Kejutan Jam Satu Malam
Saat itu pukul satu dini hari. Leoni yang sedang mengerjakan laporan hasil liputan kaget karena tiba-tiba ada telepon masuk dari Pak Karso, satpam kantornya. Hal yang tak pernah terjadi sebelumnya. Leoni curiga Pak Karso hanya tak sengaja memencet panggilan di ponselnya ketika sedang berjaga malam. Leoni tadinya hampir tak menjawab panggilan itu. Lalu sejenak kemudian Leoni berpikir, bagaimana jika ada keadaan genting?
Leoni menjawab telepon itu,”Halo?”
“Halo, Mbak Leoni. Ini Pak Karso,”
“Iya, Pak. Ada apa malem-malem telepon?”
“Ini, Mbak. Ada dua orang dateng ke kantor, ngaku-ngaku temen Mbak Leoni. Dateng nggak pake sendal, Mbak. Nggak bawa barang apa-apa. Nggak punya HP juga. Dia minta tolong buat diteleponin. Tapi saya mau mastiin dulu, ini beneran temennya Mbak Leoni bukan,” ujar Pak Karso di seberang telepon. Leoni terperangah. Siapa yang mengaku temannya itu?
“Waduh, siapa ya, Pak?” jawab Leoni.
“Ada dua orang, Mbak. Cewek sama cowok. Bentar saya tanya dulu namanya siapa—Mbak, kamu namanya siapa?” Pak Karso terdengar sedang menanyakan nama orang di sana yang mengaku teman Leoni itu. Sementara benak Leoni di sini masih dipenuh dengan tanda tanya.
“Yang cewek namanya Saras, Mbak. Kalau yang cowok namanya Markus. Mbak Leoni benar kenal mereka?,” ujar Pak Karso. Deg! Leoni jelas mengenal orang itu. Ia tak yakin dengan yang laki-laki. Tapi ia jelas mengenal yang perempuan. Orang itu yang dari kemarin tidak menjawab pesan darinya. Orang itu yang ia kira tak akan menghubunginya lagi. Siapa sangka orang itu sekarang mendatangi kantornya pukul satu dini hari. Entah apa yang terjadi kepadanya.
“Oh, iya. Itu temen saya, Pak. Ada apa ya kok dia ke sana malem-malem begini?” tanya Leoni. Nada suaranya berubah. Dari yang tadinya penasaran menjadi panik.
“Saya kurang paham. Mbak Leoni ngomong sendiri aja ya sama orangnya,” ujar Pak Karso. Ia terdengar seperti sedang memberikan ponselnya pada Saras.
“Halo…” terdengar suara parau Saras di seberang sana. Bukannya lega karena sudah mendengar suara Saras, Leoni malah semakin panik.
“Halo. Saras, ya? Kamu kenapa? Ada apa malem-malem ke kantor? Kata Pak Karso kamu nggak pakai sandal segala? Ponsel kamu juga ke mana? Apa yang terjadi?” Leoni merongrong Saras dengan banyak pertanyaan. Ia mendengar Saras bersin di seberang sana. Ya Tuhan, sebenarnya hal buruk apa yang menimpanya?
“Aku bakal cerita nanti ya, Leoni. Sekarang aku sama temenku boleh numpang di kos kamu dulu nggak? Jujur, kami nggak tahu harus ke mana sekarang soalnya—hatchi!” Saras terdengar menjawab sambil bersin-bersin.
“Oke. Aku pesenin taksi ya. Tolong kasih ponselnya ke Pak Karso lagi,” ujar Leoni. Sebelum menutup teleponnya, Leoni meminta tolong Pak Karso untuk menemani mereka dulu sembari ia memesankan taksi online. Leoni juga meminta Pak Karso untuk memberikan roti dan air mineral dari pantry. Tak lupa Leoni juga mengucapkan terima kasih pada Pak Karso karena sudah memilih untuk menghubunginya alih-alih mengusir mereka.
***
Taksi yang mereka tumpangi tiba di depan kos Leoni pukul dua pagi. Leoni membukakan gerbang depan dan menyilakan mereka untuk masuk. Jujur saja Leoni sangat terkejut dengan keadaan mereka. Saras dan Markus benar-benar datang dengan tangan kosong. Tanpa alas kaki apa pun. Wajah mereka terlihat pucat. Bibir mereka kering. Rambut Saras berantakan. Seolah mereka habis kabur dari penyanderaan.
Ia kira telepon dari Pak Karso tadi cukup mengejutkannya. Ternyata, Leoni masih dikejutkan lagi karena Saras datang dengan seseorang yang juga pernah ditemuinya. Leoni yakin laki-laki yang datang bersama Saras adalah barista yang pertama kali melayaninya di Coffee Truck. Leoni punya banyak pertanyaan. Bagaimana bisa mereka pergi dalam keadaan sama-sama berantakan seperti habis diculik? Apakah memang begitu? Leoni menahan semua pertanyaan itu. Melihat keadaan mereka, Leoni ingin membiarkan mereka untuk istirahat terlebih dulu.
Setelah mereka mencuci kaki di kran bawah, Leoni membuka pintu kamarnya. Dengan kekuatan super kilat, ia sempat merapikan kamarnya tadi sebelum mereka datang. Kamar kosnya ada tiga petak. Depan digunakan untuk kursi ruang tamu dan meja kerjanya, tengah untuk kamar tidur dan meja kerjanya, di belakang untuk kamar mandi dan dapur kecil. Ada balkon kecil juga untuk menjemur pakaian.
“Kalian bisa duduk dan minum dulu,” ujar Leoni, menyilakan mereka untuk duduk di karpet ruang depannya yang tak terlalu besar. Leoni mengambilkan mereka gelas dan air dari galonnya.
“Aku bukannya nggak ingin kasih kalian teh atau kopi. Tapi melihat keadaan kalian, sepertinya kalian lebih butuh air putih.” ujarnya. Saras dan Markus meminumnya tanpa mengeluh. Mereka seperti orang puasa. Arman mengutus orangnya memberikan makan mereka sekali kemarin siang. Setelahnya mereka tak dikasih makan dan minum lagi. Karena itu, air putih pemberian Leoni terasa lebih segar dan menyembuhkan tenggorokan mereka yang kering. Kini mereka juga menyantap dua potong roti isi abon dan buah pisang pemberian Leoni. Saras rasanya seperti hidup kembali. Begitu juga dengan Markus.
“Mau bersih-bersih dulu?” tanya Leoni yang dari tadi sibuk menyiapkan handuk dan baju ganti.
“Markus, aku nggak punya banyak kaos ukuran besar. Tapi aku punya jersey bola. Ukurannya agak besar. Kamu bisa pakai ini dulu, ya,” ujar Leoni sambil menyerahkan handuk dan baju ganti.
“Ah, nggak papa. Makasih banyak, Kak,” jawab Markus.
“Kamu bisa mandi di kamar mandi bawah. Biar Saras pakai kamar mandi sini. Nanti kalo udah kamu bisa langsung istirahat. Bantal sama selimut aku taruh sini. Gorden ke ruang tengah aku tutup. Kalau ada apa-apa bisa diketuk aja ya. Ini triplek, jadi aku bisa denger,” ujar Saras sambil mengetuk sekat antara ruang depan dan ruang tengahnya.
Markus mengangguk beranjak keluar untuk pergi mandi. Sedangkan Saras masih menyandarkan diri ke tembok dengan mata terpejam. Hidungnya merah, kelihatan gatal sekali. Sejak sampai di sini tadi, Saras sudah beberapa kali bersin-bersin.
Leoni menghampiri Saras dan menepuk punggungnya. Saras membuka matanya yang tampak lelah.
“Kamu mau bersih-bersih dan ganti baju dulu atau mau langsung istirahat?” tanya Leoni hati-hati. Ia mengulurkan baju gantinya untuk Saras. “Kamar mandinya di sana,”
“Makasih. Aku bersih-bersih dulu ya,” ujar Saras. Ia yang sudah gerah dengan bajunya, bangkit menuju kamar mandi.
Sembari menunggu Saras, Leoni merapikan tempat tidurnya. Ia menyiapkan selimut dan bantal untuk Markus tidur di ruang depan.
Ketika Saras keluar dari kamar mandi, Leoni terkejut karena menyadari sesuatu.
“Eh, baju yang kamu pakai tadi tuh belum ganti sejak kamu pulang dari sini kemarin, ya?” tanya Leoni, yang dijawab anggukan kecil dadi Saras.
“Ya ampun, Saras! Sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Leoni begitu Saras duduk di kasurnya.
Saras hanya tersenyum kecut. Ia jelas belum punya energi untuk menjawab semua pertanyaan Leoni yang kini mendekat ke arahnya. Menyentuhkan punggung tangannya di kening Saras.
“Astaga, badan kamu panas banget! Kamu juga bersin-bersin mulu dari tadi. Minum obat ya, sebentar aku ambilin,” Leoni dengan sigap mengambil obat flu di mejanya. Saras duduk di tepi kasur kemudian menegak obat serta air minum yang disodorkan Leoni kepadanya.
Sekarang Saras terhuyung. Ia meletakkan kepalanya di atas bantal. Rasanya lega sekali. Semua badan yang sudah sakit ini akhirnya bertemu dengan kasur dan bantal setelah menghabiskan malam di gudang. Leoni menyelimutinya dan mengompres dahinya sampai ia tertidur.