Menjalani Akhir
Cakra berhasil menghubungi teman-temannya untuk bersiap siaga untuk melakukan pernyergapan. Kasus ini hampir selesai. Sedikit lagi ia akan menangkap gembong tindak kriminal penipuan yang selama ini ia incar. Kali ini ia tak boleh gagal.
Sudah setahun lebih ia melakukan penyamaran ini dan mengumpulkan bukti-bukti sebanyak mungkin. Tak ada satu orang pun yang tahu bahwa selama ini ia adalah polisi yang menyelinap. Baik itu Arman, Mateo, Roy, atau Saras.
Cakra bisa terjun di kasus ini karena kebetulan. Awalnya ia hanya mengusut laporan orang hilang yang tak kunjung ditemukan. Seorang wanita dikabarkan hilang di hari pernikahannya. Kabarnya sang wanita membawa kabur uang itu. Pengantin pria mengejarnya, namun keduanya tak pernah kembali. Orang tua mereka mencari tapi tak kunjung menemukannya.
Lalu Cakra sebagai anggota polisi baru, ditugaskan untuk ikut menyelidiki kasus ini. Ia menyelusuri satu demi satu petunjuk. Akhirnya ia tiba di kota ini. Dugaannya kuat sekali bahwa Mateo adalah orang hilang yang ia cari selama ini. Namun, Cakra tak menemukan pengantin wanita yang juga hilang.
Hal lain yang mengagetkan adalah Mateo adalah salah satu anggota sindikat Koinova. Sindikat penipuan yang sudah lama dicari juga oleh polisi. Tapi tak kunjung menemukan titik terang. Di situlah sepertinya Cakra menemukan benang merah di antara kasus itu.
Cakra diutus untuk menyamar sebagai kepala admin di sana. Cakra berusaha keras agar dapat naik posisi dan bisa ikut rapat bersama Arman. Sejak Cakra berhasil closing dalam jumlah fantastis, Cakra diangkat menjadi salah satu anggota yang paling inti di tim Koinova yang dipimpin langsung oleh pentolan mereka, Arman.
Selama penyamaran ini, Cakra menahan diri untuk mencekal semua skenario busuk untuk menipu korban. Termasuk misinya menipu banyak gadis untuk dihasut dengan investasi palsu. Semua hal yang ia prakarsai, selalu berakhir mulus. Semua jejak penipuannya tak kan bisa dilacak. Mereka menggunakan teknologi blockchain, lalu menarik dan menggelapkan dananya. Hal yang tak pernah diperhitungkan oleh Cakra sebelumnya.
Ia cukup sabar beberapa bulan ini. Namun, ia harus mempercepat operasinya. Karena pergerakannya sempat tercium oleh salah satu wartawan, Arman mulai panik. Ia membereskan banyak hal untuk pindah ke kota lain. Ia juga akan mengoper anak-anak buahnya ke Kamboja. Di titik ini, Cakra merasa harus mulai bergerak cepat. Ia harus menangkap Arman.
***
Markus berjalan mondar-mandir di ruangan itu. Mereka masih berkumpul di dana untuk memutuskan langkah apa yang akan mereka ambil. Calista dan Olivia ingin langsung saja menyerahkan ini ke kantor polisi. Namun, Markus dan Saras menahan diri. Mereka tak boleh gegabah sehingga menghancurkan rencana Cakra menyelamatkan sisa anak-anak buah Arman yang akan dioper ke Kamboja.
“Gimana kalau kita bikin ini viral aja? Ada Leoni di sini yang bisa nulis berita tentang ini.” ujar Olivia. Leoni terperanjat mendengar namanya disebut. Ia tentu ingin meliput ini secara eksklusif. Ia juga bisa melibatkan teman-teman wartawannya yang lain.Tadinya ia tidak yakin mereka ingin mengangkat kasus ini ke media. Namun, sepertinya semua orang di sini suka dengan ide itu.
“Aku setuju. Setidaknya aku sama Olivia bisa diwawancara soal ini. Saras juga. Mungkin dengan ditulisnya kejadian ini, orang lain yang mengalami hal serupa bisa berbagi. Dan kalau ada korban yang sama, mereka bisa tidak takut atau malu lagi untuk lapor ke polisi.”
Mereka berdiskusi panjang sebelum menyetujui ide itu. Semua orang sibuk dengan argumennya masing-masing. Saras sepenuhnya menyerahkan ini kepada mereka. Ia tahu diri. Ia tak berhak memiliki suara saat ini. Saking sibuknya mereka berdiskusi, tak ada yang menyadari bahwa Arman sedang mengintai mereka dari luar bersama preman sewaannya.
Menggunakan jaket dan kaca mata hitam, Arman dan dua orang lainnya membeli rokok di pedangang asongan. Mereka duduk tak jauh dari seberang kantor Sorot Media.
“Perhatikan terus gadis baju biru yang tadi masuk ke kantor itu. Kita sikat begitu dia mulai keluar dari sana! Jangan sampai dia selamet!” ujar Arman, sambil menghisap rokoknya.
Ia terus berada di sana sembari mengawasi orang-orang yang keluar dari kantor. Ini sudah pukul lima sore. Banyak yang sudah pulang dari sana. Arman sudah bertekad. Kalau sampai Saras tidak keluar dari sana, ia yang akan masuk dan menghabisinya.
Rupanya Arman merasa beruntung hari itu. Ketika petang tiba, Saras keluar bersama Leoni. Mereka sedang menunggu taksi datang. Arman menahan diri untuk tidak menghambur begitu mereka keluar dari gedung kantor.
“Saras. Sori banget. kunci kos aku ketinggalan di atas meja. Nanti minta taksinya nunggu dulu ya. Aku mau ambil sebentar ke atas,” ujarnya. Saras mengangguk. Sesuai dengan yang disarankan banyak orang, ia akan tinggal sementara dengan Leoni sampai bisa lapor ke polisi.
Leoni masuk lagi ke gedung kantor. Saat itu halaman kantor tampak sepi. Jalan raya juga sepi. Arman tak menyia-nyiakan kesempatan. Ia mengegas motor lalu melesat dengan cepat di depan Saras. Dua orang di belakangnya menyusul setelah menusukkan satu buah pisau ke perut Saras.
Begitu Leoni turun, ia langsung histeris dan semua orang mengerubungi Saras yang sudah bersimbah darah.
***
Di tengah malam yang tenang, markas Koinova mendadak berubah jadi medan kepanikan. Suara sirene mendekat, disusul oleh suara langkah berat dan teriakan petugas polisi yang memecah kesunyian. Arman merasakan jantungnya berdetak cepat. Dari balik jendela kecil di lantai dua, ia melihat garis polisi yang membentang, menutup setiap jalan keluar. Namun, Arman sudah terlalu terbiasa dengan situasi genting untuk membiarkan rasa panik menguasainya.
Di ruangan utama, Roy sedang mencoba menghapus jejak mereka di sistem komputer dengan cepat. Jemarinya menari di atas keyboard, wajahnya tegang, berusaha mengelabui segala data agar jejak transaksi dan komunikasi sulit dilacak.
“Cepat! Kita nggak punya waktu banyak!” serunya ke Mateo, yang sedang berusaha menenangkan beberapa anggota lain. Mateo, sang aktor ulung, berusaha tetap tenang. Tapi jelas, ketakutan menyelubungi setiap gerakannya. Ia tahu, kali ini tak ada naskah atau skenario yang bisa menyelamatkan mereka.
Sementara itu, Cakra, masih berupaya memainkan perannya. Ia pura-pura mengalihkan perhatian polisi dengan mengaburkan informasi lokasi mereka melalui saluran komunikasi palsu. Sinyal itu sudah ia ubah untuk memudahkan teman polisinya yang lain menemukannya dengan mudah.
Namun, anak-anak buahnya yang lain tak bisa menahan gemetar saat suara langkah kaki polisi semakin mendekat. Wajah mereka pucat. Cakra meminta mereka untuk tetap diam di tempat.
“Kalian aman sama saya. Tetap di sini. Jangan gerak ke mana-mana,” ujar Cakra. Salah satu anak buahnya yang berwajah lonjong itu mengangguk. Cakra menepuk bahunya. “Titip jaga yang lain.”