Love Story of El Panthera

awod
Chapter #22

Kartika

Mak Iyah dan Pak Adul adalah sepasang suami istri yang hampir 20 tahun bekerja di pondok untuk mempersiapkan masakan makanan untuk para santri dan santriwati. Keduanya dibantu oleh beberapa santri atau santriwati senior yang bergiliran membantu di dapur. Para santri mengantre dengan membawa piring masing-masing. Ada yang makan di tempat yang sudah disediakan atau pun makan di asrama.

Pagi itu setelah sarapan, para santri melakukan kerja bakti membersihkan asrama hingga lingkungan pondok pesantren.

Minggu pagi ini tidak seperti biasanya. Karena hari libur, para santri tidak belajar di kelas, melainkan berkumpul di lapangan untuk latihan silat. Seperti diungkapkan oleh Abah semalam, Jefri akan berbagi ilmu silatnya kepada para santri.

Jefri berdiri di tengah lapangan bersama Ustaz Khalid, dikelilingi puluhan santri yang antusias mengikuti latihan silat.

"Sebelum mulai kita berdoa dulu. Bismillah..." Ustaz Khalid memimpin doa kemudian memberi instruksi untuk warming-up. "Sekarang kita pemanasan dulu lalu berlari mengelilingi lapangan." Setelah melakukan peregangan otot, mereka kemudian berlari-lari kecil mengelilingi lapangan.

Sementara itu, Abah ditemani Ustaz Ibrahim duduk santai di beranda rumahnya yang letaknya menghadap lapangan. Sambil berbincang keduanya memperhatikan para santri dengan senyum tipis.

Setelah melakukan pemanasan. Ustaz Khalid mempersilakan Jefri untuk memimpin latihan.

Jefri mengangkat tangan, memberi isyarat agar para santri berdiri dalam barisan rapi dengan memberi jarak masing-masing.

Sebenarnya Jefri sudah sering melihat para santri berlatih. Jadi ia sudah mengetahui harus berbuat apa.

"Baik, sebelum kita mulai latihan, kalian harus paham dulu satu hal penting dalam silat." Santri-santri terdiam, memperhatikan dengan penuh rasa ingin tahu. "Silat bukan cuma soal bertarung, tapi soal keseimbangan. Tubuh, pikiran, dan hati harus sejalan."

Lalu Jefri memperagakan kembali jurus silat yang semalam dimainkannya di aula. Ia mengulang-ulang gerakannya sedikit demi sedikit dan diikuti para santri. Memperagakan dasar-dasar Silat Harimau.

Ia menunjukkan kuda-kuda kuat, gerakan tangan yang cepat, serta teknik mengelak yang luwes. Santri-santri berusaha mengikuti gerakan itu meskipun beberapa masih terlihat kaku dan kikuk. Sesekali terdengar suara hentakan.

Sekitar pukul 9 pagi, sebuah mobil Kijang biru tua memasuki halaman pondok. Mobil diparkirkan di samping masjid. Dari dalam mobil, turun seorang pria berusia sekitar 50 tahun, bertubuh tegap dan berwibawa.

Ia adalah Pak Kades, kepala desa setempat. Di sampingnya ada seorang wanita separuh baya, istrinya, serta seorang gadis muda berusia sekitar 22 tahun.

Gadis itu cantik, tinggi semampai, mengenakan gamis warna biru langit motif dan kerudung polos, wajahnya selalu ceria. Ia adalah Kartika, anak Pak Kades.

Mereka melangkah menyusuri pinggir lapangan menuju ke rumah Abah. Begitu tiba di depan pintu, Pak Kades diikuti istri dan anaknya mengucapkan salam.

"Assalamualaikum..."

Abah dan Ustaz Ibrahim yang sudah menunggu di beranda tersenyum dan menjawab salam.

"Wa’alaikumussalam, silakan masuk, Pak Kades."

Mereka dipersilakan masuk dan duduk. Setelah saling bertanya kabar. Ibu Kades langsung bertanya.

"Bah, Ceu Halimah di mana? Sudah lama saya tidak bertemu."

Halimah adalah menantu Abah, sekaligus ibu dari Ustazah Sania.

Abah menghela napas pelan, lalu menjawab, "Halimah sedang kurang enak badan. Ada di rumahnya. Sedang ditemani Sania."

Ibu Kades dan Kartika langsung berdiri. "Kalau begitu, kami ingin menjenguk sebentar, Bah."

Lihat selengkapnya