Dua tahun sebelumnya ....
“Nama lengkap?” Mama mulai bergumam.
Natt memandangi titik-titik embun di botol plastik yang digenggamnya. Sebagian dia usap dengan tangan satunya, tetapi sebagian yang lain dia biarkan mengalir ke permukaan kulit tangannya. Dengan pandangan datar dia menatap tetesan air itu membasahi tangannya. Sudah sejak pukul 08.00 pagi Natt dan mamanya mengantre di Kantor Imigrasi Semarang, sampai akhirnya mereka mendapatkan giliran.
“Nattasha Ganesha ....”
Natt melirik Mama di sampingnya. Wanita berambut sebahu itu sedang mengisi formulir pembuatan paspor. “Sudah selesai, Ma?” tanya Natt.
“Tempat dan tanggal lahir,” gumam Mama mengabaikan Natt. Tangannya lincah menggerakkan pena di atas kertas. “Semarang ....”
Natt menggeleng prihatin. Mama tidak pernah bisa diam ketika sedang menulis. Dia menggumamkan apa saja yang ditulisnya tanpa peduli sekitar. Sepertinya itu salah satu alasan kenapa sampai sekarang Papa tidak pernah membiarkan Mama tahu resep kari kuning gai pad pongali di Pattaya (restoran masakan Thailand milik keluarga Natt). Ya, Mama sulit sekali menjaga rahasia.
Sudah beberapa menit berlalu, tetapi Natt masih terus mendengar mamanya bergumam. Masih banyakkah yang harus ditulisnya? batin Natt sambil kembali memainkan botol dingin di tangannya. Membunuh waktu.
“Aaah, selesai,” kata Mama sambil memandang Natt. “Akhirnya sebentar lagi kamu punya paspor, Natt!”
“Hmm.” Natt hanya menggumam dan tersenyum.
Mama membawa formulir tadi dan surat kelengkapan lainnya menuju loket. Beberapa saat kemudian, dia kembali duduk di samping Natt.
“Tiga hari lagi kita balik ke sini buat wawancara, pengambilan foto, dan sidik jari kamu.” Mama mengelus rambut panjang Natt yang dicat kecokelatan sejak lulus SMA tahun lalu. “Maafin Mama dan Papa—”
“Sudahlah, Ma,” sela Natt, lalu tertawa. “Aku malah senang bisa ke Thailand!”
Mama menatap sedih, dia tahu kalau tawa anaknya itu hanya dibuat-dibuat. Ditatap begitu, Natt jadi ingin menangis. Namun, dia bukan cewek lemah, setidaknya hal itu yang selalu dia yakini sampai sekarang.
“Natt, kamu jangan terlalu mengharapkan nenekmu.” Mama berhenti sebentar untuk menghela napas, “Nenekmu sangat keras kepala ....”
Natt memandang Mama yang menatap kosong ke depan. Cewek ini tahu betul Mama pasti merindukan Nenek Gib. Hampir dua puluh tahun tak bertemu, memangnya siapa yang tidak rindu ibu kandung sendiri?
“Nenek Gib pasti bisa bantuin aku,” kata Natt, lalu melanjutkan, “bantuin keluarga kita.” Natt tersenyum, tetapi genggamannya mengeras, meremas botol air yang sejak tadi ada di tangannya. Seolah-olah seluruh energi di dalam tubuhnya mengalir ke sana. Membawa rasa ketidakpercayaan kepada dirinya sendiri dan emosi yang selalu muncul jika mamanya menyalahkan dirinya sendiri, atau menyalahkan Papa yang kini terbaring lemah di tempat tidur.
“Di dunia ini enggak ada mantan ibu kan, Ma?”