Suasana malam di alun-alun kota terasa hangat dengan suara obrolan, tawa, dan dentingan sendok mengaduk kopi. Asap tipis dari warung kopi bercampur dengan aroma gorengan yang baru diangkat dari wajan bercampur dengan aroma rerumputan basah yang terinjak orang-orang yang baru berdatangan karena hujan diang tadi.
Andi, sang wasit duduk santai di salah satu meja, menyeruput kopinya dengan tenang. Malam itu, ia hanya ingin menikmati kopi dan bercanda dengan teman-temannya.
"Lo masih ingat balapan Jefri sama Willy? Edan, itu beneran tipis banget selisihnya," kata seorang temannya, Guntur sambil menyulut rokok.
Andi tertawa kecil. "Jefri emang udah kelasnya beda. Willy juga kenceng, tapi tetep belum cukup buat ngalahin dia. Cuma modal motor mahal." Kopi hitam diseruputnya. Lalu kepulan asap rokok menyeruak dari bibirnya dibuyarkan oleh angin malam.
Mereka terus mengobrol sampai dua orang pria paruh baya muncul dari kerumunan. Salah satunya mengenakan jaket kulit coklat tua, rambut sedikit beruban, dan memiliki tatapan tajam yang penuh pengalaman.
"Permisi, mana yang namanya Andi?"
Andi melirik pria itu dari atas ke bawah. "Saya Andi. Bapak siapa?"
Kedua pria itu duduk di kursi kosong di depan Andi, lalu memperkenalkan diri. "Nama saya Erick. Ini rekan saya, Prapto. Saya sedang mencari talenta pembalap motor. Kabar yang tersebar kamu orang yang tepat buat bantu saya?"
Suasana mendadak lebih serius. Teman-teman Andi mulai melirik penasaran.
Andi sedot lagi asap rokok, lalu mematikan sisa rokok ke dalam asbak di atas meja. "Nyari pembalap buat apa?" tanya Andi, matanya menyipit curiga. Namun sebenarnya ia sudah menduga bahwa pria ini yang diceritakan Jefri.