoni. Di sana jelas sekali pesan Mateo: Olivia kita harus putus. Hubungan kita sampai sini aja. Jangan cari aku lagi.
Hati Leoni rasanya mendidih. Emosinya ikut naik setelah melihat langsung isi pesan itu. Di bawahnya Olivia masih meminta penjelasan. Namun, nomornya sudah terlanjur diblokir. Foto profilnya sudah tak ada. Akun instagram Mateo juga menghilang. Tak ada jejak apa pun lagi di internet.
“Aku langsung pergi ke tempat-tempat kita biasa pergi. Ia mencari Mateo ke mana-mana. Ke kafe, ke restoran tempat kita biasa makan, sampai ke Coffee Truck tempat kita pertama bertemu. Tapi nggak ada Mateo di sana,” ujar Olivia dengan suara tercekat. Tenggorokannya kering.
“Udah coba ke rumahnya? Atau kosnya mungkin?” tanya Leoni. Menurut Leoni ini adalah tempat pertama yang harus Olivia tuju. Namun, Olivia menggeleng. Leoni langsung tahu ada yang tak beres. “Jangan bilang kamu nggak tahu rumahnya?”
Olivia hanya diam. Ekspresinya yang menjawab segalanya. Leoni menghela napas berat. Dari awal memang Mateo adalah orang yang mencurigakan. Ia tak pernah suka pada laki-laki itu. Tampang dan perawakannya boleh good looking. Tapi aura tak bisa menipunya. Entah mengapa Leoni merasa ada yang tak beres dan itu tak disadari oleh Olivia karena sudah kepalang kasmaran.
“Aku sayang banget sama dia,” ujar Olivia, tangisnya kemudian pecah lagi. Ia menenggelamkan wajahnya di pundak Leoni yang kini basah oleh air matanya. Leoni menelan ludah.
Leoni sebenarnya lega Olivia lepas dari Mateo, yang sepenuhnya tak ia percayai. Namun, Leoni mengkhawatirkan hal lain yang tak berani ia tanyakan pada Olivia sekarang.
***
Olivia bangun dari tidurnya pagi itu. Sinar matahari masuk lewat sela-sela jendelanya yang lupa ditutup rapat. Ia menyadari bahwa Leoni sudah pergi. Mungkin ia harus berangkat ke kantor cepat-cepat. Olivia beruntung karena walaupun mereka belum lama ini bertengkar, Leoni masih mau datang ketika ia patah hati seperti ini. Bahkan Leoni menginap semalaman untuk memastikan dirinya bisa tidur di malam hari setelah perasaannya lelah karena memikirkan Mateo seharian.
Waktu menunjukkan pukul sebelas siang. Olivia berjalan keluar kamar menuju meja makan. Ada sepiring roti panggang yang sudah tak lagi hangat. Di bawahnya terselip sebuah catatan kecil yang ditinggalkan Leoni di sana.
Kalau udah bangun, kamu harus makan ya. Aku bikin roti panggang selai coklat. Kalau mau sarapan yang hangat, ada sisa sup iga juga yang semalam aku beli. Bisa dipanasin dulu sebelum dimakan. Maaf aku harus ke kantor tanpa bangunin kamu dulu. Aku semalem udah telepon Resi, resepsionis klinik, kalo kamu cuti hari ini. Jadi kamu bisa istirahat. Resi akan jadwalin ulang appointment kamu hari ini. Nanti habis kantor, aku akan ke sini lagi. Leoni.
Olivia tersenyum kecut. Di dasar hatinya ada banyak penyesalan yang masih tertinggal. Mungkin ia terlalu kejam pada sahabatnya itu. Sikapnya beberapa waktu lalu tentu sudah kelewat batas. Leoni memang selalu seperti ini. Tak pernah sekalipun Leoni sengaja menyakitinya. Kewaspadaan Leoni terhadap Mateo mungkin benar-benar murni sebagai bentuk kepeduliannya.
Sambil menggigit roti panggangnya, Olivia menatap ponselnya lagi. Foto profil Mateo masih hilang. Pesannya tak ada yang terkirim satu pun. Olivia menghela napas panjang. Haruskah ia menyerah saja?
Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Olivia bangkit dan mengambil laptopnya. Ia harus memeriksa satu hal untuk memastikan apakah ia menangisi orang yang tepat sejak kemarin.
Olivia membuka laptopnya. Dadanya bergemuruh. Diarahkannya kursor ke suatu situs yang selama seminggu ini ia lupakan. Terakhir kali ia menaruh hampir sembilan puluh persen dari tabungannya di Koinova. Harapannya itu bisa ia gunakan untuk keperluan pernikahan. Sekarang siapa yang masih mau menikah setelah percintaannya gagal dua kali berturut-turut dalam setahun terakhir?