Love Story of El Panthera

awod
Chapter #14

Dua Pilihan

Sudah dua minggu lebih Jefri berada di pesantren ini. Luka di tangannya mulai mengering, dan kakinya sudah bisa berjalan lebih baik, meskipun masih ada sedikit ngilu saat mencoba berjalan jauh.

Hari-harinya lebih sering dihabiskan dengan nongkrong di sawah dan di empang, ngobrol dengan Alex atau pun santri, duduk di ladang sambil memandangi gunung, atau sekadar main ke kandang sapi.

Pulang menjelang Magrib, wajahnya semakin kumal, dan yang paling parah, kumis serta brewoknya makin tebal.

Ia dekatkan wajahnya ke cermin kecil yang menggantung di tiang kandang. Keningnya mengernyit. "Gila… ini gue apa Tarzan?"

Rambut gondrong berantakan, kumis dan cambang tumbuh liar, wajahnya mulai mirip bandit kampung ketimbang pembalap jalanan.

"Lama-lama gue kayak sapi." Ia menatap sapi yang lagi duduk santai di kandang, mengunyah dengan tenang sambil mengibas-ngibas ekornya.

"Hidup gue di sini mirip lo, Bro." Jefri bersandar di pagar kandang. "Makan, tidur, berak. Itu-itu doang."

***

Selama di pondok pesantren, Jefri selalu memperhatikan santri melakukan aktivitasnya masing-masing. Mereka mengaji, bantu-bantu di dapur, atau belajar di kelas.

Tapi ada satu pertanyaan besar di kepalanya, mengapa Abah tidak pernah menyuruhnya melakukan sesuatu atau bahkan mengusirnya. Kiai itu hanya menyuruhnya cepat sembuh. Tidak melarangnya tidur sepanjang hari, bebas jalan-jalan, bebas ngobrol sama sapi tanpa ada yang peduli. Dan justru itu yang membuat dia semakin penasaran.

Setelah Shalat Isya, Jefri memberanikan diri datang ke rumah Abah.

Rumah itu sederhana, dengan penerangan lampu minyak karena listrik belum menyala. Bau dupa samar memenuhi ruangan, bercampur aroma kayu yang menghangatkan suasana.

Di dalam, mengenakan kaca mata plus, Abah duduk di atas kursi di ruang tamu membaca kitab kuning dengan cahaya temaram.

Di beranda rumah, Jefri berdehem pelan. “Assalamualaikum, Bah.”

Lihat selengkapnya