Matahari mulai condong ke barat saat Jefri berjalan pulang dari sawah. Biasanya, ia nongkrong lebih lama di kandang sapi, mengobrol sendiri atau sekadar mengamati langit. Tapi kali ini, entah kenapa, ia merasa ingin pulang lebih awal.
Ketika mendekati masjid pondok, suasana tampak ramai. Para santri dan santriwati baru selesai Shalat Ashar berjamaah, keluar dari masjid dengan pakaian putih bersih dan wajah segar.
Jefri menghentikan langkahnya. Di antara para santriwati yang keluar, seseorang menarik perhatiannya. Seorang wanita bergamis hijau lembut, kerudung yang tergerai anggun, dan langkah yang teratur. Ustazah Sania.
Tanpa sengaja, tatapan mereka bertemu. Sejenak, dunia terasa melambat. Tapi sebelum Jefri bisa bereaksi, Sania langsung membuang muka, berjalan lurus tanpa ekspresi.
“Hmm.. tetep aja cuek.” Gumam Jefri pelan.
Dari pintu masjid, Abah mengamati anak muda itu dengan tatapan tenang, lalu menoleh ke arah Jefri menjuruskan pandangannya. Saat Abah menoleh, tepat di tikungan menuju asrama santriwati, Sania juga menoleh sedikit ke belakang. Hanya sedetik, sebelum ia menghilang di balik belokan.
Abah mengelus janggutnya dan gelengkan kepala, senyum tipis terhias di bibirnya. Jefri yang melihat reaksi kakek Sania itu langsung garuk-garuk kepala, canggung.
Para santri mulai bersiap untuk latihan bela diri sore itu. Jefri duduk santai di serambi sebelah kiri masjid, menggigit sebatang rumput kering yang diselipkan di mulutnya. Dari tempatnya, ia memperhatikan gerakan tajam dan tegas dari Ustaz Khalid, pelatih bela diri di pondok.
Khalid, pria 28 tahun, bertubuh kekar dan tenang. Gerakannya cepat, pukulan dan tendangannya keras. Setiap kali dia mendemonstrasikan jurus, para santri dengan sigap mengikuti.
Jefri mengerutkan kening. Ia bukan orang yang asing dengan dunia pertarungan, tapi ada ketenangan berbeda dalam gerakan Ustaz Khalid, tidak liar seperti perkelahian jalanan, tapi tetap mematikan. Ia memperhatikan latihan hingga selesai senja hari.
Menjelang Magrib, Jefri yang kamarnya bersebelahan dengan kamar Ustaz Khalid terlihat berbincang sebentar di teras. Tak berselang lama, Ustaz muda itu berjalan menuju mesjid. Sementara Jefri memasuki messnya, lalu bergegas mandi. Air dingin menusuk tubuhnya, tapi entah kenapa, ia merasa lebih segar. Selesai mandi, ia menatap pakaian yang tersedia di kamarnya.
Biasanya, ia hanya memakai kaos dan celana biasa. Tapi kali ini, dia mengambil baju koko, sarung dan peci. Pakaian itu sudah lama ada di kamarnya, tapi belum pernah ia sentuh.
Jefri mengenakan sarung, memakai peci, dan menatap pantulan dirinya di kaca buram kamar pondok.
“Gue… jadi keliatan alim.”
Ia terkekeh kecil, lalu keluar menuju masjid.
Masjid pondok lebih ramai dari biasanya meskipun listrik belum menyala, karena bulan purnama bersinar cukup terang. Ditambah cahaya berasal dari lampu minyak dan beberapa lilin yang diletakkan di sudut-sudut ruangan.
Jefri duduk di saf belakang, ikut melaksanakan Shalat Magrib dan Isya berjamaah. Sebenarnya, niat utamanya bukan untuk shalat.
Tapi...
Ia ingin melihat wajah cantik Sania saat bubar berjamaah. Namun, setelah selesai Shalat dan para santri mulai keluar dari masjid, ia tidak bisa melihat wajah mereka dengan jelas. Gelap malam dan lilin-lilin yang temaram membuat semua wajah samar. Usahanya sia-sia. Ia pun masuk kembali ke dalam mesjid.
Udara dingin menusuk, angin dari pegunungan berembus sepoi-sepoi, membuat beberapa daun kering berjatuhan di pelataran mesjid.
Di dalam mesjid, melihat Jefri yang celingukan melihat santri mengaji, Abah memanggil anak muda itu.
"Jefri, kemari."
Jefri tertegun sebentar. Matanya menatap Abah yang duduk di depan mimbar. "Ada apa, Bah?" tanyanya sambil menghampiri.