Dua hari berlalu…
Sinar matahari sore menembus celah jendela menerangi kamar sederhana tempat Jefri terbaring. Aroma rempah dan kayu cendana memenuhi ruangan.
Tiba-tiba...
BRAK!
Jefri tersentak bangun. Matanya langsung terbuka lebar. Ia terengah-engah, tubuhnya berkeringat dingin. Rasa nyeri di sekujur tubuhnya langsung terasa begitu ia bergerak.
"Gue di mana?! Apa yang terja..." suaranya terpotong. Suaranya parau. Bibirnya kering pucat dan pecah-pecah. Diperhatikan sekujur tubuhnya yang nyeri dan pegal-pegal. Matanya menyapu seluruh ruangan. Sayup-sayup terdengar suara masuk ke telinganya. Lalu terdengar suara lain.
"HAH! HUP! HAH!"
Jefri mencoba bangkit duduk dari kasur tempat ia berbaring. Jalannya agak diseret, ia menoleh ke jendela. Dari balik tirai tipis, ia melihat puluhan santri berpakaian putih sedang berlatih bela diri di halaman pesantren.
Beberapa santri melatih kuda-kuda, yang lain menendang samsak karung, sementara beberapa lagi tampak menghafal gerakan tertentu dengan disiplin tinggi. Teriakan mereka menggema di sore yang hening.
Jefri semakin bingung.
"Gue ada di mana?" gumamnya pelan.
Ia berusaha berdiri tegak, meski tubuhnya masih lemah. Namun akhirnya ia terduduk lagi di ranjang. Wajahnya meringis menahan sakit. Saat itulah, pintu terbuka perlahan.