Hari itu, setelah Shalat Zuhur, Abah memanggil Jefri yang sedang asyik duduk di beranda masjid. "Jefri, kamu mau membantu mengambil kayu bakar di lumbung di kampung bawah?"
"Lumbung? Di mana tuh, Bah?" Jefri kernyitkan kening.
Abah menunjuk ke arah selatan pondok. "Sekitar seperempat jam jalan kaki, kamu bisa melewati rumah-rumah warga juga."
Jefri menghela napas sambil angguk-anggukkan kepalanya. "Hmm… Baik Bah, sekalian olahraga."
Abah tersenyum dan menoleh ke seorang santri. "Hilman, kamu temani Kang Jefri ambil kayu bakar di lumbung, ya? Biar dia tidak tersesat. Kamu 'kan sudah pernah ke lumbung."
Seorang santri berusia sekitar 14 tahun dengan wajah ceria dan badan kurus segera maju dan mengangguk semangat.
"Siap, Abah!"
Kiai itu kemudian merogoh sakunya dan memberikan beberapa lembar uang kepada Jefri. "Kalau kamu butuh sesuatu di perjalanan, belilah."
Jefri langsung menolak. "Wah, tidak perlu, Bah."
Abah menatapnya dengan tatapan khas orang tua yang tak bisa dibantah. "Terima saja, Jefri."
Jefri menggaruk kepala, lalu menerima uang itu dengan setengah hati. "Baiklah, baiklah. Nanti saya anggap utang saja, ya."
Abah tertawa kecil. "Jangan. Anggap saja hadiah untuk santri baru yang rajin ke masjid."
Jefri cuma tertawa kecil, sementara Hilman sudah siap dengan topinya yang sedikit miring.
“Kita makan siang dulu, Man.”
Lalu keduanya ke dapur santri. Selesai makan, keduanya bersiap.
"Ayo, Kang Jefri! Jalan santai sekalian lihat pemandangan."