Jakarta, Indonesia.
Seorang wanita bergaun merah keluar dari dalam bilik kamar. Belahan gaunnya berpotongan tinggi, memperlihatkan pahanya yang putih nan mulus. Kakinya polos, tanpa alas. Setiap tapakannya ke lantai kayu itu, menghasilkan derit mengerikan.
Angin menerobos masuk dari celah pintu serta jendela-jendela ompong. Angker, selain nuansa tua, rumah ini remang. Penerangan satu-satunya hanya bolam lima watt kekuningan yang berkedip tragis tepat di atas kepala --serta sinar rembulan di luaran sana. Wanita berambut gelombang sebahu, berwarna cokelat terang itu menoleh pada pintu kamar yang mendadak terbuka karena terdorong angin.
Langkahnya terhenti. Suara lemah dari dalam bilik menyulut emosi. Mendengar suara itu, raut wajah tenangnya kontan kaku.
"Diam!" bentaknya.
Dan, mendadak hening. Bahkan angin yang sesaat lalu berembus angkuh, langsung lenyap. Sayangnya, keheningan itu hanya bertahan sesaat. Latar rumah itu kembali diiringi musik tangis, meski lemah.
Wanita itu mengeratkan rahang. Giginya gemeletuk menahan emosi. Kini, tubuhnya sudah berbalik dengan berkacak pinggang.
"Kalau kau tidak kunjung diam. Aku tidak segan menyiksamu lagi!" ancam perempuan itu. Saat tangis yang tadi lenyap, terdengar makin konstan.
Kembali hening. Dan, wanita itu menyunggingkan senyum. Senyum yang tak ingin dilihat siapa pun. Wanita itu cantik, tapi setiap jengkal tubuhnya menghadirkan ketakutan.
"Pintar," pujinya, kemudian berjalan ke sudut ruangan. Menggeser kursi kayu tak jauh dari tempatnya berdiri. Kursi itu berpasangan dengan meja kayu kecil berkepala bulat.